Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nonton Wayang atau Dangdut? Perubahan Budaya dan Siasat Pertunjukan

15 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 22 Januari 2022   05:43 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang penyanyi dangdut membuka pertunjukan wayang di Desa Semboro, 31 Mei 2009. Dok. Pribadi

Keberaturan ini merupakan rekayasa estetik kolonial yang berkolaborasi dengan elit Jawa untuk mengendalikan potensi subversif dan penyimpangan. Akibatnya banyak kajian tentang wayang yang diarahkan pada wayang gaya istana yang statik dan eksotik, serta mengeksklusi gaya lain yang lebih subversif, inovatif, dan  eksperimental. 

Lebih jauh lagi, Schechner (1990: 27) berargumen bahwa intervensi pemerintah kolonial Belanda ke dalam wayang menghalangi dalang untuk menggambarkan perjuangan orang Jawa melawan Belanda (Perang Jawa tahun 1825-30 bukan satu-satunya perlawanan lokal selama abad ke-19 dan awal abad ke-20) dan mencegahnya menggambarkan banyak perubahan yang terjadi di Hindia-Belanda selama zaman kolonial yang panjang.  

Dalam hal penciptaan wayang yang sesuai dengan pandangan politis Belanda dan kepentingan kultural elit Jawa, apa-apa yang diajarkan sekolah tersebut memang mampu mengkonseptualisasikan pemahaman bagi para calon dalang untuk belajar pakem karena mereka akan menjadi agen kultural yang diharapkan mampu merekonstruksi kembali ajaran Jawa pra-Islam sebagai “kebenaran dalam” bagi masyarakat Jawa.

Apa yang diwacanakan oleh kolonial memang berhasil memberikan pemahaman bagi warga Hindia-Belanda, baik elit maupun rakyat biasa, bahwa wayang berisi ajaran moralitas dan religi yang sesuai dan menjadi identitas kultural Jawa, meskipun asumsi tersebut bisa dipertanyakan lagi mengingat orang Jawa memang sudah sejak dulu mengenal wayang dan ajaran yang ada di dalamnya. 

Namun, keberhasilan tersebut ternyata juga dimaknai lain oleh kaum nasionalis Hindia-Belanda untuk mempropagandakan wacana kebangsaan berorientasi Hindia, dan bukannya Jawa. Dalam tulisan yang sama, Tjipto memaparkan:

Prajurit penguasa asing yang terdiri dari “buto” membuat camp di hutan (di mana seorang pangeran agung tengah berjalan sendiri). Pertemuan dengan sang pangeran tidak terhindarkan. Sang pangeran agung, yang diminta untuk kembali, membalas bahwa ia lebih baik mati daripada harus menggagalkan perjalanannya. Pertempuran pecah, pertempuran antara pejuang agung yang sendiri dan keseluruhan prajurit buto, satu melawan banyak, melawan semua. 

Cerita itu hampir mirip dengan dongeng peri, cerita dari dalang. Pangeran bertubuh kecil melawan raksasa dalam jumlah banyak. Dan, apakah kita tidak melihat ini dalam kehidupan nyata yang terjadi lagi dan lagi? Apakah kita tidak memahami bahwa seringkali terjadi manusia kecil, yang dibangkitkan dari spirit yang hidup di dalam dirinya, berani untuk mengambil tugas yang di balik pertimbangan yang tipis seseorang akan berpikir untuk jauh melampaui kekuatannya?

Paparan Tjipto menunjukkan adanya usaha untuk melawan sekaligus fungsi penyadaran secara ideologis kepada para pembaca, bahwa penjajah Belanda adalah “para buto” yang sebenarnya bisa dikalahkan oleh kesatria yang berani melakukan perjuangan melampaui batas-batas kekuatannya sendiri. 

Namun, karena tulisan tersebut ditulis untuk pembaca Belanda yang mungkin hendak pergi ke Hindia, apa yang dilakukan Tjipto sebenarnya merupakan usaha untuk mengkritik sekaligus menegosiasikan kepentingan pribumi kepada warga Belanda yang merugikan masyarakat dengan kuasa dan kekuatannya.

Usaha Tjipto tersebut menandakan selalu adanya ruang ketiga yang mempertemukan bermacam kepentingan di dalam wayang yang bersifat ideologis dan disepakati di dalam masyarakat. Wayang pada masa kolonial, memang menjadi bagian aparatus hegemonik kultural untuk mengendalikan keliaran dan subversi yang bisa muncul dalam masyarakat. 

Namun, sebagai tanda konsensual, kelompok lain dalam masyarakat, seperti Tjipto yang nasionalis, berhak juga menggunakannya secara dekonstruktif untuk menegosiasikan kepentingan politik, meskipun hanya sebatas tulisan, yang berorientasi pada kesadaran berbangsa dalam konteks Hindia-Belanda dan bukan dalam konteks Jawa. 

Artinya, pemaknaan pesan moralitas dan reliji bahwa yang baik selalu menang dan yang jahat selalu kalah oleh kolonial maupun elit Jawa ditunda pemaknaannya melalui penggantian makna oleh elit nasionalis Hindia-Belanda.

Pemaknaan wayang sebagai media untuk menyebarkan kuasa juga dilakukan oleh rezim pemerintah, baik pada masa pascakemerdekaan di bawah kepemimpinan Sukarno maupun masa Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Suharto. Kedua rezim, dengan konteks yang berbeda, hampir sama dengan rezim kolonial yang berkolaborasi dengan elit Jawa, berusaha memaknai wayang dalam rangka untuk menjaga kepentingan politik dalam lingkup keindonesiaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun