Cerita-cerita keadiluhungan narasi wayang sebagaimana yang diimpikan oleh generasi tua yang lahir di era 50-an seperti terhapus oleh kelincahan dan 'keliaran' para penyanyi koplo yang memang sedang menjadi trend.Â
Deretan wayang di belakang mereka tampak hanya menjadi pelengkap yang 'tidak berdaya'. Begitupula para pesinden yang harus memberikan kesempatan kepada para penyanyi koplo untuk menghibur penonton.
Namun demikian, pagelaran musik pembuka tidak semuanya menampilkan penyanyi dangdut koplo. Kalau penanggap selaku tuan rumah yang punya hajatan tidak menghendaki penyanyi koplo hadir dalam pertunjukan musik pembuka atau cangik limbuk, maka dalang juga tidak akan menghadirkannya.Â
Realitas tersebut menandakan bahwa di balik kecenderungan umum untuk menyukai para penyanyi koplo dengan atraksi-atraksi sensualnya, masih ada sebagian kecil masyarakat yang lebih menyukai sesuatu yang njawani. Bahkan di antara mereka ada juga yang menghendaki musik pembuka hanya diisi oleh gending klasik Jawa, tanpa musik koplo, meski untuk cangik limbuk tetap menggunakan campursari, kendang kempul, dan dangdut koplo tanpa penyanyi, khusus pesinden.Â
Meskipun tanpa menghadirkan penyanyi koplo, penonton tetaplah antusias untuk menikmati pagelaran musik pembuka. Memang penonton yang hadir, terutama dari kalangan muda, tidak sebanyak ketika ada penyanyi koplo. Namun, penonton yang hadir tetap menikmati pagelaran.Â
Pagelaran musik pembuka akan berakhir pada pukul 22.00 WIB, ketika dalang mulai membuka cerita wayang dengan suluk dengan diiringi gending-gending pewayangan. Ketika dalang memulai pertunjukan, ratusan penonton yang semula menikmati pagelaran musik, satu per satu beranjak, terutama mereka yang berasal dari generasi muda dan ibu-ibu.Â
Namun, para bapak yang rata-rata berusia empat puluh tahun ke atas biasanya masih bertahan. Mereka inilah yang disebut penonton wayang tulen, sementara penonton kategori pertama adalah penonton pemula. Penonton tulen ini biasanya akan bertahan sampai pagelaran berakhir menjelang Subuh. Jumlah mereka berkisar antara 50 orang.
Pukul 22.00 WIB, biasanya dalang akan membuka wayang dengan jejer untuk kemudian memaparkan cerita pendahuluan yang akan dimainkan pada pagelaran. Dalam jejer, para dalang masih menggunakan pakem, yakni membuka cerita dengan membeber gunungan sebagai penanda awal setiap lakon, disusul suluk, dan dialog antartokoh, biasanya ber-setting keraton.Â
Setelah berlangsung satu setengah jam, tepatnya pukul 23.30 WIB, cerita biasanya memasuki konflik. Di saat itulah jalannya cerita harus berhenti terlebih dahulu karena pertunjukan memasuki breaking, yang, lagi-lagi menghadirkan pertunjukan musik: cangik-limbuk.Â
Sebenarnya cangik limbuk adalah nama dua tokoh perempuan jenaka, yakni ibu dan anak yang dialog di antara keduanya biasanya,pada dalang melakukan kritik-kritik terhadap apa-apa yang berlangsung dalam masyarakat, dari persoalan moralitas, pergaulan bebas, korupsi pejabat, bahkan masalah politik.Â
Untuk masalah politik, dengan sangat halus, biasanya dalang akan menyampaikan pesan-pesan politis yang seringkali dipengaruhi oleh pilihan ideologis parpol dalang yang bersangkutan. Saat cangik limbukan, dalang juga akan membacakan permintaan lagu dari para penggemar, tuan rumah, maupun penonton umum.Â