Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Pengrawit dalam pertunjukan tayub terdiri dari pemain-pemain gamelan. Jumlah pengrawit dalam pertunjukan tayub disesuaikan dengan jumlah ricikan gamelan yang digunakan. Pengrawit menguasai bermacam gendhing tayuban. Secara umum gendhing tayuban dapat dipilah menjadi dua yaitu, (1) pola gendhing baku dan (2) gendhing kreasi. Pola gendhing baku merupakan gendhing yang secara baku harus dimainkan apa adanya, sedangkan pola gendhing kreasi merupakan variasi yang selalu dimainkan untuk membuat pertunjukan lebih semarak. 

Pengibing dalam pertunjukan tayub adalah tamu undangan yang mana mereka datang untuk menari ataupun duduk-duduk sambil mendengarkan gendhing-gendhing yang dimainkan serta memperhatikan tarian dalam pertunjukan. Pada beberapa daerah di Jawa Timur terutama sekali di Tuban dan Bojonegoro, tayub merupakan klangenan sehingga banyak tamu laki-laki yang datang untuk menyiapkan tip khusus untuk penari atau tip khusus untuk gendhingyang mereka minta.

Meskipun berbeda-beda istilah, dalam pagelaran tayub terdapat beberapa fase. Pertama, pambuko, yakni pembukaan acara yang dipimpin oleh pelandhang/pramugari/MC pertunjukan. Kedua, tari gambyong/gambyongan, sebuah tari yang melambangkan ucapan selamat datang melalui gerak gemulai para tandhak dengan iringan gamelan yang berirama pelan. 

Ketiga, repen tuan rumah di mana penari memberi penghormatan kepada tuan rumah untuk membuka pagelaran. Keempat, repen pamong, yakni tarian penghormatan kepada para perangkat desa. Mereka menari bersama para tandha/sindir dengan gending yang menggugah semangat untuk bekerjasama dan membangun. 

Keempat, sampur tamu, yakni pagelaran tayub yang melibatkan para tamu sebagai pengibing. Pelandhang bertugas mengendalikan tarian dengan membagi sampur kepada para tamu secara berurutan. Dalam adegan ini, sebagian tandhak ada yang menari bersama pengibing, sedangkan salah satu atau dua tandhak akan mengiringi dengan gendhing/tembang sesuai permintaan pengibing. 

Di sela-sela tarian itulah banyak penayub yang menikmati minuman beralkohol. Sembari menikmati alunan tembang diiringi gamelan, para pengibing merasakan sebuah dunia yang dipenuhi aroma pembebasan dari tatanan dan kode moralitas yang mapan, meskipun hanya sejenak. 

Terlepas dari asal-muasalnya yang dikatakan berasal dari ritual kesuburan, tayub telah menjadi tari pergaulan yang maknanya bisa ditafsir dari bermacam aspek. Meskipun kalangan agamis kurang menyukai kesenian rakyat ini, pertunjukan tayub masih saja digelar, bahkan di wilayah-wilayah pedesaan yang semakin agamis. 

Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban
Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Meskipun di-stigma sebagai pertunjukan yang mengumbar erotisme dan membiasakan minuman beralkohol, baik tuak/arak maupun bir, banyak lelaki tua dan muda menggemari kesenian ini. Ini tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa tayub yang sudah mendapatkan stigma masih saja digemari di tengah-tengah syiar agama Islam yang semakin massif di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Jawaban hipotetik yang bisa diajukan adalah karena para pelaku pertunjukan ini mampu bersiasat dan bertransformasi dalam dinamika sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat. Juga terdapat konteks-konteks historis yang menjadikan tayub dibenci oleh sebagian warga, tetapi tetap digemari oleh sebagian yang lain.  

Demikian pula terkait tafsir terhadap eksistensi dan peran tayub dalam kebudayaan Jawa tidak bisa dilepaskan dari konteks historis masing-masing zaman, termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan politik yang berusaha mengendalikan pagelaran tayub. Peristiwa sederhana berikut akan memberikan pintu masuk untuk membahas persoalan-persoalan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun