Tayub, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, merupakan kesenian yang berkaitan erat dengan Dewi Kesuburan alias Dewi Sri. Dewi inilah yang mengorbankan kehidupannya demi membuka jalan kesejahteraan bagi umat manusia. Salah satu ritual yang dilakukan secara komunal oleh masyarakat desa untuk menghormati dharma bakti Dewi Sri sekaligus sebagai bentuk ungkapan syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa adalah bersih desa.
Masyarakat Tuban menyebutnya ritual manganan di Tuban, sedangkan masyarakat Lamongan dan Nganjuk menyebutnya sebagai nyadran atau sedekah bumi. Berikut ini saya kutipkan salah satu bentuk konstruksi wacana yang menghubungkan pertunjukan tayub dengan makna kesuburan dalam sebuah ritual bersih desa.
Pelaksanaan upacara bersih desa dengan mempertunjukkan tayub terkait erat dengan mitos yang masih diyakini masyarakat....Mitos yang berlaku adalah bahwa penari perempuan....dalam pertunjukan tayub dianggap sebagai perantara antara masyarakat dan Dewi Sri. Mitos itu masih hidup subur di masyarakat pedesaan khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya...
Dewi Sri tak ubahnya sebagai lambang etos kerja untuk mengubah nasib, kerja keras menolong diri sendiri, dan kehidupan bersama... .Pertunjukan tayub dalam upacara ritual bersih desa berperan sangat penting bagi masyarakat karena dipercaya sebagai upacara kesuburan yang diharapkan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, melimpahnya hasil panen, terhindar dari berbagai hama tanaman, dan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat masih percaya perlunya melakukan upacara bersih desa, karena takut mendapatkan musibah atau malapetaka, juga takut menyalahi tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyang secara turun-temurun itu. Masyarakat Jawa yang agraris sangat membutuhkan kesuburan tanah dan alam lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (Widyastutieningrum, 2007: 149-150)
Penjelasan panjang-lebar di atas memberikan gambaran relasi pertunjukan tayub dengan makna kesuburan. Tayub diposisikan sebagai “perantara” antara masyarakat dengan Dewi Sri. Apa yang menarik dicermati adalah pada aspek atau adegan apa dari tayub yang menandakan keterkaitan antara kesenian ini dengan Dewi Sri atau kesuburan itu sendiri. Tidak ada penjelasan yang konkrit dan bisa diterima nalar dari pendapat di atas.
Meskipun, pertunjukan tayub diposisikan sebagai “upacara kesuburan”, makna kesuburan yang berimplikasi kepada kesejahteraan dan keterhindaran dari bala’ (bencana dalam bermacam bentuknya) sebenarnya menjadi fungsi dari keseluruhan rangkaian ritual bersih desa. Artinya, konstruksi diskursif tentang kesuburan, pada dasarnya, belum bisa dirangkai dalam penjelasan yang masuk akal. Hal itu berbeda dari pernyataan Holt maupun Geertz yang tidak pernah memosisikan tayub sebagai simbol dari kesuburan.
Kalau kita cermati lagi, pernyataan di atas mencoba untuk meyakinkan bahwa tayub memang bermakna kesuburan. Tafsir tersebut sah-sah saja, karena tidak harus menggunakan atau merujuk tafsir yang dibuat oleh peneliti asing untuk menemukan makna pertunjukan tayub.
Yang menjadi masalah adalah pernyataan tersebut mengkonstruksi wacana ideal yang dilekatkan kepada pertunjukan tayub, sepertihalnya wacana para pujangga keraton mengkonstruksi tayub yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi Islam. Seolah ingin mengulangi wacana tersebut, di bagian lain, dijelaskan pula relasi tayuban dengan kekuatan alam dan Tuhan karena pertunjukan ini menjadi bagian penting dari ritual yang dilakukan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup (Widyastutieningrum, 2007: 149-150).
Uniknya, wacana lanjutan yang dibangun malah mengkategorikan tayub ke dalam fungsi samanisme di mana tandhak diposisikan sebagai shaman (semacam perantara dalam ritual sakral) ketika mereka menari dengan gending permulaan Sri Boyong di tempat-tempat yang dikeramatkan dengan maksud mendatangkan ruh Dewi Sri (Widyastutieningrum, 2007: 155-156).
Hal ini tampak hendak mengurangi kesan profan dari tayuban yang sudah diakui berlangsung sejak zaman kerajaan. Makna-makna negatif oleh rezim Orba diyakini hanya akan mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat desa, sehingga perlu ditertibkan dan diberikan makna-makna baru yang lebih positif. Masalahnya adalah dalam rujukan-rujukan yang lebih tua tidak ditemukan fungsi-fungsi tersebut.
Apakah wacana-wacana tersebut menjadi subjek dari makna keadiluhungan yang disebarluaskan oleh rezim negara? Bisa jadi benar karena rezim negara Orba juga berkepentingan untuk membangun formasi diskursif Jawa-yang-simbolik di mana makna-makna ideal dalam memandang persoalan dunia tidak bisa dilepaskan dari kekuatan adikodrati yang mengarah kepada makna-makna adiluhung.
Praktik budaya ideal adalah praktik budaya yang mampu menunjukkan relasi harmonis mikro-makrokosmos, di mana manusia membutuhkan jalan untuk berkomunikasi dengan kekuatan adikodrati di luar nalar mereka. Fungsinya adalah untuk menarawarkan rezim kebenaran ke-Jawa-an yang direpresentasikan dalam tayuban sebagai kekuatan komprehensif.
Meskipun banyak melahirkan aktivitas profan tetap mengedepankan keharmonisan relasi antara manusia, budaya, dan alam semesta. Nyatanya, sampai sekarang makna tersebut dikatakan masih diyakini oleh masyarakat luas, sehingga terjadi transformasi diskursif makna kesuburan dari masa Orba hingga periode Reformasi.