“Ditata Ben Guyub”
Entah, siapa yang pertama kali melontarkan kepanjangan dari “tayub”, ditata ben guyub. Di wilayah Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro, istilah tersebut sangat populer. Di tata berarti gerak tayub yang ditata sedemikian rupa, mengikuti pakem yang sudah disepakati oleh penari dan penayub di sebuah wilayah.
Selain itu, ditata bisa juga berarti gerakan-gerakan tari tayub yang pada masa sebelum Orde Baru menjurus ke unsur-unsur seksualitas ditertibkan sedemikian rupa oleh para ahli tari yang sudah disewa oleh rezim negara. Tujuan dari usaha penataan dan penertiban tersebut adalah terciptanya ke-guyub-an selama berlangsungnya pertunjukan.
Terciptanya ketertiban dalam pertunjukan tayub juga berarti semakin sopannya gerak tari dan perilaku para penayub yang pada masa sebelumnya cenderung liar. Kondisi ini berimplikasi pada keamanaan dalam masyarakat. Hiburan yang di-stereotipisasi dekat dengan ekspresi kebebasan dan memunculkan banyak varian kegiatan yang dianggap menyimpang (seperti permainan judi pada setiap pagelaran tayub) ditempatkan sebagai perantara kultural yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
Bahwa pertunjukan yang diidentikkan dengan bau alkohol ini, nyatanya, mampu menjadi teladan dalam membina kerukunan dan keamanan masyarakat. Ke-guyub-an menjadi modal sosial yang sangat berharga untuk memperkuat integrasi sosial di antara para penikmat tayub juga anggota masyarakat yang hanya menonton.
Para penayub yang biasanya berasal dari beberapa desa saling bertegur-sapa di kalangan, sembari menikmati hidangan. Mereka biasanya akan ngobrol hal-hal yang ringan. Momen inilah yang dipandang sebagai praktik terkecil integrasi sosial di mana pertunjukan tayub mempertemukan para penggemar dalam satu desa/dusun atau berbeda desa/dusun.
Terlepas dari makna-makna ketertiban yang bisa mendukung ideologi integrasi rezim Orde Baru, keguyuban dalam pertunjukan tayub, paling tidak, bisa menghindarkan dari tindakan destruktif seperti tawuran antarpemuda. Pada masa 1980-an akhir sampai dengan awal 1990-an, para pemuda antardesa di Lamongan seringkali terlibat tawuran karena persoalan sepele, seperti saling ejek.
Kebiasaan ini biasanya berlangsung dalam setiap keramaian, khususnya pertunjukan dangdut, pertandingan sepakbola tingkat kecamatan, maupun pertunjukan layar tancap. Kebiasaan tawuran tidak berlangsung dalam pagelaran tayub. Meskipun para pengibing berada dalam pengaruh alkohol dan seringkali terlibat saling gojlok—saling mengejek dengan bercanda, terdapat konvensi bahwa mereka tidak boleh tawuran.
Kalaupun ada salah satu pengibing yang mengarah ke tindakan yang bisa memancing tawuran, biasanya para pengibing yang lain segera ‘mengamankannya’ agar tidak sampai terjadi tawuran. Artinya, terdapat mekanisme terob yang disepakati sebagai konvensi dan menghindarkan pertunjukan tayub dari peristiwa-peristiwa perkelahian.
TAYUB DAN KEPENTINGAN POLITIS-IDEOLOGIS
Tayub, nyatanya, sejak kelahirannya selalu berada dalam pusaran dua kutub, kesakralan dan keprofanan. Maka, kita harus mulai jujur dalam memproduksi wacana tentang tayub, bukan lagi sekedar meng-adiluhung-kan kesenian ini. Membicarakan keprofanan bukan berarti menghancurkan kesenian ini, tetapi kita membuka kenyataan kultural yang selama ini di-liyan-kan atas nama proyek besar budaya bangsa yang penuh kepentingan politiko-ideologis rezim negara.