Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramugari mengawali pertunjukan tayub. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Tuban

Pada era 1990-an, pertunjukan tayub sudah menggunakan teknologi sound system yang canggih dan mengalami perubahan. Dengan sound system, suara gendhing dan keramaian tayub seakan menghentak seisi desa dan terdengar sampai desa-desa tetangga. Hal yang berubah dalam pertunjukan tayub adalah semakin seringnya adegan jaipongan, sebuah adegan ketika seorang penayub menari bersama seorang atau lebih tandhak dengan diiringi tembang sesuai permintaannya. 

Pada saat jaipongan itulah, pengibing akan membayar uang yang jumlahnya melebihi yang harus mereka bayarkan ketika menari bersama penayub lain. Uang yang harus dibayarkan ke seorang tandhak berkisar Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000. Pengibing juga harus membayar uang sejumlah kepada panjak kendang atas jasa untuk mengiringi lagu yang ia pesan serta membayar uang talam (uang untuk tuan rumah). 

Kalau sudah adegan jaipongan, antara pengibing yang satu dengan yang lain akan jor-joran (bersaing) dalam memberi saweran untuk tandhak. Pada masa ini untuk berani “mlebu terob” (masuk terob, istilah untuk ikut beksa), seorang lelaki harus menyiapkan sedikitnya Rp. 100.000. Pada masa ini para kawula muda, meskipun belum berkeluarga, sudah berani unjuk gigi, memamerkan kebolehan mereka beksa. 

Mereka mendapatkan uang dengan menjadi kuli batu (buruh bangunan) di Surabaya atau menjadi buruh di warung soto Lamongan, khususnya di Jakarta. Tentu saja pagelaran tayub semakin semarak dengan kehadiran para tukang beksa muda yang terkenal tidak pelit dalam me-nyawer. 

Konsekuensinya, para tandhak mendapatkan uang semakin banyak dan para panjak pun kecipratan, alias mendapatkan jatah dari para tandhak. Pada era 1990-an pula, praktik-praktik prostitusi yang melibatkan para tandhak di rumah germo sudah mulai menghilang dari ruang desa di Lamongan. 

Kondisi serupa juga terjadi di daerah-daerah lain, seperti Bojonegoro, Tuban, dan Nganjuk. Syiar agama Islam yang semakin kuat dan penertiban yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya rumah-rumah prostitusi, meskipun secara terselubung masih bisa ditemukan. Meskipun demikian, kegiatan tayub tetap ramai.

MENGKONSTRUKSI MAKNA-MAKNA POSITIF

Dalam kuasa rezim negara Orba, kesenian-kesenian lokal yang masih banyak penggemarnya, tidaklah dilarang. Sebaliknya, para senimannya dirangkul dan diarahkan agar keliaran-keliaran yang berlangsung selama proses pertunjukan tidak sampai menimbulkan ekses-ekses negatif. 

Selain pembenahan estetik yang dilakukan oleh aparat pemerintah bekerjasama dengan para sarjana seni, pemerintah juga mendorong lahirnya penelitian-penelitian berorientasi kearifan lokal, di mana para peneliti didorong untuk mengkaji aspek-aspek adiluhung dari sebuah pertunjukan seni. 

Terdapat usaha untuk meng-investasi makna-makna ideal yang dilekatkan kepada pertunjukan tayub yang nota-bene hanyalah pertunjukan tari-musikal bersifat profan. Beberapa peneliti mulai memetakan dan mendefinisikan fungsi-fungsi pertunjukan tayub bagi kehidupan komunal maupun kehidupan persona para pelakunya. Beberapa warna dominan dalam kajian tayub adalah keterkaitannya dengan ritual, integrasi sosial, dan hiburan.

Tayub dan Makna kesuburan dalam Ritual Desa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun