Dalam pemaknaan politik berdasarkan fakta historis terkait konflik panjang antara Surakarta dan Blambangan, baik sebelum melibatkan kekuatan kolonial Belanda ataupun sebelumnya, pendapat Pigeud sebenarnya bisa dimaknai sebagai usaha untuk menegaskan sikap politiko-kultural yang menggunakan isu identitas Using untuk menunjukkan resistensi terhadap kekuatan yang berusaha menghegemoni keberadaan mereka; Jawa Kulonan.Â
Realitas penderitaan, sebagaimana kami ungkapkan sebelumnya, digunakan sebagai alasan untuk memperkuat identitas mereka sebagai orang Jawa yang berbeda dengan Jawa Kulonan, meskipun pada awalnya tidak menggunakan istilah Using. Namun demikian, ungkapan "tidak mau hidup bersama Wong Jawa Kulonan", memunculkan tafsiran bahwa masyarakat Using bersifat tertutup dan menolak kehadiran orang Jawa Kulonan dan etnis-etnis lain.Â
Tentu saja hal itu berbeda dengan pendapat para sarjana yang mengatakan mereka sebagai masyarakat yang terbuka terhadap masyarakat dan budaya lain. Kalaupun mereka mempertahankan adat-istiadat, ritual, kesenian, ataupun sikap hidup terbuka dan jujur yang berbeda dengan budaya Jawa Kulonan, hal itu tidak bisa dilepaskan dari sisa-sisa ajaran Hindu-Syiwa dan keegaliteran sebagai ciri khas masyarakat Jawa Majapahit. Namun, mereka tidak tertutup dan tidak menganggap diri mereka sebagai bukan orang Jawa.Â
Bisa jadi, berkembangnya stigmatisasi terhadap orang Using di masa kolonial Belanda, dikembangkan dari identifikasi awal orang-orang Jawa Kulonan berbasis kekhasan linguistik yang kemudian dipermak sedemikian rupa oleh mereka (dalam hal ini aparatus kolonial dan sebagian orang Jawa Kulonan) yang  kurang suka dengan eksistensi masyarakat Banyuwangi pribumi karena secara politik tidak mau diajak bekerjasama untuk kepentingan kolonial.Â
Hal itu bisa dimaklumi karena masyarakat Jawa-Banyuwangi memiliki lahan pertanian yang luas, sehingga relatif mandiri secara ekonomi. Penyebaran wacana stigmatik itulah yang pada akhirnya menjadi rezim kebenaran terkait keburukan orang-orang (yang dikatakan) sebagai Using.
Menariknya, labelisasi stigmatik tidaklah menjadikan mereka kerdil. Artinya, warga pendatang bolehlah membuat garis batas etnis dengan melabeli mereka sebagai komunitas Using. Menurut saya, kebiasan untuk dipanggil orang Using dalam hubungan sosial dengan komunitas Jawa Kulonan yang akhirnya diikuti oleh etnis Madura, Cina, Mandar, dan Bugis menjadikan stigma itu sesuatu yang sudah biasa.Â
Toh, mereka juga tidak mungkin menolak, karena secara politis, elit-elit Jawa Kulonan memegang tampuk kepemimpinan dalam birokrasi kolonial. Karena masyarakat sisa Blambangan punya kepentingan untuk membuat identitas kultural, maka labelisasi yang mereka terima diposisikan bukan sebagai kelemahan.Â
Alih-alih, masyarakat sisa-sisa Blambangan menerima labelisasi tersebut dan menggunakannya untuk memperkuat solidaritas komunal yang menegaskan keberbedaan dan kekuatan kultural mereka sebagai komunitas etnis di Banyuwangi (Subaharianto & Setiawan, 2012).Â
Penindasan fisik, mental, dan diskursif yang dialami masyarakat sisa Blambangan, dengan demikian, ikut membentuk perasaan senasib dan menumbuhkan benih-benih solidaritas komunal dalam menghadapi kekuatan luar yang diyakini menjadi ancaman bagi eksistensi mereka. Artinya, mereka memang secara sadar mengambil-alih dan mentransformasi pemaknaan stigmatik Using untuk memperkuat identitas mereka di tengah-tengah kekuatan politik kolonial.Â
Meskipun demikian, istilah Using memang belum diterima secara sepenuhnya oleh masyarakat Jawa-Banyuwangi di masa kolonial karena identik dengan ejekan. Kondisi itulah yang menjadikan komunitas Using di masing-masing desa memiliki karakteristik yang berbeda.
Lebih jauh lagi, ketika Islam sudah mulai masuk dan dianut sebagai agama di Banyuwangi kolonial, masyarakat (yang dikatakan) Using masih menjaga dan melestarikan keberbedaan kultural mereka dengan etnis-etnis lain. Ritual Seblang Olehsari, Seblang Bakungan, Kebo-keboan, dan kesenian Gandrung menjadi atraksi kultural untuk melanjutkan dan mempertahankan identitas khusus yang tidak dipunyai oleh orang Jawa Kulonan, paling tidak secara struktur maupun tampilan.Â