Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Identitas Using Banyuwangi di Masa Kolonial

22 November 2021   09:00 Diperbarui: 22 November 2021   10:45 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari seblang di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Mungkin banyak di antara kita selama ini memahami identita budaya yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat adalah sesuatu yang tidak mungkin berubah. Bahasa, kesenian, religi, dan ritual seringkali dijadikan legitimasi identitas seseorang yang terhubung dengan komuitas, masyarakat, atau bangsanya. 

Padahal, identitas etnis bukanlah nilai, orientasi, dan praktik kultural yang berada dalam 'zona mapan'; tetap, pasti, tidak berubah, dan dipahami sama oleh semua anggota etnis. Dari masa kolonial hingga pascakolonial, identitas etnis merupakan entitas dinamis, transformatif, penuh tegangan, atau bahkan, berubah sesuai dengan konteks historis yang melingkupinya. 

Kehadiran kekuatan-kekuatan luar yang bersifat dominan, menindas, dan membahayakan eksistensi sebuah kelompok etnis memang bisa menjadi sumber awal lahirnya solidaritas komunal yang dikembangkan melalui mobilisasi kesamaan bahasa, ritual, maupun norma dan kode lain. 

Meskipun demikian, kondisi tersebut bisa juga ditransformasi oleh para pelaku kultural ketika mereka menemukan peluang-peluang baru untuk menegosiasikan keunikan dan kekuatan etnis mereka di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang bersifat kontekstual.

Dalam semangat tersebut, banyak kelompok etnis yang mengidentifikasi dan membangkitkan-kembali kekayaan kultural arkaik, baik yang sudah lama ditinggalkan ataupun yang dulunya hanya menjadi ritual terbatas. 

Adapun alasan yang seringkali dikemukakan oleh para aktor kultural adalah, pertama-tama, untuk "melestarikan" dan "mempertahankan" jati diri etnis serta memajukan pariwisata budaya yang mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat lokal. 

Maka, identitas etnis yang pada awalnya diharapkan menjadi kekuatan politiko-kultural bagi penguatan dan pemberdayaan komunal memang tidak bisa lagi diposisikan secara esensial, tetapi penuh negosiasi dan kepentingan atau bahkan konflik yang tidak hanya melibatkan para aktor, tetapi juga anggota komunitas, rezim negara, dan kelas pemodal. 

Dalam kerangka pemikiran itulah, saya akan membincang genealogi Using dari era kolonial. Meskipun demikian, sebagai sebuah identitas, Using yang terus-menerus mengalami 'inflasi' dan valorisasi semenjak era Orde Baru; terus ditransformasikan oleh para pelaku budaya, intelektual dan tokoh adat di tengah-tengah tegangan yang seringkali terjadi.

Warisan Kolonial yang Problematis 

Tidak diragukan lagi, warga dan masyarakat Using merupakan kekuatan penyangga dinamika kebudayaan Banyuwangi. Berbagai macam atraksi kultural, dari  kesenian, ritual, hingga karnaval, yang selama ini dikonstruksi sebagai identitas Banyuwangi banyak berasal dari masyarakat Using. 

Meskipun di kabupaten ini terdapat komunitas Jawa (khususnya Mataraman dan Panaragan), Madura, dan sebagian kecil China, Melayu, Mandar, Bugis, Bali, dan Arab, komunitas Using-lah yang selama ini dianggap memberikan kontribusi bagi warna sosio-kultural Banyuwangi. 

Hal itu tentu tidak berlebihan karena dalam hal ekspresi memang komunitas Using-lah yang memiliki penanda kultural yang mampu memunculkan kemeriahan. Kebo-keboan, seblang Bakungan dan Olehsari, gandrung, kuntulan, dan barong Kemiren merupakan sebagian ritual dan kesenian yang diyakini berakar dari tradisi Using, meskipun dalam kenyataannya sudah menerima pengaruh sinkretis dari budaya-budaya lain. 

Namun, benarkah identitas Using yang dikonstruksi sebagai identitas kultural dominan di Banyuwangi tersebut sejak awal menjadi nama mereka tanpa campur-tangan ataupun rekayasa para pelaku kultural maupun aparatus negara? Dalam konteks apa sebenarnya istilah Using berkembang? 

Siapa saja yang berperan dalam mengkonstruksi ke-Using-an dalam ranah sosio-kultural? Kepentingan-kepentingan apa yang mereka mainkan? Bagaimana dinamika konstruksi identitas Using? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan saya uraikan dan menjadi warna dari tulisan ini.

Sebuah identitas etnis bukanlah sekedar warisan turun-temurun dari nenek-moyang. Lebih dari itu, ia muncul dan berkembangnya sebuah identitas juga tidak terlepas dari berbagai-macam peristiwa politik maupun sosial yang menimpa anggota komunitas etnis tertentu. 

Bahkan, identitas yang melekat kepada komunitas tertentu juga bisa tumbuh karena adanya identifikasi dari komunitas lain yang memosisikan etnis yang diidentifikasi sebagai liyan yang berbeda. Seringkali terjadi, sebuah komunitas etnis tertentu pada awalnya tidak mengindentifikasi diri mereka dengan "nama" atau "istilah" tertentu, tetapi orang luarlah yang memberikan label tersebut. 

Namun, karena sudah biasa dilabeli dan mereka pun tidak mempermasalahkannya, atau bahkan, merasakan kebanggaan tersendiri, maka para anggota komunitas tersebut pada akhirnya menerima dan membiasakan diri dengan sebutan tersebut. Dalam perkembangannya, identitas tersebut tentu akan berdialektika dengan kondisi zaman, sehingga tidak bisa hanya dipahami secara esensial dan sudah jadi sedari awalnya.

Lalu, bagaimana kita harus mendudukkan identitas Using? Pertanyaan ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa sarjana Belanda di era kolonial dan sarjana Indonesia di era pascakolonial sudah berusaha merekonstruksi kedirian masyarakat yang bertempat tinggal di Banyuwangi ini. 

Seorang warga Eropa bersama warga Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Seorang warga Eropa bersama warga Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Sebagian sarjana Belanda mendasarkan konstruksi mereka dari catatan harian yang dibuat oleh pejabat pemerintah kolonial dengan merujuk pada kekalahan prajurit Blambangan dalam peperangan melawan mereka. Sebagian intelektual Banyuwangi mengkonstruksi pendapat mereka dari penelusuran historis sejak masa Majapahit dan Belanda, penggunaan istilah Using dalam kehidupan kultural masyarakat, tafsir politiko-kultural terhadap kesenian gandrung. 

Sebagian lagi menolak atau mengkritisi labelisasi identitas Using (terkait bahasa, budaya, suku) karena dianggap merendahkan martabat masyarakat pewaris kejayaan Bhre Wirabumi (zaman Majapahit) dan Prabu Tawang Alun (pasca runtuhnya Majapahit). Sementara, para tokoh adat, budayawan, dan sebagian seniman tetap bersikukuh bahwa identitas dominan di Banyuwangi adalah Using karena kesenian, ritual, dan bahasa memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan Jawa dan Bali. 

Tentu saja, perspektif-perspektif tersebut memiliki kekhususan diskursif dan tujuan politiko-kultural yang didasarkan pada banyak pertimbangan; dari sudut pustaka, rasionalisasi personal dan komunal, serta kepentingan yang mendasari lahirnya tulisan dan pendapat tersebut.

Hal ini tentu menjadikan persoalan identitas Using di masa kini bersifat lebih kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, saya harus menafsir-ulang bermacam tafsir yang telah ditulis oleh para pakar ataupun yang diceritakan oleh para pelaku kultural, termasuk tokoh adat, budayawan, intelektual, wartawan, maupun pelaku sastra dan seni. 

Pendapat yang selama ini berkembang, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat kebanyakan, menjelaskan bahwa orang Using merupakan orang-orang dari Kerajaan Blambangan yang tersisa dari proses invansi militer dan politik kolonial Belanda ke wilayah ujung timur Jawa ini. 

Dalam hal tradisi, warga Using berbeda dari warga Jawa, Madura, maupun Bali, sebagai tiga etnis besar yang sudah sejak lama berinteraksi dengan warga Blambangan. Masyarakat non-Blambangan cenderung mengkonstruksi wacana stereotip terhadap warga sisa Blambangan, seperti "berkaitan dengan ilmu ghaib", "suka berpesta", "bersikap defensif terhadap komunitas etnis lain", "longgar dalam hubungan lelaki-perempuan", serta julukan-julukan lainnya. 

Salah satu bentuk sikap defensif komunitas ini adalah ketegasan untuk menjalankan tradisi, merayakan seni pertunjukan, maupun menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa Bali, Jawa, maupun Madura. Meskipun kenyataan hari ini menunjukkan sudah banyak warga Using yang juga menggunakan bahasa Jawa, bahasa Using tetap diakui sebagai salah satu identitas etnis, bahkan diajarkan sebagai muatan lokal dalam kurikulum SD hingga SMP. Demikian pula dengan kesenian gandrung. 

Apa yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang pilihan tersebut adalah peristiwa historis yang menjadi dasar bagi pembentukan subjektivitas Using yang bertransformasi dari masa lalu hingga masa kini dengan bermacam kepentingan, tegangan, maupun negosiasi di dalamnya.

C. Lekkerkerker, salah satu sarjana Belanda yang menulis tentang masyarakat Blambangan di masa kolonial, menuturkan keadaan menyedihkan kaum pribumi selepas Perang Bayu (salah satu perang terbesar antara pasukan Blambangan dengan tentara Belanda) sebagai berikut:

Pada tanggal 7 November 1772, sebanyak 2.505 orang lelaki dan perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni. Van Wikkerman mengatakan bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan daging dari mayat Van Schaar. 

Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai jarak yang jauh. Yang lainnya menetap di hutan dengan segala penderitaannya. (Balambangan Indisch Gids II, Th. 1923, h. 1060)

Wacana yang dihadirkan dalam paparan tersebut adalah kenyataan tragis dan menyedihkan yang harus dihadapi oleh masyarakat Blambangan; subjek yang kalah selepas peperangan besar, Perang Bayu. Para prajurit maupun masyarakat biasa, b aik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa, harus menanggung penderitaan mahadahsyat karena mereka harus kelaparan, didera penyakit, maupun meninggal. Bahkan, mereka yang berhasil melarikan diri juga meninggal. 

Bagi perempuan dan anak-anak yang masih hidup, mereka dijadikan pampasan perang oleh para tentara bayaran dari Madura. Belanda dan tentara bayaran Madura, dengan demikian, merupakan kekuatan dominan yang menjadikan masyarakat Blambangan berada dalam posisi menderita, di-marjinalkan, dan di-liyan-kan di tanah mereka sendiri.

Kondisi tragis itulah yang saya tafsir memunculkan hasrat bagi mereka yang tersisa dari invansi militer dan politik tersebut untuk memperkuat keberbedaan secara kultural-esensial yang membedakan diri mereka dengan diri etnis lain, khususnya dua etnis besar Jawa Kulonan (Mataraman dan Panaragan) serta Madura yang pernah membantu Belanda mengalahkan Blambangan. 

Memang sejak awal, budaya dan agama mereka berbeda dari kedua etnis yang mayoritas sudah memeluk Islam. Namun, perbedaan yang sudah ada menguat menjadi pembedaan karena sebagai orang-orang yang kalah dan dikalahkan dalam sistem sosial kolonial, warga Banyuwangi (nama resemi yang diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk mengganti Blambangan setelah mengangkat Mas Alit sebagai Adipati pada 1773) yang berasal dari sisa-sisa penduduk Blambangan tentu merasakan sakit hati terhadap kedua etnis tersebut dan Belanda, tentunya, sehingga mengekspresikan keberbedaan kultural menjadi pilihan dan siasat untuk memperkuat solidaritas.

Kekuatan-kekuatan dominan-luar memang bisa memosisikan komunitas subordinat sebagai subjek yang tertindas, tetapi bukan berarti mereka kalah. Energi untuk melawan seringkali meledak ketika mereka menemukan momentum komunal, sehingga di tengah-tengah penderitaan dan tragedi kemanusiaan yang mereka alami, komunitas subordinat tetap bisa mengusahakan strategi untuk bisa bertahan. Hal itu pula yang dialami oleh masyarakat Blambangan sebagaimana dicatat oleh Scholte (1927: 146) berikut. 

Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. 

Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru....

Ukuran tubuh yang tinggi-tinggi yang terdapat pada kaum lelaki dan warna kulit yang kekuningan menyolok (semarak) yang dipunyai kaum wanitanya serta keserasian ukuran dari bagian-bagian tubuh serta wajah mereka membuktikan bahwa mereka berasal dari satu ras yang mulia di jaman dahulu kala. (Dikutip dalam Anoegrajekti, 2010: 175; lihat juga, Hasan Ali, 2003: 4)

Di tengah-tengah kesedihan karena pengaruh dominan kekuatan luar yang ingin menguasai wilayah dan masyarakat Blambangan, mereka tetap memperkuat identitas mereka dengan "berpegang teguh pada adat-istiadat". 

Keyakinan pada adat-istiadat dan semangat untuk bisa survive di tengah-tengah dominasi inilah yang menjadikan orang-orang Using muncul sebagai komunitas yang berkepribadian tangguh dan tidak pernah memadamkan semangat untuk menjaga soliditas dan solidaritas komunal. 

Tentu saja, hal itu dibutuhkan karena secara politis dan sosial, di zaman kolonial, mereka memang dikalahkan dan tidak mendapatkan posisi strategis dalam struktur birokrasi yang lebih banyak diisi oleh orang-orang Eropa dan Jawa Kulonan.

Apa yang menarik untuk diperbincangkan lebih jauh lagi adalah kenyataan bahwa komunitas Using juga terbuka dengan peradaban-peradaban baru yang masuk. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari pertemuan panjang dengan etnis-etnis lain, baik sebelum masa pra-kolonial maupun pada masa kolonial Belanda. 

Hasil dari pertemuan itu misalnya bisa dilacak melalui berbagai macam kesenian Using yang merupakan hasil interaksi dengan kekuatan estetik maupun religi dari etnis-etnis lain. Meskipun demikian, mereka tetap mengakuinya sebagai kekayaan Using. 

Menurut hipotesa historis yang dibuat oleh Hamid (2012), warga Blambangan adalah penerus ras Arya ("ras yang mulia" karena menurunkan raja-raja Jawa) yang terkenal dengan kepandaian dan kegagahan dari garis keturunan Bhre Wirabumi. 

Lukisan lanskap rumah di Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Lukisan lanskap rumah di Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Sebagai ras unggul, selain ketangguhan dan keindahan fisik, mereka juga memiliki kekuatan kultural untuk bisa mempertahankan ciri khas, tetapi tetap berdialektika dengan pengaruh budaya luar tanpa harus larut dan tetap menjaga identitas mereka. Artinya, meskipun secara politis mereka dikalahkan oleh kekuatan dominan yang menindas, tetapi mereka tidak menutup diri sepenuhnya. Sebaliknya, pilihan untuk menyerap pengaruh luar merupakan siasat kultural untuk menegaskan kekuatan adaptif tanpa harus meluruhkan identitas asal sepenuhnya. 

Mereka menyadari bahwa menutup diri dalam eksklusivisme komunitas adalah pilihan yang hanya menjadikan eksistensi komunitas eks-Blambangan semakin tersisihkan. Apalagi, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka wilayah Banyuwangi sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Penjajah mendatangkan masyarakat dari Jawa (Mataraman, Panaragan), Madura, Bugis-Makassar, dan Mandar untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan (Anoegrajekti, 2010: 175). 

Kondisi ini menjadikan komunitas Using tidak bisa lagi menolak kehadiran etnis-etnis lain yang pada masa sebelumnya menjadi kekuatan dominan yang mengganggu eksistensi mereka. Meskipun orang-orang Using adalah pewaris sah dari bumi Banyuwangi, tetapi dalam urusan birokrasi kolonial mereka tidak menempati jabatan-jabatan strategis karena Belanda lebih memilih orang-orang Jawa untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan. 

Menurut saya, marjinalisasi ini menjadi salah satu sebab muncul dan berkembangnya benih-benih solidaritas komunal di antara komunitas Using hidup di wilayah-wilayah pedesaan. Salah satu cara yang dilakukan adalah munculnya komitmen untuk melanjutkan adat-istiadat dan memobilisasi wacana-wacana yang tetap bisa menggerakkan energi komunal untuk memperkuat identitas. 

Menjadi wajar ketika sarjana Belanda memberikan penilaian yang berbeda terkait eksistensi komunitas Using di Banyuwangi pada masa kolonial. Dalam catatan Lekkerkerker, terdapat beberapa nilai dan praktik kultural yang membedakan identitas masyarakat Using dengan Jawa dan Madura di Banyuwangi.

Dari rakyat Blambangan yang tua itu hanya di Banyuwangilah terjadi suatu pemulihan kembali berkenaan dengan kesejahteraan dan jumlah mereka; apa yang dinamakan orang-orang "Using" (dari kata "Using", "sing", yaitu kata bahasa pribumi, sebenarnya suatu kata yang berasal dari bahasa Bali untuk arti "tidak"); orang-orang Using itu menunjukkan ke-liyan-an mereka dengan tajam sekali dari suku bangsa Madura di daerah tersebut, tetapi mereka juga menunjukkan ke-liyan-an mereka dari sejumlah besar pendatang orang Jawa dari Barat, yaitu yang dinamakan "orang-orang Kulon". 

Keberadaannya dari ketiga golongan bangsa yang jarang sekali berkumpul itu memberi kepada pemerintah daerah suatu corak timpang. Watak, bahasa, dan adat-istiadat orang Using sangat menyimpang dari yang dipunyai oleh orang-orang Jawa lainnya; mereka itu masih menerima misalnya kawin lari dan juga terkenal sekali atas sikap harga diri mereka, kejujuran mereka, keras kepala mereka, keengganan mereka untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang-orang Eropa. Disebabkan atas pemilikan mereka atas tanah ladang yang luas, maka orang-orang Using itu adalah petani-petani yang sejahtera. Juga kebiasaan sifat mereka untuk mencari hasil-hasil hutan masih kuat tertanam pada diri mereka. (Lekkerkerker, 2005: 78) 

Sama dengan Scholte, Lekerkerker menempatkan kekhususan kultural yang dimiliki oleh masyarakat Using. Meskipun pada awalnya gaya orientalisnya muncul dengan penyebutan budaya dan masyarakat Using yang menyimpang dari tradisi Jawa seperti kawin lari atau dalam bahasa lokal disebut kawin mlayokaken, Lekerkerker tetap memberikan apresiasi terkait kunggulan mereka yang memiliki sikap kesatria. Jujur, mempertahankan harga diri, keras kepala, dan tidak mau bekerja sebagai pembantu di rumah tangga Eropa merupakan identitas kultural terkait sikap hidup komunitas Using.  

Selain ingatan akan penderitaan yang dihadirkan oleh penjajah Belanda, masyarakat Using di Banyuwangi memiliki kemandirian secara ekonomis karena memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Kemandirian secara ekonomis itulah yang menjadi kekuatan untuk menegakkan harga diri dan menolak menjadi babu di rumah-rumah keluarga Eropa. 

Berbeda dengan rekan-rekan mereka di wilayah Blambangan lain, seperti Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo yang pada akhirnya harus mengalami kemusnahan identitas karena tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk menopang usaha pemertahanan identitas mereka. 

Menjadi wajar kalau sampai saat ini, komunitas-komunitas Using masih menjalankan tradisi agraris; bercocok tanam serta mengembangkan ritual dan kesenian berbasis agraris, seperti ritual Kebo-keboan di Aliyan dan Alasmalang, Seblang di Olehsari dan Bakungan, Barong Ider Bumi di Kemiren, seni gandrung, dan lain-lain. 

Adapun bahasa Blambangan atau bahasa Using yang berasal dari bahasa Jawa Kuno menjadi komunikasi sehari-hari sekaligus membedakan mereka dengan Jawa Kulonan yang memiliki stratifikasi linguistik. 

Pertanyaannya kemudian adalah sejak kapan istilah "Using" digunakan untuk menamai komunitas pewaris darah kerajaan Blambangan. Apakah sebutan tersebut berasal dari konstruksi internal masyarakat Blambangan yang pada akhirnya disepakati sebagai konsensus, sepertihalnya konstruksi Jawa? 

Bisa dipastikan tidak ada kesamaan pendapat di antara para pemikir, budayawan, seniman, maupun intelektual muda di Banyuwangi terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan sampai dengan hari ini. Meskipun demikian, salah satu tafsir yang diberikan oleh para sarjana Belanda adalah bahwa sebutan tersebut secara spesifik merujuk kepada kebiasaan linguistik masyarakat Blambangan pada masa pendudukan kolonial di mana mereka selalu menggunakan kata "Using" atau "sing" yang berarti "tidak". 

Hal itu tentu berbeda dengan masyarakat Jawa yang menggunakan kata "ora". Kekhususan inilah yang menjadikan orang-orang non-pribumi menamai mereka sebagai masyarakat Using. Artinya, labelisasi ini bukan didasarkan atas perbedaan fisik sebagaimana yang biasa digunakan untuk menamai sebuah suku, tetapi sekedar persoalan kebiasaan menggunakan sebuah kata, "Using" atau "sing". 

Kehadiran masyarakat Jawa Kulonan dan Madura sebagai akibat pembukaan lahan pertanian di selatan dan perkebunan di Barat dan Utara sangat mungkin memunculkan perbedaan dan pembedaan yang pertama-tama berasal dari pembandingan bahasa dan kultural antara masyarakat pribumi Banyuwangi dengan non-pribumi. 

Kekhususan kata "Using" dan "sing", kemudian digunakan sebagai pembeda yang memudahkan identifikasi yang bermuatan politis: kita dan mereka. Masalahnya, para sarjana Belanda tidak pernah secara tegas mengatakan apakah munculnya istilah bahasa dan masyarakat Using berasal dari labelisasi negatif yang diberikan oleh kaum pendatang ataukah dari warga keturunan Blambangan sendiri, meskipun mereka juga membuat pembedaan kultural antara Using dan Jawa Kulonan serta Madura. 

Permasalahan inilah yang memunculkan beberapa pendapat yang pada akhirnya memunculkan perbedaan perspektif sampai dengan hari ini; apakah Using merupakan konsensus yang dibuat oleh masyarakat pribumi eks-Blambangan di tengah-tengah hegemoni Belanda dan Jawa Kulonan atau dibuat oleh orang-orang non-pribumi?

Beberapa sarjana Belanda yang berkunjung ke wilayah ini pada abad ke-19 belum memberitakan perihal penyebutan Using dalam tulisan mereka. Bahkan, tulisan di majalah Jawa pada abad ini tidak menyebut julukan Using, baik yang merujuk pada orang ataupun bahasa. 

Dalam catatan Arps (2009: 5), terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh sarjana Belanda dan majalah bahasa Jawa. Epp (datang tahun 1846) masih menamai warga Banyuwangi sebagai "orang Jawa" (Javanen) atau sebagai alternatif "orang Blambangan" (Blambangers). Stohr (singgah tahun 1858) menyebut mereka "orang Jawa Blambangan" (Javanen Blambangan). Pada akhir tahun 1858, ahli bahasa terkenal Van der Tuuk mencatat kosa kata dari bahasa lisan yang digunakan warga dan dia menamainya "dialek Banyuwangi" atau "bahasa Jawa Blambangan". 

Dua artikel pendek dari majalah Bramartani (Surakarta) dalam terbitan tahun 1879 dan 1880 mengupas beberapa perbedaan kosa kata dan pengucapan antara bahasa Banyuwangi dan Surakarta. Dua tulisan tersebut menekankan bahwa bahasa Banyuwangi tetaplah bahasa Jawa, tetapi bahasa Jawa-Kuno. 

Artinya, bukan bahasa Jawa yang berkembang di Surakarta, Mataraman/Kulonan. Bahkan Natadiningrat, Adipati Banyuwangi dari Malang yang menjabat dari tahun 1912 hingga 1919, pada tahun 1915 menamai warga lokal sebagai "tiyang Banyuwangi" (orang Banyuwangi)" atau "tiyang Blambangan" (orang Blambangan).

Istilah Using atau Jawa-Using mulai diperkenalkan oleh beberapa sarjana Belanda menjelang pertengahan abad ke-20, meskipun secara historis-antropologis masih menyisahkan beberapa keraguan.  Menurut Scholte (1927), nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (seperti Mataraman dan Panaragan) berdasarkan kata penyangkal "Using" atau "sing" yang berarti "tidak", meskipun demikian mereka tidak menyukai julukan atau panggilan tersebut dan lebih suka menamai diri mereka orang "Jawa asli" (dikutip dalam Arps, 2009: 9). 

Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, kalau tesis yang dibangun Scholte benar, maka penamaan sekaligus labelisasi Using tidak berasal dari masyarakat Blambangan, tetapi dari masyarakat Jawa Kulonan yang datang ke Banyuwangi untuk membuka lahan-lahan pertanian di bagian selatan. 

Sementara, Stoppelaar, salah satu pakar hukum adat, yang menulis pada tahun 1927 (diterbitkan dalam versi terjemahan pada tahun 2004 di Majalah Budaya Jejak, No.5) menyebut bahasa warga Blambangan dengan bahasa "Osing-Jawa" atau "Jawa-Osing", sedangkan untuk orang-orangnya disebut secara bergantian "Jawa Banyuwangi" dan "Osing".  

Dalam kehidupan sosial kolonial di mana warga antaretnis berinteraksi di Banyuwangi, sangat mungkin identifikasi terhadap sebuah komunitas pribumi (penghuni awal wilayah ini) pertama-tama dibangun dari praktik kebahasaan sehari-hari. Sementara orang-orang Jawa Kulonan menggunakan bahasa dengan dialek Mataraman atau Panaragan, mereka mendengar dan melihat cara bicara warga Blambangan yang berbeda, khususnya penggunaan kata "sing" yang merujuk pada "tidak". 

Penggunaan istilah khusus yang mudah diingat untuk menandai secara linguistik keberadaan komunitas yang berbeda dari diri mereka inilah yang menjadi kebiasaan untuk menamai warga Banyuwangi keturunan Blambangan sebagai Using. Tafsir ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa warga pribumi bukanlah orang Jawa, karena mereka sendiri tidak suka dengan julukan atau label Using. 

Label linguistik terhadap komunitas tersebut bisa ditafsir untuk membedakan komunitas Jawa Kulonan dengan komunitas Jawa-Banyuwangi atau Jawa-Blambangan yang menyebut diri mereka sebagai orang Jawa asli merujuk pada eksistensi mereka sebagai pewaris geneologis kebesaran Kerajaan Majapahit yang belum memeluk Islam sebagaimana Mataram Surakarta. 

Sekali lagi, label tersebut bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa warga pribumi Banyuwangi bukan orang Jawa, tetapi sekedar sebagai cara orang Jawa Kulonan untuk menamai komunitas pribumi Jawa yang berbeda secara linguistik dan kultural karena masih menggunakan bahasa dan tata cara kultural dari Jawa Kuno.

Meskipun demikian, berkembang pula konstruksi diskursif yang mengatakan bahwa pemberian nama Using itu diarahkan oleh orang Jawa Kulonan untuk men-stigma bahwa penduduk pribumi Banyuwangi "tidak" atau "bukan" Jawa. Alasannya, bahasa dan budaya mereka berbeda dengan bahasa dan budaya Mataraman maupun Panaragan sehingga layak disebut tidak atau bukan Jawa. 

Entah, dari mana datangnya konstruksi tersebut, karena para sarjana Belanda hanya mencatat kekhususan mereka secara linguistik. Tidak juga ditemukan bukti bahwa labelisasi yang digunakan masyarakat Jawa Kulonan tersebut merujuk pada eksistensi linguistik dan kultural yang menegaskan mereka bukan Jawa. 

Celakanya, konstruksi "tidak Jawa" ini kemudian diikuti dengan wacana-wacana lain seperti masyarakat Using sebagai masyarakat tertutup, eksklusif, suka ilmu hitam, suka berpesta, terbuka dalam hubungan asmara, suka berpesta, dan lain-lain. Pertanyaanya, dari mana identifikasi identitas negatif ini berasal? 

Saya menduga, identifikasi tersebut berasal dari konstruksi ragam-ranah yang dibuat oleh pihak-pihak yang memang sengaja membuat stigmatisasi terhadap eksistensi dan identitas orang Using. Perbincangan lisan yang berasal dari amatan sehari-hari warga Jawa Kulonan, wacana stigmatik dalam pertunjukan Damarwulan yang menjelekkan kedirian Minak Jinggo, dan tulisan peneliti yang mereproduksi asumsi stigmatik yang ada di masyarakat atau merujuk pada pendapat sarjana Belanda terentu bisa dikatakan ikut memperluas konstruksi tersebut. Akibatnya, sampai sekarang, sebagian masyarakat non-Using, baik di Banyuwangi maupun luar Banyuwangi, masih mengganggap stereotipisasi tersebut sebagai sebuah kebenaran.  

Sri Margana, salah satu sejarahwan dari UGM yang memfokuskan kajiannya pada sejarah Banyuwangi dari masa kolonial hingga pascakolonial, mengkritisi 'dalil' yang mengatakan bahwa Using berarti bukan Jawa sebagai berikut.

Ada upaya menjelaskan, bahwa kata using yang artinya "tidak" atau "bukan" pertama kali dipakai penduduk Jawa dari wilayah Barat yang berimigrasi dan tinggal di Banyuwangi. Istilah itu dipakai untuk membedakan diri mereka dengan penduduk asli. Dengan kata lain, "tidak" atau "bukan" di sini yang dimaksudkan adalah "tidak Jawa" atau "bukan Jawa". Penjelasan ini memunculkan pertanyaan mengapa orang Jawa tidak menggunakan istilah sendiri yang lazim digunakan yaitu "ora Jawa" atau "dudu' Jawa". 

Masyarakat Jawa di Jawa Tengah biasanya menyebut orang luar dengan "wong sabrang", atau jika ingin mengatakan orang yang tidak berkepribadian Jawa dengan istilah "durung Jawa", artinya belum Jawa. Dalam konteks kebudayaan Jawa, "durung Jawa" jika ia belum bisa mengaplikasikan unsur-unsur penting kejawaan, yaitu bahasa (yang terdiri dari ngoko, alus, dan krama) dan segala norma dan nilai yang melekat dalam kebudayaan Jawa. (Margana, 2012: 17)

Pendapat Margana di atas mengkonstruksi gagasan yang bertentangan dengan pendapat yang sudah terlanjur diyakini selama ini oleh sebagian aktor kultural di Banyuwangi bahwa Using berarti bukan atau tidak Jawa, tetapi suku yang berdiri sendiri. Maka, seperti kami sampaikan sebelumnya, sebutan yang dipahami stigmatik tersebut bisa jadi awalnya bukan diarahkan untuk mengatakan bahwa orang Blambangan bukanlah Jawa, tetapi sekedar menandai kelompok masyarakat yang berbeda dengan orang Jawa Kulonan yang secara politik lebih diuntungkan oleh sistem kolonial. 

Sebagai alternatif, Margana menawarkan sebuah gagasan yang mengatakan bahwa sebutan Using bagi masyarakat Blambangan tidak bisa dilepaskan dari pengalaman historis yang membuat mereka menderita pada abad ke-18 ketika dikuasai Bali (Margana, 2012: 17-23). 

Orang-orang hasil kawin-campuran antara penguasa Bali dengan warga Blambangan tidak pernah dimasukkan ke dalam sistem kasta, bahkan yang terendah sekalipun, sehingga Using disebut sebagai "manusia tak berkasta". Hal itulah yang menurut Margana menjadikan warga Blambangan tidak suka disebut Using, apalagi didukung fakta bahwa penguasa Bali berlaku semena-mena di wilayah ini.

Yang pasti, wacana "bukan Jawa" dan "bukan Bali" oleh sebagian budayawan Banyuwangi yang mulai mendapatkan peluang untuk menyuarakan kekhususan identias kultural sejak zaman Orde Baru dianggap sebagai tafsir paling representatif dari ke-Using-an. 

Apakah mereka menelusuri dengan serius asal-muasal tafsir keberantaraan Using tersebut dengan menelaah data-data kolonial karena sebagian besar data itu tidak memunculkan definisi tersebut? Ataukah mereka hanya mengutip data kolonial yang diyakini memiliki nilai politis untuk menunjukkan kekuatan dalam keberbedaan Using? 

Margana dengan nada nyinyir mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Banyuwangi kontemporer, termasuk di dalamnya para budayawan, tidak memahami konteks historis dan antropologis istilah tersebut, sehingga stigma yang sebenarnya memiliki makna negatif justru diyakini sebagai identitas lokal (Margana, 2012: 15).  

Meskipun demikian, kita bisa menelusuri sebuah sumber kolonial yang ditulis oleh Pigeud terkait pilihan sikap masyarakat Using yang dalam perkembangan selanjutnya, sejak Orde Baru sampai era pasca Reformasi, masih diyakini sebagai kebenaran dan direproduksi oleh banyak akademisi Indonesia. Pigeud (1929) secara interpretatif menjelaskan:

Provinsi Jawa Timur yang tertimur adalah Kabupaten Banyuwangi. Di wilayah ini dijumpai etnik Using atau etnik yang menyatakan diri sebagai penduduk asli Blambangan-Banyuwangi. Kata "using" merupakan kata serapan dari Bali, yakni "sing" yang artinya "tidak". 

Interpretasi historis bermakna etnis yang menolak hegemoni dari luar Blambangan atau kekuatan luas yang bermaksud menguasai wilayah Blambangan. Dalam konteks ini, kata "using" berarti penduduk asli Blambangan (Banyuwangi) yang tidak mau hidup bersama dengan "Wong Jawa Kulonan", maknanya hegemoni dari Jawa wilayah Barat. (dikutip dalam Hamid, 2011: 25)

Dalam pemaknaan politik berdasarkan fakta historis terkait konflik panjang antara Surakarta dan Blambangan, baik sebelum melibatkan kekuatan kolonial Belanda ataupun sebelumnya, pendapat Pigeud sebenarnya bisa dimaknai sebagai usaha untuk menegaskan sikap politiko-kultural yang menggunakan isu identitas Using untuk menunjukkan resistensi terhadap kekuatan yang berusaha menghegemoni keberadaan mereka; Jawa Kulonan. 

Realitas penderitaan, sebagaimana kami ungkapkan sebelumnya, digunakan sebagai alasan untuk memperkuat identitas mereka sebagai orang Jawa yang berbeda dengan Jawa Kulonan, meskipun pada awalnya tidak menggunakan istilah Using. Namun demikian, ungkapan "tidak mau hidup bersama Wong Jawa Kulonan", memunculkan tafsiran bahwa masyarakat Using bersifat tertutup dan menolak kehadiran orang Jawa Kulonan dan etnis-etnis lain. 

Tentu saja hal itu berbeda dengan pendapat para sarjana yang mengatakan mereka sebagai masyarakat yang terbuka terhadap masyarakat dan budaya lain. Kalaupun mereka mempertahankan adat-istiadat, ritual, kesenian, ataupun sikap hidup terbuka dan jujur yang berbeda dengan budaya Jawa Kulonan, hal itu tidak bisa dilepaskan dari sisa-sisa ajaran Hindu-Syiwa dan keegaliteran sebagai ciri khas masyarakat Jawa Majapahit. Namun, mereka tidak tertutup dan tidak menganggap diri mereka sebagai bukan orang Jawa. 

Bisa jadi, berkembangnya stigmatisasi terhadap orang Using di masa kolonial Belanda, dikembangkan dari identifikasi awal orang-orang Jawa Kulonan berbasis kekhasan linguistik yang kemudian dipermak sedemikian rupa oleh mereka (dalam hal ini aparatus kolonial dan sebagian orang Jawa Kulonan) yang  kurang suka dengan eksistensi masyarakat Banyuwangi pribumi karena secara politik tidak mau diajak bekerjasama untuk kepentingan kolonial. 

Hal itu bisa dimaklumi karena masyarakat Jawa-Banyuwangi memiliki lahan pertanian yang luas, sehingga relatif mandiri secara ekonomi. Penyebaran wacana stigmatik itulah yang pada akhirnya menjadi rezim kebenaran terkait keburukan orang-orang (yang dikatakan) sebagai Using.

Menariknya, labelisasi stigmatik tidaklah menjadikan mereka kerdil. Artinya, warga pendatang bolehlah membuat garis batas etnis dengan melabeli mereka sebagai komunitas Using. Menurut saya, kebiasan untuk dipanggil orang Using dalam hubungan sosial dengan komunitas Jawa Kulonan yang akhirnya diikuti oleh etnis Madura, Cina, Mandar, dan Bugis menjadikan stigma itu sesuatu yang sudah biasa. 

Toh, mereka juga tidak mungkin menolak, karena secara politis, elit-elit Jawa Kulonan memegang tampuk kepemimpinan dalam birokrasi kolonial. Karena masyarakat sisa Blambangan punya kepentingan untuk membuat identitas kultural, maka labelisasi yang mereka terima diposisikan bukan sebagai kelemahan. 

Alih-alih, masyarakat sisa-sisa Blambangan menerima labelisasi tersebut dan menggunakannya untuk memperkuat solidaritas komunal yang menegaskan keberbedaan dan kekuatan kultural mereka sebagai komunitas etnis di Banyuwangi (Subaharianto & Setiawan, 2012). 

Penindasan fisik, mental, dan diskursif yang dialami masyarakat sisa Blambangan, dengan demikian, ikut membentuk perasaan senasib dan menumbuhkan benih-benih solidaritas komunal dalam menghadapi kekuatan luar yang diyakini menjadi ancaman bagi eksistensi mereka. Artinya, mereka memang secara sadar mengambil-alih dan mentransformasi pemaknaan stigmatik Using untuk memperkuat identitas mereka di tengah-tengah kekuatan politik kolonial. 

Meskipun demikian, istilah Using memang belum diterima secara sepenuhnya oleh masyarakat Jawa-Banyuwangi di masa kolonial karena identik dengan ejekan. Kondisi itulah yang menjadikan komunitas Using di masing-masing desa memiliki karakteristik yang berbeda.

Lebih jauh lagi, ketika Islam sudah mulai masuk dan dianut sebagai agama di Banyuwangi kolonial, masyarakat (yang dikatakan) Using masih menjaga dan melestarikan keberbedaan kultural mereka dengan etnis-etnis lain. Ritual Seblang Olehsari, Seblang Bakungan, Kebo-keboan, dan kesenian Gandrung menjadi atraksi kultural untuk melanjutkan dan mempertahankan identitas khusus yang tidak dipunyai oleh orang Jawa Kulonan, paling tidak secara struktur maupun tampilan. 

Karena, meskipun di Jawa Kulonan juga dikenal ritual dan kesenian sejenis, seperti sedekah bumi/nyadran dan seni tayub, secara struktur pertunjukan dan tampilan visual berbeda. Ritual yang berbeda antara komunitas Using yang satu dengan komunitas yang lain menegskan bahwa tidak mungkin menyeragamkan elemen-elemen kultural di antara komunitas Using, termasuk perbedaan persepsi terkait pertunjukan gandrung di mana tidak semua warga dari desa-desa Using mau menerimanya.

Pemertahanan ritual dan kesenian tersebut juga untuk menegaskan bahwa meskipun agama Islam mulai menjadi mayoritas sejak ditaklukkannya para prajurit Blambangan Hindu dan dikendalikannya pemerintahaan Banyuwangi oleh arapatus ningrat bentukan kolonial, secara kultural masyarakat (yang dikatakan) Using tidak bisa ditundukkan sepenuhnya, karena mereka masih mewarisi dan menerukan adat-istiadat para leluhur Blambangan-Hindu. 

Oleh sebagian kaum santri, realitas kultural tersebut juga memunculkan stigma terkait tradisi masyarakat Blambangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama, meskipun sebagian yang lain tidak mempermasalahkan. Dari foto-foto yang dibuat fotografer Belanda antara tahun 1910 sampai 1930, bisa dikatakan bahwa seblang dan gandrung menjadi ekspresi kultural khusus yang menunjukkan keberbedaan masyarakat Jawa-Banyuwangi. Tentu saja, bahasa juga menjadi penanda kekhususan tersebut.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa persoalan identitas Using pada masa kolonial, atau setelah ditaklukkannya Blambangan oleh pihak Belanda, masih diliputi oleh kabut tebal atau simpang-siur. Meskipun demikian, konstruksi positif tentang sikap hidup terbuka, jujur, tidak mau menyerah terhadap dan bekerjasama dengan kekuatan asing serta kesetiaan kepada adat-istiadat dan kesenian menunjukkan bahwa para sarjana Belanda berusaha memosisikan ke-Using-an dalam posisi identitas yang sangat khas. 

Identitas inilah menjadi kekuatan mereka untuk mempertahankan perasaan senasib dan memperkuat komunalitas sebagai warga penerus kerajaan Blambangan. Keengganan untuk dilabeli sebagai Using merupakan pilihan sikap untuk tidak terkungkung dalam pemaknaan politis etnis lain, khususnya Jawa Kulonan dan Bali, yang secara historis menjadi kekuatan dominan-menindas dalam kehidupan para pendahulu mereka.

Kalaupun akhirnya mereka membiarkan labelisasi itu melekat ke dalam komunitas warga Jawa-Banyuwangi, hal itu semata-mata karena mereka sudah biasa mendengarkan sebutan itu dan secara politis tidak mungkin melawan kekuatan yang pernah melakukan genosida terhadap para pendahulu. 

Dalam konteks itulah, masyarakat (yang dikatakan) Using membangun komunikasi dan dialektika kultural dengan kekuatan-kekuatan asing, bukan untuk menyatakan kekalahan, tetapi untuk mentransformasi identitas mereka di tengah-tengah semakin kuatnya pengaruh budaya asing, termasuk Eropa, Jawa Kulonan, Madura, dan lain-lain. 

Gandrung dengan kaos kaki di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Gandrung dengan kaos kaki di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Bahkan dengan budaya Eropa, mereka melakukan dialektika, yakni ketika penari gandrung menggunakan kaos kaki dan musisinya menggunakan biola yang sudah disesuaikan dengan nada khas Blambangan. Dengan kata lain, identitas komunitas (yang dikatakan) Using juga diwarnai dengan kemampuan dan kemauan transformatif untuk mengapropriasi sebagian budaya asing yang dianggap baik meskipun itu berasal dari penindas tanpa harus meniru sepenuhnya.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan itulah asumsi stereotip bahwa komunitas (yang pada akhirnya menerima dikatakan) Using ini bukanlah masyarakat tertutup, tidak mau hidup berdampingan dengan etnis lain, khususnya Jawa Kulonan. Kalaupun ada asumsi bahwa mereka longgar dalam hubungan antarjenis, pertanyaannya, apakah di etnis lain juga tidak terjadi? 

Toh, tidak semua dari mereka bersepakat dengan hubungan model itu. Kalaupun mereka dikatakan suka berpesta, apakah etnis lain tidak suka berpesta, khususnya yang terkait dengan ritual keluarga maupun komunal? Kalaupun mereka memiliki tradisi kawin mlayokaken yang dikatakan bertentangan dengan hukum agama dan negara, bukankah mereka punya mekanisme lokal untuk mengesahkan pernikahan itu? Apalagi semakin berkembangnya agama Islam dan melek hukum pernikahan menjadikan masyarakat Jawa-Banyuwangi mulai meninggalkan tradisi ini. 

Kalaupun penari gandrung dianggap mengumbar erotisme dengan gaya tariannya, bukankah di etnis Jawa Kulonan dan etnis-etnis lain berkembang tarian serupa? Bukankah tarian-tarian itu merupakan kekayaan kultural masa lampau berbasis budaya agraris yang harus dibaca-kembali kontekstualisasinya di masa kontemporer? 

Yang pasti, asumsi-asumi stereotip yang dilekatkan dengan kata "Using" tersebut memang menyebarluas melalui banyak ranah, sehingga di sebagian masyarakat Jawa Kulonan, Panaragan, Madura, dan etnis-etnis lain berkembang cara pandang negatif. Kondisi itu pula yang menjadikan sebagian intelektual dan budayawan kritis dari Banyuwangi mencoba untuk melakukan pembacaan-ulang terhadap konstruksi tersebut, khususnya di masa pascareformasi. 

* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab Using dalam konstruksi dan tegangan dari masa kolonial hingga masa pascakolonial" dalam buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana.

Daftar Bacaan

Ali, Hasan. 2003. "Kata dan Predikat Using". Majalah Budaya Jejak, No. 03: 13-16.

Anoegrajekti, Novi. 2010. "Padha Nonton dan Seblang Lukinto: Membaca Lokalitas dalam Keindonesiaan". Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 22, No.2: 171-182.

Arps, Ben. 2009. "Using kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic identity and the regional past as an ambient theme in East Javanese town". Wacana, Vol.11, No.1: 1-38.

Hamid, Sumono Abdul. 2012. "Majapahit Kedaton Wetan, Negeri dengan Banyak Julukan". Lembar Kebudayaan, No. 24: 37-52.

Hamid, Sumono Abdul. 2011. "Wong Banyuwangi Bukan Using". Dalam Lembar Kebudayaan, No. 15: 23-30.

Lekkerkerker, C. 2005. "Sejarah Blambangan" (alih bahasa Pitoyo Budhy Setiawan). Diterbitkan-kembali dalam Jejak, No. 07: 77-81.

Margana, Sri. 2012. "Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi". Lembar Kebudayaan, Juni: 5-36.

Stoppelar, Y.W. De. 2004. "Hukum Adat Belambangan". Diterbitkan-kembali dalam Jejak, No. 5: 67-77.

Subaharianto, Andang & Ikwan Setiawan. 2012. "Menjadi Sang Hibrid: Hibriditas Budaya dalam Masyarakat Lokal, Studi Kasus di Masyarakat Using dan Tengger". Laporan Penelitian. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun