Selain ingatan akan penderitaan yang dihadirkan oleh penjajah Belanda, masyarakat Using di Banyuwangi memiliki kemandirian secara ekonomis karena memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Kemandirian secara ekonomis itulah yang menjadi kekuatan untuk menegakkan harga diri dan menolak menjadi babu di rumah-rumah keluarga Eropa.Â
Berbeda dengan rekan-rekan mereka di wilayah Blambangan lain, seperti Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, dan Probolinggo yang pada akhirnya harus mengalami kemusnahan identitas karena tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk menopang usaha pemertahanan identitas mereka.Â
Menjadi wajar kalau sampai saat ini, komunitas-komunitas Using masih menjalankan tradisi agraris; bercocok tanam serta mengembangkan ritual dan kesenian berbasis agraris, seperti ritual Kebo-keboan di Aliyan dan Alasmalang, Seblang di Olehsari dan Bakungan, Barong Ider Bumi di Kemiren, seni gandrung, dan lain-lain.Â
Adapun bahasa Blambangan atau bahasa Using yang berasal dari bahasa Jawa Kuno menjadi komunikasi sehari-hari sekaligus membedakan mereka dengan Jawa Kulonan yang memiliki stratifikasi linguistik.Â
Pertanyaannya kemudian adalah sejak kapan istilah "Using" digunakan untuk menamai komunitas pewaris darah kerajaan Blambangan. Apakah sebutan tersebut berasal dari konstruksi internal masyarakat Blambangan yang pada akhirnya disepakati sebagai konsensus, sepertihalnya konstruksi Jawa?Â
Bisa dipastikan tidak ada kesamaan pendapat di antara para pemikir, budayawan, seniman, maupun intelektual muda di Banyuwangi terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan sampai dengan hari ini. Meskipun demikian, salah satu tafsir yang diberikan oleh para sarjana Belanda adalah bahwa sebutan tersebut secara spesifik merujuk kepada kebiasaan linguistik masyarakat Blambangan pada masa pendudukan kolonial di mana mereka selalu menggunakan kata "Using" atau "sing" yang berarti "tidak".Â
Hal itu tentu berbeda dengan masyarakat Jawa yang menggunakan kata "ora". Kekhususan inilah yang menjadikan orang-orang non-pribumi menamai mereka sebagai masyarakat Using. Artinya, labelisasi ini bukan didasarkan atas perbedaan fisik sebagaimana yang biasa digunakan untuk menamai sebuah suku, tetapi sekedar persoalan kebiasaan menggunakan sebuah kata, "Using" atau "sing".Â
Kehadiran masyarakat Jawa Kulonan dan Madura sebagai akibat pembukaan lahan pertanian di selatan dan perkebunan di Barat dan Utara sangat mungkin memunculkan perbedaan dan pembedaan yang pertama-tama berasal dari pembandingan bahasa dan kultural antara masyarakat pribumi Banyuwangi dengan non-pribumi.Â
Kekhususan kata "Using" dan "sing", kemudian digunakan sebagai pembeda yang memudahkan identifikasi yang bermuatan politis: kita dan mereka. Masalahnya, para sarjana Belanda tidak pernah secara tegas mengatakan apakah munculnya istilah bahasa dan masyarakat Using berasal dari labelisasi negatif yang diberikan oleh kaum pendatang ataukah dari warga keturunan Blambangan sendiri, meskipun mereka juga membuat pembedaan kultural antara Using dan Jawa Kulonan serta Madura.Â
Permasalahan inilah yang memunculkan beberapa pendapat yang pada akhirnya memunculkan perbedaan perspektif sampai dengan hari ini; apakah Using merupakan konsensus yang dibuat oleh masyarakat pribumi eks-Blambangan di tengah-tengah hegemoni Belanda dan Jawa Kulonan atau dibuat oleh orang-orang non-pribumi?
Beberapa sarjana Belanda yang berkunjung ke wilayah ini pada abad ke-19 belum memberitakan perihal penyebutan Using dalam tulisan mereka. Bahkan, tulisan di majalah Jawa pada abad ini tidak menyebut julukan Using, baik yang merujuk pada orang ataupun bahasa.Â