Dalam catatan Arps (2009: 5), terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh sarjana Belanda dan majalah bahasa Jawa. Epp (datang tahun 1846) masih menamai warga Banyuwangi sebagai "orang Jawa" (Javanen) atau sebagai alternatif "orang Blambangan" (Blambangers). Stohr (singgah tahun 1858) menyebut mereka "orang Jawa Blambangan" (Javanen Blambangan). Pada akhir tahun 1858, ahli bahasa terkenal Van der Tuuk mencatat kosa kata dari bahasa lisan yang digunakan warga dan dia menamainya "dialek Banyuwangi" atau "bahasa Jawa Blambangan".Â
Dua artikel pendek dari majalah Bramartani (Surakarta) dalam terbitan tahun 1879 dan 1880 mengupas beberapa perbedaan kosa kata dan pengucapan antara bahasa Banyuwangi dan Surakarta. Dua tulisan tersebut menekankan bahwa bahasa Banyuwangi tetaplah bahasa Jawa, tetapi bahasa Jawa-Kuno.Â
Artinya, bukan bahasa Jawa yang berkembang di Surakarta, Mataraman/Kulonan. Bahkan Natadiningrat, Adipati Banyuwangi dari Malang yang menjabat dari tahun 1912 hingga 1919, pada tahun 1915 menamai warga lokal sebagai "tiyang Banyuwangi" (orang Banyuwangi)" atau "tiyang Blambangan" (orang Blambangan).
Istilah Using atau Jawa-Using mulai diperkenalkan oleh beberapa sarjana Belanda menjelang pertengahan abad ke-20, meskipun secara historis-antropologis masih menyisahkan beberapa keraguan. Â Menurut Scholte (1927), nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (seperti Mataraman dan Panaragan) berdasarkan kata penyangkal "Using" atau "sing" yang berarti "tidak", meskipun demikian mereka tidak menyukai julukan atau panggilan tersebut dan lebih suka menamai diri mereka orang "Jawa asli" (dikutip dalam Arps, 2009: 9).Â
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, kalau tesis yang dibangun Scholte benar, maka penamaan sekaligus labelisasi Using tidak berasal dari masyarakat Blambangan, tetapi dari masyarakat Jawa Kulonan yang datang ke Banyuwangi untuk membuka lahan-lahan pertanian di bagian selatan.Â
Sementara, Stoppelaar, salah satu pakar hukum adat, yang menulis pada tahun 1927 (diterbitkan dalam versi terjemahan pada tahun 2004 di Majalah Budaya Jejak, No.5) menyebut bahasa warga Blambangan dengan bahasa "Osing-Jawa" atau "Jawa-Osing", sedangkan untuk orang-orangnya disebut secara bergantian "Jawa Banyuwangi" dan "Osing". Â
Dalam kehidupan sosial kolonial di mana warga antaretnis berinteraksi di Banyuwangi, sangat mungkin identifikasi terhadap sebuah komunitas pribumi (penghuni awal wilayah ini) pertama-tama dibangun dari praktik kebahasaan sehari-hari. Sementara orang-orang Jawa Kulonan menggunakan bahasa dengan dialek Mataraman atau Panaragan, mereka mendengar dan melihat cara bicara warga Blambangan yang berbeda, khususnya penggunaan kata "sing" yang merujuk pada "tidak".Â
Penggunaan istilah khusus yang mudah diingat untuk menandai secara linguistik keberadaan komunitas yang berbeda dari diri mereka inilah yang menjadi kebiasaan untuk menamai warga Banyuwangi keturunan Blambangan sebagai Using. Tafsir ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa warga pribumi bukanlah orang Jawa, karena mereka sendiri tidak suka dengan julukan atau label Using.Â
Label linguistik terhadap komunitas tersebut bisa ditafsir untuk membedakan komunitas Jawa Kulonan dengan komunitas Jawa-Banyuwangi atau Jawa-Blambangan yang menyebut diri mereka sebagai orang Jawa asli merujuk pada eksistensi mereka sebagai pewaris geneologis kebesaran Kerajaan Majapahit yang belum memeluk Islam sebagaimana Mataram Surakarta.Â
Sekali lagi, label tersebut bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahwa warga pribumi Banyuwangi bukan orang Jawa, tetapi sekedar sebagai cara orang Jawa Kulonan untuk menamai komunitas pribumi Jawa yang berbeda secara linguistik dan kultural karena masih menggunakan bahasa dan tata cara kultural dari Jawa Kuno.
Meskipun demikian, berkembang pula konstruksi diskursif yang mengatakan bahwa pemberian nama Using itu diarahkan oleh orang Jawa Kulonan untuk men-stigma bahwa penduduk pribumi Banyuwangi "tidak" atau "bukan" Jawa. Alasannya, bahasa dan budaya mereka berbeda dengan bahasa dan budaya Mataraman maupun Panaragan sehingga layak disebut tidak atau bukan Jawa.Â