Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Diasporik: Kompleksitas Wacana dan Kepentingan dalam Siasat Representasional di Ruang Metropolitan

30 Oktober 2021   12:53 Diperbarui: 30 Oktober 2021   12:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Pilihan Mengestu untuk menarasikan perjalanan dan perjuangan hidup Stephanos di Amerika Serikat merupakan pilihan diksursif sekaligus ideologis untuk mengikuti formasi minoritas model. Dalam formasi ini, subjek diasporik dituntut untuk mengikuti nilai, norma, dan perilaku budaya dominan karena mereka butuh untuk berjuang mewujudkan impian mereka di tanah harapan, tanah yang dijanjikan. Formasi diskursif ini, menurut Chae (2008: 6) merupakan model tulisan yang secara politis menyepakati kebijakan-kebijakan pemerintah negara induk tempat kaum diasporik tinggal yang berkaitan dengan multikulturalisme di mana mereka diharuskan mengikuti budaya dominan. Sebagian penulis memilih untuk mengikuti formasi diskursif tersebut dan, tentu saja, tidak  menjadi masalah. 

Namun, secara ideologis, pada akhirnya mereka tidak bisa mengelak dari wacana yang mendukung kebenaran multikulturalisme-asimilatif dan hanya merayakan etnisitas yang berasal dari budaya asal serta menegasikan konteks historis di mana banyak kaum diasporik mengalami ketidakadilan ekonomi, hukum, dan politik. Ketika mereka berada dalam formasi demikian, kita bisa mengatakan bahwa kepentingan ideologis penulis untuk meredefinisi makna kebangsaan dan kebudayaan melalui proses hibriditas tidak bisa dilepaskan dari perspektif oksidentalisme yang menempatkan budaya liberal Barat sebagai orientasi hegemonik;sebagai kebenaran yang mesti disebarluaskan, ketimbang budaya asal yang menyisakan trauma. 

Adapun pilihan untuk mengkritisi kebijakan multikulturalisme asimilatif sembari mempertahakan perbedaan budaya dalam 'kotak-kotak' yang disengaja dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum diasporik, mengikuti pandangan Chae (2018: 7), merupakan tulisan yang secara sadar akan potensi bahaya dari kebijakan tersebut. Menghadirkan konteks historis dari dilema penerapan multikulturalisme serta rasisme ke dalam struktur naratif merupakan kepentingan ideologis pengarang untuk tidak sekedar larut dengan menghadirkan keunikan budaya dan peristiwa asimilasi subjek diasporik. Mereka, seperti yang dikalukan Smith, tidak mau sekedar menjadi penyaksi dari keberhasilan minoritas model yang senyatanya masih menyisakan persoalan pelik di masyarakat, khususnya komunitas diasporik. 

Para pengarang memilih untuk secara kreatif-diskursif menghadirkan kompleksitas wacana untuk menunjukkan bahwa apa-apa yang dibayangkan oleh mayoritas kulit putih sebagai prestasi peradaban dengan menjanjikan kesejahteraan dan pengakuan akan perbedaan adalah proyek yang sudah mapan. Sebaliknya, kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam kehidupan nyata perlu pula dihadirkan sehingga menjadikan penulis bagian dari proyek diskursif yang terus bergerak untuk mengatakan bahwa banyak permasalahan di negara-negara maju yang dituduhkan sebagai akibat dari ketidakmampuan subjek diasporik untuk mengapropriasi etos Barat perlu dipertanyakan lagi. Bagaimanapun juga, subjek diasporik adalah manusia yang selalu berusaha untuk melakukan adaptasi, tetapi stigmatisasi dan stereotipisasi terhadap merekalah yang ikut memunculkan bermacam masalah.

Tentu, masih banyak wacana dan kepentingan yang bisa dibaca dari sastra diasporik, semisal gender, nasionalisme, neo-Orientalisme, dan isu-isu kontemporer lainnya. Banyak karya diasporik yang bisa dikaji dengan beragam sudut pandang sehingga akan menghasilkan temuan-temuan kritis yang selalu menghubungkan narasi dengan kondisi historis. Melalui tulisan ini, paling tidak, saya sudah memaparkan sedikit pemahaman bahwa sastra diasporik memiliki kompleksitas wacana dan kepentingan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan oleh para pengarangnya. Dan, sekali lagi, semua itu tidak berdiri sebagai "teks yang merdeka" karena selalu memiliki keterhubungan dengan pengarang dan masyarakatnya yang kompleks.

Daftar Bacaan 

Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge: 

Bhabha, Hommi K. 1984. Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse". Dalam October, Vol. 28, "Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis", hlm. 125-133. 

Dawson, Ashley. 2007. Mongrel Nation:  Diasporic Culture and the Making of Postcolonial Britain. Michigan: Michigan University Press. 

Cohen, Robin. 2008. Global diaspora: An introduction, 2nd Edition. London: Routledge. 

Chae, Youngsuk. 2008. Politicizing Asian American Literature: Towards a Critical Multiculturalism. New York: Routledge. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun