Diaspora sebagai Konteks: Beberapa Kecenderungan Kajian
Sebagai usaha untuk memberikan perspektif baru terkait diaspora sekaligus memperluas versi klasiknya,[1] Safran dalam pengantarnya untuk volume pertama jurnal Diaspora: A Journal of Transnational Studies (1991), sebagaimana dikutip dalam Kral (2009: 13), memberikan beberapa karakteristik tentang komunitas diasporik bersandar pada perspektif "negara induk" vs "negara asal". Pertama, mereka atau nenek moyang mereka telah berpindah dari negara asal menuju negara asing/induk. Kedua, komunitas diasporik masih memelihara ingatan kolektif terkait tanah air dan menghargainya sebagai tempat ideal ke mana mereka atau keturunan mereka akan (atau harus) kembali pada akhirnya; jika kondisi memungkinkan. Ketiga, mereka memahami diri mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat induk sehingga merasa terasing. Keempat, mereka mengidealisasikan perbaikan atau restorasi tanah air, khususnya terkait keamanan dan kesejahteraan. Kelima, mereka secara ajeg berhubungan dengan tanah air serta membangun kesadaran dan solidaritas etno-komunal.Â
Sebagai kritik sekaligus untuk melengkapi kategori yang sudah dibuat Safran, Cohen (2008: 6-7), memaparkan empat kategori. Pertama, diaspora adalah kelompok yang menyebar ke negara-negara lain untuk alasan kolonial ataupun sukarela. Artinya, tidak selamanya perpindahan itu berkaitan dengan kolonialisme ataupun persoalan politik, tetapi bisa juga karena alasan-alasan lain yang disengaja atau dengan sukarela dilakukan oleh orang-orang diasporik, seperti alasan bisnis, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain. Dinamika para diaspora China di Asia Tenggara, misalnya, merupakan contoh bagaimana motivasi perbaikan ekonomi pada akhirnya menjadikan mereka kekuatan ekonomi dominan di masing-masing negara tujuan. Kedua, kebajikan positif dalam mempertahankan identitas diasporik (Cohen, 2008: 7). Dari pada harus mengungkapkan aspek-aspek negatif yang dialami subjek diasporik di masyarakat induk, Cohen menegaskan bahwa tegangan etnis, nasional, dan transnasional seringkali bersifat kreatif, bahkan bisa memperkaya budaya induk. Â
Ketiga, diaspora seringkali memobilisasi identitas kolektif, bukan hanya terkait tempat pemukiman atau dalam penghormatan terhadap tanah air yang dibayangkan, diasumsikan, atau asli, tetapi juga terkait solidaritas dengan anggota etnis yang sama di negara-negara lain (Cohen, 2008: 7). Ikatan bahasa, agama, budaya, dan perasaan senasib menyemai dan melahirkan semacam hubungan transnasional, sehingga kewarganegaraan formal menjadi kurang bermakna secara emosional. "Tanggung jawab bersama" merupakan istilah tepat untuk menggambarkan sentimen tersebut.Â
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa di antara komunitas etnis sama yang menyebar juga terjadi tegangan karena perbedaan sudut pandang. Kesetiaan kepada negara tempat bermukim seringkali berkonflik dengan tanggung-jawab bersama terhadap negara asal. Bagi subjek yang telah mengalami mobilitas sosial secara nasional, mereka biasanya enggan untuk berkumpul dan bersolidaritas dengan komunitas etnis sama yang secara sosial beradah di kelas bawah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa isu mobilitas identitas etnis di kota-kota metropolitan di negara-negara maju tidak bisa di-gebyah-uya karena perbedaan kelas dan capaian ekonomi, sosial, maupun politik bisa memunculkan jarak kultural yang memisahkan subjek dalam komunitas sama.Â
Kempat, dalam keadaan tertentu, diaspora bisa digunakan untuk menjelaskan ikatan transnasional terkait tanggung jawab bersama, meskipun klaim eksklusif wilayah secara historis tidak begitu disuarakan (Cohen, 2008: 7-8). Konsep ini berlaku terutama bagi kelompok-kelompok yang telah berpindah tempat berkali-kali, sehingga tanah air mereka untuk alasan praktis telah hilang, juga berlaku untuk beberapa komunitas religius. Selain itu dalam era global ketika ruang dikonstruksi dalam dunia maya, sebuah diaspora bisa, untuk beberapa hal, dilekatkan dan dikonstruksi kembali melalui pikiran, artifak, dan buaya populer, serta melalui imajinasi komunal. Cohen menyebutnya deterritorialized diaspora.
Kalau kita cermati lagi, baik paparan Safran ataupun Cohen, meskipun sudah mencakup kondisi-kondisi terkini keberadaan diaspora dengan beragam kepentingan dan permasalahannya, masih memunculkan asumsi identitas kolektif yang mengikat warga diasporik. Sementara, sebagai kaum pendatang yang harus survive di tengah-tengah budaya dominan kulit putih, mereka dituntut untuk melakukan peniruan dan apropriasi, sehingga identitas bukan lagi sebuah entitas esensial dan kaku. Salah satu kelemahan argumen-argumen konseptual di atas adalah ketiadaan penekanan tentang bagaimana subjek diasporik menyusun strategi dan cara yang tepat, baik dalam kehidupan nyata maupun jagat representasional, untuk mengapropriasi budaya induk secara dinamis dan, seringkali, mengusung nilai-nilai liberal yang memiliki perbedaan secara radikal dengan wacana-wacana budaya asal. Pembekuan budaya ibu yang selalu dilekatkan kepada warga diasporik, kalau tidak hati-hati, berpotensi untuk melanggengkan "cita rasa eksotik Barat terhadap Timur" sebagai keberlanjutan jejak panjang kolonial di era pascakolonial dan mendapatkan legitimasi posmodernitas di lingkungan metropolitan negara-negara maju. Â
Dalam perkembangannya, muncul pemikiran yang memberikan perspektif baru dalam memandang makna dan subjektivitas diaspora. Perkembangan pemikiran posmodernisme dan poskolonialisme mendorong beberapa pemikir konstruksionis memosisikan diaspora sebagai realitas kompleks terkait subjektivitas yang terdeteritorialisasi yang tidak bisa semata-mata dikaji menggunakan konsep "tanah air" dan "komunitas etnis/religius" atau "negara/masyarakat induk". Alih-alih, subjektivitas mereka harus dikaji dengan cara-cara yang lebih lentur dan bersifat situasional. Artinya, harus diperhatikan kondisi-kondisi partikular yang melingkupi kehidupan mereka dan tidak bisa langsung digunakan konsep general, karena masing-masing individu atau komunitas membawa sejarah dan menghadapi permasalahan yang berbeda.Â
Bahkan, antarindividu dalam sebuah komunitas bisa jadi hidup dalam situasi dan permasalahan yang berbeda. Menurut Kral (2009: 14-15) ketelenturan dalam proses menjadi subjek metropolis yang masih menyimpan hasrat akan tanah air, lebih jauh lagi, mengimplikasikan posisi liminal orang-orang diasporik di tengah-tengah perbedaan kultural. Dari posisi ini mereka melakukan percampuran-kreatif, melintasi batas budaya baru, dan negosiasi terus-menerus, sehingga identitas bukanlah sesuatu yang pasti. Ketidaktetapan identitas ini memunculkan proses dinamis yang menantang pemahaman tradisional yang diwarisi dari ideologi hegemonik negara-bangsa  yang mulai mendapatkan kritik karena pertumbuhan luar biasa populasi diasporik di seluruh dunia.Â
Dalam bahasa yang lebih sederhana Mishra (2007: 3-4), dalam usahanya untuk memetakan diaspora yang dialami oleh masyarakat India, mengatakan bahwa diaspora baru mencakup di dalamnya pemahaman multikultural sebagai ideologi dan praktik hegemonik dan perkembangan sosial baru sebagai akibat perkembangan teknologi, globaliasi, hipermobilitas, dan posmodernitas. Semua kondisi itu menjadikan subjek diasporik tetap dituntut bersiasat secara kultural, tetapi mereka juga bisa lebih lentur dalam memahami keterhubungan dengan negara  asal. Mereka, misalnya, karena sudah memasuki jagat simulakral, tidak harus membawa tanah air dalam bentuk "ikon Ganesha", salinan Ramayana atau Qur'an yang didengarkan dengan walkman, kain sari, dan yang lain. Mereka cukup mengahdirkan 'tanah air' dalam kamar kecil di kota-kota metropolitan karena jejaring dunia maya bisa membawa kerinduan mereka menemui jejak-jejak ikonik dari kampung halaman. Meskipun demikian, prinsip gebyah-uya kurang tepat diterapkan untuk semua subjek diasporik karena tidak semua dari mereka bisa menikmati kemajuan teknologi atau memiliki kesetaraan dan kemampuan untuk melakukan siasat-siasat kultural. Â
Siasat Representasional dalam KeberantaraanÂ