Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Diasporik: Kompleksitas Wacana dan Kepentingan dalam Siasat Representasional di Ruang Metropolitan

30 Oktober 2021   12:53 Diperbarui: 30 Oktober 2021   12:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Dua cerita di atas, paling tidak, mengindikasikan beberapa wacana yang disuguhkan dalam narasi-narasi diasporik. Pertama, pilihan menghadirkan diasporic imaginary dalam kerangka "melampaui" menegaskan bahwa komunitas diaspora melakukan revisi secara ajeg terhadap makna kebangsaan dan kebudayaan yang tidak bisa lagi diposisikan dalam bingkai kaku dan pasti. Memang ada elemen-elemen identitas yang tetap dipelihara, tetapi itu semua berlangsung dalam suasana multikultural dalam arahan budaya dominan yang menjadikan ideologi nasionalisme asal menjadi ingatan yang tidak harus diterapkan secara kaku. 

Bangsa dan nasionalisme dalam hal demikian adalah "proyek menjadi" yang unik, karena meskipun warga diasporik sudah menjadi warga negara di negara-negara maju, toh, mereka sekecil apapun masih memiliki bayangan-bayangan akan masa lalu, keluarga, dan kampung halaman, meskipun tidak selalu membahagiakan. Dalam hal ini, pengarang sesungguhnya tengah menegosiasikan kepentingan mereka untuk meng-investasi makna kebangsaan, bukan hanya di negara asal tetapi juga di negara induk. Bahwa, Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, tidak bisa lagi memaksakan nasionalisme berbasis supremasi kulit putih karena kenyataannya, warga kulit berwarna dari benua lain sudah menjadi bagian dari bangun kemasyarakatan dan kebangsaan melalui bermacam bidang kehidupan.

Kedua, hibriditas memang bisa menjadi strategi survival yang dinamis bagi subjek diasporik, namun, di sisi lain, cenderung memosisikan budaya ibu dalam posisi marjinal karena mereka lebih banyak menjalankan budaya induk. Stephanos, misalnya, lebih menikmati menjadi Amerika dengan beragam kebebasan dan kesempatannya. Meninggalkan komunitas imigran Ethiopia di AS merupakan pilihan strategis sekaligus ideologis baginya karena dengan demikian dia bisa mengatasi keterikatannya dengan kampung halaman, bahasa, makanan, dan perilaku yang bisa menghambat proses belajar menjadi Amerika sebagai syarat utama untuk mewujudkan semua impiannya. 

"Meninggalkan Ethiopia menuju Amerika" adalah pilihan asimilatif yang menegaskan keutamaan kultural negara induk karena menjanjikan bermacam kemajuan hidup dibandingkan dengan negara asal yang hanya memberikan penderitaan dan kelaparan. Dalam posisi ini, semua pengalaman atau cerita traumatik tentang tanah air, pemberontakan Red Terrors, misalnya akan memperkuat pilihan untuk lebih menjalankan nilai ke-Amerika-an karena memelihara kenangan dan mempertahankan ke-Ethiopi-an hanya akan menjadikannya manusia tanpa harapan.

Dalam konteks negara multikultural seperti Inggris, proses hibriditas yang diarahkan dalam spirit asimilasi yang harus dijalani oleh warga diaspora generasi kedua ataupun ketiga bisa memunculkan permasalahan yang lebih kompleks. Smith secara apik dan kritis mewacanakan bagaimana perjuangan generasi kedua diasporik tidak mudah karena harus berhadapan dengan konservatisme keluarga yang masih menginginkan anak-anaknya tidak menjalankan kebebasan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat induk. Di ruang domestik, kekakuan orang tua sebagai generasi pertama yang masih kuat mempertahankan tradisi meskipun di luar rumah mereka juga menyerap sebagian nilai-nilai Barat menghadirkan konflik kultural yang tidak bisa dihindari. 

Anak-anak mereka yang sudah semakin biasa dengan ke-Barat-an, khususnya dalam hal membebaskan hasrat dan ekspresi diri jelas mengalami jarak kultural dengan orang tua. Proses tersebut sekaligus mengantarkan kita kepada pemahaman yang lebih kompleks terkait bangsa dan negara di mana generasi kedua  ada yang lebih memilih menjadi bagian dari negara dan bangsa induk dengan segala konskuensi kehilangan ikatan dengan negara dan bangsa asal kedua orang tua mereka. Bukan hanya keterikatan secara administratif sebagai warga negara, tetapi keterikatan yang lebih mendalam.

Idealisasi hibriditas yang menempatkan subjek diasporik ke dalam proses peniruan praktik dan nilai budaya warga kulit putih juga tidak menjamin bahwa persoalan warga dominan mau menerima mereka. Masalah identitas mulatto yang dialami Irie mengindikasikan betapa usaha nyata untuk bertingkah dan berdandan ala warga kulit putih tidak menjamin apa-apa selain kesia-siaan. Residu kolonial yang menempatkan orang kulit berwarna dan kaum mulatto sebagai liyan, rupanya belum bisa dihilangkan dalam sebagian besar pemahaman dan imajinasi warga dominan. 

Superioritas dan kemurnian yang mendiskriminasi dan memarjinalisasi orang-orang kulit bewarna dan mulatto sejak era kolonial masih menjadi kenyataan yang berlanjut meskipun multikulturalisme sudah diakui sebagai ideologi negara-negara maju. Meskipun orang kulit berwarna ataupun mulatto sudah menjadi warga negara yang memberikan kontribusi kepada penyemaian kehidupan berbangsa seperti menjadi bagian dari tim olah raga masih ada endapan ketidaksukaan, sampai-sampai Smith harus menuliskan kisah Irie.

Yang lebih memprihatinkan, tentu saja, ketidakterjaminan sosial dan kultural yang dihadapi oleh subjek diasporik generasi kedua bisa mengarah kepada pilihan yang dalam konteks nasional dan internasional dianggap berbahaya. Seperti yang dilakukan Millat dengan bergabung ke organisasi radikal berbasis agama. Pencarian identitas diri yang ia lakukan tidak menemukan sebuah titik singgah pada budaya Banglades yang secara ketat diajarkan oleh orang tuanya ataupun budaya Inggris yang memberikan janji kebebasan dan kemajuan hidup. 

Ada wilayah batin yang tidak bisa dicukupi oleh keduanya. Identitas keagamaan yang diidentifikasi sebagai aliran radikan dan dikaitkan dengan terorisme global lebih menarik hatinya karena ia merasa mendapatkan tempat singgah yang langsung menyentuh kebutuhan spiritualnya. Wacana stereotip ataupun stigmatisasi yang diberikan oleh orang-orang kulit putih terhadap organisasi berbasis agama yang diposisikan radikal bisa menjadikan subjek semakin mendekatinya karena itu semua dianggap elemen hasutan yang sudah biasa. Kenyamanan bersama organisasi tersebut sekaligus menjadi kritik terhadap dua kutub budaya yang seharusnya menjadi acuan, budaya ibu dan budaya induk, yang ternyata tidak memberikan rasa nyaman dalam proses pencarian identitas.   

Membaca Kepentingan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun