Dengan konsep "melampui", Bhabha memosisikan subjektivitas ataupun budaya sebagai proses kreatif, kritis, konstruktif, dan inovatif di ruang-antara masyarakat pascakolonial di negara-negara sedang berkembang atau masyarakat metropolitan di negara-negara maju. Dalam konteks diaspora, komunitas subdordinat-pendatang direpresentasikan dalam berada dalam situasi atau proses kolaborasi sekaligus kontestasi antara masa kini di mana mereka menemukan banyak wacana dan pengetahuan liberal yang diidealisasikan bisa membawa diri ke dalam kemajuan hidup dengan masa lampau yang, diakui atau tidak, menimbulkan aspek traumatik mendalam terkait peristiwa atau tragedi di negara asal, meskipun ada juga hal-hal kecil yang membuat tersenyum.Â
Proses di ruang antara ini juga menuntut kemampuan subjek diasporik untuk melakukan inklusi budaya dominan kulit putih yang dirasa bisa membantunya mewujudkan impian ideal serta mengeksklusi sebagian dari mereka yang dianggap akan menghancurkan budaya ibu. Terhadap budaya ibu, subjek diasporik juga diposisikan dalam praktik inklusi dan eksklusi. Sepedih apapun masa lalu di kampung halaman, budaya ibu akan sulit untuk dilupakan atau ditiadakan sepenuhnya, karena darinya ia bisa menemukan ingatan dan solidaritas komunal yang menjadi semacam energi positif dalam ke-liyan-an di ruang metropolitan. Â Artinya, budaya bukan sekedar nilai, ide, dan tindakan dari masa lampau yang bersifat utuh dan murni, bukan pula sekedar apa-apa yang didapatkan dari masa kini. Dari proses saling melintasi garis-batas perbedaan yang bukan berarti melebur sepenuhnya, budaya menjadi proses yang melampaui subjektivitas asli yang dengannya subjek diasporik bisa mengkonstruksi strategi kedirian di tengah-tengah perbedaan dan kekuasaan yang menjadikan mereka subordinat.
Siasat melampaui ini pula yang menjadikan banyak penulis diasporik 'bermain-main' secara kreatif untuk menghadirkan beragam wacana yang dinamis dan kompleks tentang pengalaman meng-ada di ruang metropolitan. Tentu saja, banyak pilihan naratif yang bisa diusung, baik yang memilih moda realis, realisme magis, ataupun yang lain. Namun, kita masih bisa menemukan bagaimana ragam turunan dari konsep "melampaui" dihadirkan dalam struktur representasional. Dalam struktur sosial metropolitan yang masih menempatkan komunitas mayoritas kulit putih, misalnya, sebagai subjek dominan yang meneruskan tradisi ketidaksetaraan ala kolonial, identifikasi "kita" dan "mereka" bukanlah kerangka "mengerikan" yang mudah dilenyapkan dalam iklim demokratis dan multikultural. Bagi manusia-manusia pendatang dari Asia, Afrika, Latin, Karibia, dan yang lain, perlawanan frontal bukanlah sebuah pilihan yang tepat karena relasi dominasi masih kuat.Â
Dalam kondisi itulah konsep "mimikri sekaligus mockery" menjadi pilihan representasional dalam tulisan. Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi dari subjek kolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas yang menyerupai penjajah tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126). Sebagai artikulasi ganda, mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa metropolitan. Dengan cara tersebut, subjek liyan melakukan perbaikan diri dengan cara belajar budaya modern, termasuk menulis dalam model Barat, maupun membiasakan diri dengan gaya hidup komunitas dominan, tetapi mereka tetap bisa menegosiasikan kesadaran akan kedirian kultural yang berbeda.
Dalam representasi mimikri/mockery kita bisa menemukan kepentingan politik yang mengancam kemapanan dan keutuhan budaya dominan melalui struktur naratif. Ancaman yang dimaksudkan adalah ancaman yang menggangu tatanan wacana dan pengetahuan dominan melalui visi ganda mimikri (Bhabha, 1984: 129). Dalam sebuah ruang hidup yang dipenuhi perbedaan rasial dan kultural, menjadi penting untuk mendefinisikasn siapa-siapa yang boleh dan tidak boleh dikategorikan ke dalam sekaligus bisa mendukung kekuasaan. Ketika mimikri berlangsung dalam visi ganda-nya, subjek subordinat melakukan apropriasi sekaligus inapropriasi  yang mengakibatkan ketidakutuhan perbedaan rasial dan kultural sebagaimana diyakini oleh subjek dominan. Bagi subjek subordinat mimikri menjadi ejekan terhadap kesatuan atau keutuhan wacana dan pengetahuan yang selama ini dikonstruksi sebagai rezim kebenaran sebagai basis mekanisme kekusaan.Â
Artinya, subjek subordinat bisa mengapropriasi model wacana dan kekuasaan dominan dalam tulisan mereka untuk melakukan proyek subjektivitas yang berada dalam kegandaan yang sekaligus mengingkari kebenaran wacana dan kekuasaan tersebut untuk memperluas kedaulatan. Konsep "serupa tapi tak sama" atau "hampir sama tapi tidak sepenuhnya" dalam mimikri inilah yang oleh Bhabha (1984: 130) disebut sebagai metonimi kehadiran, sebuah tujuan strategis yang diproduksi melintasi batasan-batasan kultural dalam wujud semacam kamuflase, sebuah bentuk kemiripan yang membedakan kehadiran menyeluruh dengan memamerkannya sebagian; sesuatu yang benar-benar menjadi ejekan sekaligus ancaman. Dalam ruang geopolitik metropolitan di mana perbedaan kultural ditransformasikan secara ajeg sebagai kebenaran yang harus dipelihara, kelompok subordinat/minoritas tentu harus membuat pilihan-pilihan strategis agar bisa survive di tengah-tengah kelompok dominan yang masih memandang mereka sebagai liyan. Bagi Bhabha, keselipan dan kegandaan kultural yang berlangsung dalam mimikri merupakan sebuah strategi yang sangat penting untuk bisa survive.Â
Ketika mimikri berlangsung dalam produk-produk representasional yang mengganggu konstruksi keutuhan wacana dan pengetahuan sebagai dalam sebuah relasi kekuasaan berbasis oposisi biner, efek lanjutnya adalah ketidakadaan atau ketidakhadiran budaya yang bersifat otentik atau murni. Bhabha menyebut produk budaya yang demikian sebagai "hibriditas". Namun, apa yang harus dipahami adalah bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antarbudaya, seperti dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politiko-kultural yang mendasari kelahirannya.Â
Menurut Bhabha (1994: 113-114), hibriditas merupakan produk dari mimikri yang menekankan artikulasi ganda, sehingga pandangan, perilaku, maupun wacana kultural yang berada di dalamnya ditujukan untuk memaknai-ulang klaim kebenaran epistemologis perbedaan sebagai basis dominasi. Dengan mengkonstruksi subjek hibrid, pihak diasporik berada dalam lokasi yang memudahkan subjek dominan melakukan pengawasan terhadapnya karena tampak mengikuti aturan maupun wacana dominan, tetapi tetap berada dalam posisi yang tidak setara. Namun, ketransparansian hibriditas merupakan bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan berbasis diskriminasi karena meskipun terdisiplinkan subjek hibrid terus melipat-gandakan kedirian dan budaya mereka dan mengingkari kebenaran diskriminasi kultural sehingga kekuasaan dimunculkan dan dimaknai secara berbeda; dalam artian tidak sepenuhnya tunduk. Dalam wacana hibriditas, negosiasi sebagian budaya ibu tetap berlangsung yang darinya kekuatan resisten dalam permainan ambivalensi dan tipu daya pengakuan dalam meniru sekaligus mengejek, tidak sepenuhnya ditundukkan dalam diskriminasi kultural tetap hadir. Aspek-aspek kultural dominan yang diapropriasi bukan lagi sebagai "simbol" dari kekuasaan, tetapi sebagai "tanda" yang bisa memunculkan makna dan wacana baru yang selip yang menghancurkan fondasi perbedaan kultural secara esensial.
Namun, kita harus mencermati pula betapa hibriditas sebenarnya juga berpotensi untuk menghadirkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks. Subjek diasporik-hibrid bisa saja melakukan proses asimilasi yang berbeda dengan idealisasi pemertahanan budaya ibu karena ia akan cenderung menjadi bagian dari mayoritas. Sementara, budaya ibu hanya ditempatkan di wilayah marjinal. Selain itu, hibriditas sebagai strategi survival bisa menjadi legitimasi proses pemeradaban Barat, sebuah repetisi logika kolonial, yang dilekatkan kepada janji-jani kemajuan hidup apabila subjek mau meniru dan menjalankan budaya dominan-Barat. Menghadirkan struktur naratif yang menceritakan proses ke-melampui-an demikian tentu sah-sah saja. Masalahnya adalah kekuatan strategis dan survival hibriditas hanya akan menjadi "pengantar menuju ke rumah besar" negara induk dan lambat-laun budaya asal hanya akan menjadi senandung pengantar tidur tanpa memiliki kekuatan strategis untuk membicarakan subjektivitas.Â
Mempermasalahkan Hibriditas: Beberapa CeritaÂ
Dinaw Mengestu, penulis Amerika Serikat kelahiran Etiopia yang mengikuti migrasi kedua orang tuanya ketika masih bayi, sebagaimana dikaji oleh Yuyun Wahyuni (2016), menarasikan dengan apik pengalaman-pengalaman kultural yang dialami subjek diasporik dalam novel debutnya, The Beautiful Things That Heaven Bears (2007). Tokoh utama Shepa Stephanos mengalami peristiwa-peristiwa kultural yang mula-mula menjadikannya merasakan ketidaknyamanan sebagai subjek liyan, karena merasa seperti 'tidak memiliki rumah' (unhomely). Kondisi itu terjadi karena Stephanos merasakan ketidaknyamanan dengan orang-orang baru dan aturan, nilai, orientasi, dan tindakan yang sama sekali berbeda dengan tradisi masyarakatnya.Â