Jika The Satanic Verses adalah sesuatu, ia adalah tatapan mata-imigran terhadap dunia. Ia ditulis dari pengalaman dasar ketercerabutan akar, keterpisahan, dan metamorfosis...itulah kondisi migran, dan darinya, saya yakin, bisa diturunkan sebuah metafor tentang kemanusiaan...The Satanic Verses merayakan hibridititas, ketidakmurnian, pembauran, transformasi yang menghadirkan kombinasi baru dan tak diharapkan dari manusia, budaya, ide, film, dan lagu. Karya ini menggirangkan percampuran dan ketakutan akan absolutisme sang Murni. Melange (campuran), campur-aduk, sedikit ini sedikit itu, yang merupakan cara bagaimana kebaruan memasuki dunia. Ini adalah kemungkinan besar bahwa migrasi massa memberi dunia, dan saya berusaha merangkulnya. The Satanic Verses ditujukan untuk perubahan-dengan-fusi, perubahan-dengan-penggabungan. Ia adalah senandung-cinta bagi diri-diri campur kita. (Salman Rushdie dikutip dalam Mishra, 2007: 224)
Dalam Dunia Campur-Aduk: Pengantar
Sebagai penulis yang merasakan gejolak politik di India dan ragam persoalan di metropolitan Barat seperti masih kuatnya sentimen rasial terhadap kaum pendatang Asia Selatan, Afrika, Karibia, dan wilayah bekas jajahan Inggris lainnya yang menuntutnya untuk bersikap dan bersiasat, Salman Rusdhie memosisikan karya-karya yang ia tulis sebagai situs untuk menyampaikan pesan bahwa kehadiran komunitas diasporik, migran, atau komunitas transnasional lainnya dalam sebuah negara akan memunculkan kebaruan dalam memandang dunia; masyarakat dan budaya. Inggris tidak bisa lagi dikatakan sebagai bangsa kulit putih karena kehadiran bermacam diaspora dan keturunan mereka selama beberapa generasi pascakolonial menjadikan negeri ini tempat bercampurnya beragam manusia dan komunitas dari bermacam bangsa, mongrel nation (Dawson, 2007).Â
Ekspresi-ekspresi budaya dalam bentuk nilai, pakaian, kuliner, maupun kesenian yang di era kolonial hanya bisa ditemukan melalui ragam bentuk travel writing, majalah, karya prosaik, ataupun laporan penelitian, menjadi semakin biasa dalam ruang metropolitan, London misalnya, sehingga kemurnian ras yang diagung-agungkan sebagai fondasi superioritas masyarakat Inggris sebagai "penguasa jagat" menjadi semakin sulit untuk dipertahankan. Kalaupun bisa dipertahankan hanya menjadi gerakan-gerakan radikal seperti Ku Klux Klan di Amerika Serikat.
Pada diri kaum diaspora sendiri, selain mereka ikut berkontribusi dalam menjadikan kota-kota metropolitan menjadi semakin berwarna dalam hal manusia dan budaya, juga berlangsung proses kompleks di mana mereka harus menghadapi sentimen rasial dalam ruang multikultural, merasakan nostalgia terhadap bermacam kenangan di tanah kelahiran, menjalankan sebagian budaya ibu, mangapropriasi sebagain budaya metropolitan, memimpikan perbaikan kehidupan di tanah air, dan mewujudkan impian-impian akan kehidupan yang lebih baik.Â
Proses tersebut beserta permasalahan, tegangan, dan dinamika yang berlangsung seperti keterasingan, liminalitas, keberantaraan, dan hibriditas menjadikan subjek diasporik harus memaknai dan memahami-ulang konsep-konsep yang bergerak dinamis seperti identitas, politik, jender, bangsa, dan nasionalisme. Memang, apropriasi nilai-nilai liberal dan multikultural berlangsung dalam kehidupan komunitas diaspora, namun bukan berarti ingatan-ingatan ideal akan 'kampung halaman' dengan bermacam perniknya musnah. Dengan cara itu, individu-individu diasporik bisa survive di tengah-tengah kehidupan metropolitan tanpa harus kehilangan sepenuhnya hubungan dengan budaya ibu mereka.
Kompleksitas kultural itulah yang menjadi "sumber kreatif" bagi penulisan karya sastra diasporik. Para penulis yang berasal dari generasi pertama, kedua, ketiga, atau generasi selanjutnya berada dalam medan diskursif dan praksis yang memosisikan mereka sebagai subjek bagi lalu-lintas, kompetisi, adaptasi, apropriasi, sentimen-prasangka, dan harapan kultural yang saling campur-aduk. Itulah mengapa, Salman Rushdie dalam kutipan di atas menyatakan bahwa ia merayakan kecampur-adukkan yang dulu di masa kolonial tidak mungkin terjadi dalam kehidupan metropolitan dan, itu semua, terjadi karena kehadiran subjek diasporik dengan ragam warna budaya, cita-cita, impian, dan permasalahan.Â
Meskipun demikian, para pengarang tentu tidak harus mengusung wacana seragam, karena mereka juga mempunyai pandangan dunia, kepentingan, dan posisi kelas berbeda. Lebih dari itu, kompleksitas kultural memungkinkan mereka mengapropriasi nilai dan pemikiran liberal tanpa sepenuhnya meninggalkan budaya ibu dengan proses-proses kompleks dan konfliktual, termasuk definisi-ulang dan pemahaman-ulang bangsa, nasionalisme, multikulturalisme, jender, dan politik (Kral, 2009; Moslund, 2010; Grace, 2007; Wong, 1993; Ling, 1998).
Artikel ini akan mengupas kompleksitas konstruksi wacana dalam sastra diasporik yang tidak lepas dari konteks kehidupan diasporik di tengah-tengah kondisi multikultural metropolitan yang masih menyisakan masalah, kepentingan-kepentingan yang dinegosiasikan penulis serta motif komersil pihak penerbit. Untuk kepentingan tersebut, pertama-tama, saya akan melakukan survei pemikiran untuk menjabarkan deskripsi diaspora sebagai konteks yang tidak bisa dilepaskan dari proses kreatif penulis. Kedua, saya akan memaparkan siasat representasional yang dilakukan oleh para penulis diasporik di tengah-tengah metropolitan. Siasat representasional saya maksudkan sebagai tindakan kreatif-sastrawi yang dilakukan penulis dalam menarasikan ingatan-ingatan masa lalu yang seringkali menyisakan trauma dan kesedihan, tetapi tidak jarang pula menyisakan ingatan-ingatan yang menyenangkan, sekecil dan sesederhana apapun.Â
Namun demikian, mereka juga harus merespons beragam permasalahan seperti dari rasisme dan ketidakadilan ekonomi yang berlangsung di negara induk. Siasat tersebut akan menghasilkan karya-karya sastrawi yang memroduksi kecenderungan wacana dalam memandang masalah tersebut. Untuk mengetahui kecenderungan diskursif yang dipilih, saya akan memberikan contoh analisis singkat dari beberapa karya sastra diasporik. Ketiga, pembacaan terhadap ragam kepentingan yang dinegosiasikan oleh penulis diasporik akan menjadi penekanan berikutnya dalam tulisan ini. Dengan beberapa pokok pembahasan tersebut, saya berharap bisa memberikan gambaran singkat tentang kompleksitas sastra diasporik yang terhubung dengan kepentingan komunal, personal penulis, maupun penerbit sebagai kapitalisme industri budaya. Â Â