Selain kontekstualisasi-kontekstualisasi di atas, pemikiran-pemikiran Bhabha juga bisa menjadi ‘teman diskusi’ untuk membincang persoalan budaya nasional dan nasionalisme di negara-negara pascaklonial. Di Indonesia, misalnya, aparatus negara, politisi, pemikir, aktor kultural, dan warga negara, sampai dengan hari ini, masih berada dalam tegangan terus-menerus antara menomorsatukan budaya tradisional dan menerapkan budaya modern dalam bingkai kebangsaan pascakolonial. Sayangnya, budaya nasional yang menjadi penopang dari nasionalisme pascakolonial gagal didefinisikan dan diformulasikan karena wacana dominan yang berkembang masih berkutat dalam kerangka biner.
Atau, dengan kata lain, tidak mampu melakukan apropriasi-inapropriasi budaya modern yang mau tidak mau harus dimasukkan dalam desain budaya nasional dan nasionalisme Indonesia, tanpa meninggalkan budaya tradisional sepenuhnya. Tentu saja, pemikiran-pemikiran Bhabha harus dimodifikasi dan dikritisi karena dalam konteks Indonesia, persoalan menjadi bangsa modern yang masih mengandalkan nasionalisme teritorial-militeristik, “NKRI harga mati”, bertumpang-tindih dengan relasi antarbudaya lokal berbasis etnis/ras yang di satu sisi mampu melintasi garis-batas, tetapi di sisi lain masih dipelihara sebagai basis untuk mobilisasi kepentingan politik dan ekonomi.
(...bersambung ke artikel berikutnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H