Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

30 Oktober 2021   09:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih jauh lagi, modernitas dilembagakan dalam sistem pemerintahan dan direpresentasikan dalam narasi media sebagai rezim kebenaran, sehingga ia menjadi visi dan idealisasi bagi subjek masyarakat pascakolonial untuk terus mendamba dan mengharapkan diri mereka menjadi modern (Venn, 2000: 49; 2006: 55). Di sisi lain, mereka masih belum bisa lepas sepenuhnya dari ikatan komunal dan budaya lokal sebagai bentuk identitas dan kekuatan kolektif yang diwariskan secara turun-temurun. Dualitas psiko-kultural merupakan subjektivitas baru yang menandai dan menjadi karakteristik masyarakat pascakolonial di mana tidak mungkin lagi ditemukan jalan untuk kembali ke sebuah kemurnian atau kemasalampauan asli, meskipun tidak sepenuhnya pula budaya residual ditinggalkan.

a. Mimicry/Mockery 

Dalam struktur sosial yang di dalamnya berlangsung ketidaksamaan antara “yang menjajah” dan “yang dijajah” atau “kelompok dominan” dan “kelompok subordinat/minoritas”, konstruksi pengetahuan kultural yang dibangun berdasarkan konsep “kita” dan “mereka” merupakan fondasi penting untuk menjalankan relasi kuasa dominasi. Perbedaan-perbedaan rasial dan kultural dipelihara (antagonisme) untuk membenarkan misi pemeradaban karena mereka sebagai liyan harus diarahkan dan dididik agar ter-cerah-kan; berpikir dan bertindak modern. Namun, kedekatan antara penjajah dan subjek jajahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun institusi pendidikan untuk kalangan elit lokal, tidak bisa menghilangkan memori dan realitas penindasan dalam kolonialisasi maupun dominasi. 

Kondisi itulah yang memunculkan ambivalensi ketika subjek terjajah melakukan mimikri terhadap budaya dominan, tanpa meyakini kebenarannya secara mutlak. Pun subjek penjajah juga bersikap ambivalen. Di satu sisi, tidak mau menerima sepenuhnya subjek jajahan yang ter-barat-kan karena ketika perbedaan-perbedaan kultural sudah tidak ada lagi lingkaran kekuasaan yang mereka ciptakan bisa rusak. Di sisi lain, mekanisme kekuasaan diharapkan bisa berjalan lebih mudah karena subjek-subordinat-mimikri berhasil “menerjemahkan” pengetahuan budaya dominan sebagai basis dominasi. Janji-janji filsafat Pencerahan, dengan demikian, “dikorupsi” oleh subjek penjajah melalui kekuasaan kolonial yang tidak pernah memberikan kesamaan bagi subjek terjajah.

Wacana mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi dari subjek pascakolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas kultural yang menyerupai budaya dominan tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126). Lebih lanjut, Bhabha (1994b: 86)  menjabarkan: 

…peniruan/mimikri kolonial merupakan sebuah hasrat bagi Liyan yang tereformasi .… sebagai subjek perbedaan yang hampir sama, tapi tidak sepenuhnya diam. Dalam artian, bahwa wacana mimikri dikonstruksi di seputar ambivalensi; agar bisa efektif, mimikri harus secara ajeg menghasilkan keselipan, kelebihan, dan perbedaannya. Otoritas moda wacana kolonial yang saya sebut mimikri, dengan demikian, dicapai melalui indeterminasi: mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan yang menjadikannya proses pengingkaran. Mimikri, dengan demikian, merupakan tanda artikulasi ganda; sebuah strategi kompleks perbaikan, regulasi, dan disiplin, yang “menyesuaikan” Liyan karena strategi tersebut menampakkan kuasa. Mimikri juga merupakan tanda ketidaksesuaian, di sisi lain, sebuah perbedaan atau perlawanan yang menyatu dengan fungsi strategis dominan dari kuasa kolonial dalam mengintensifkan pengawasan, sehingga menciptakan gangguan imanen, baik bagi pengetahuan yang dinormalkan maupun kuasa disiplin. Pengaruh mimikri terhadap kekuasaan wacana kolonial bersifat dalam dan cukup mengganggu…Dari area antara mimikri dan ejekan, misi perbaikan dan pemberadaban diganggu dengan menggantikan pandangan dari penggandaan kedisiplinan…Apa yang ada sebenarnya adalah proses diskursif di mana kelebihan atau keselipan yang dihasilkan dari ambivalensi (hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya diam) tidak semata-mata ‘memecah’ wacana yang ada, tetapi mentransformasikannya ke dalam ketidakmenentuan yang mengatur subjek kolonial sebagai kehadiran yang ‘parsial’. Yang dimaksud parsial adalah baik yang bersifat ‘tidak lengkap’ dan ‘mendekati’.

Sebagai artikulasi ganda, mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa dominan. Dengan cara tersebut, liyan melakukan perbaikan diri dengan cara belajar dalam institusi pendidikan modern maupun membiasakan diri dengan gaya hidup modern, tetapi mereka tetap bisa menegosiasikan kesadaran akan kedirian kultural yang berbeda. Kondisi itulah yang menjadikan mimikri sebagai ancaman sekaligus ejekan terhadap budaya dan kuasa dominan karena ia hadir dalam visi ganda dan ambivalensi yang mengganggu kebenaran epistemologis kekuasaan berbasis binerisme (Bhabha, 1984: 129-130). 

Keselipan, keberlebihan, dan kegandaan kultural yang masih bisa dikenali dari subjek-mimikri menegaskan ketidakmenentuan dan ketidakutuhan perbedaan kultural yang berlangsung dalam ruang kolonial ataupun dalam ruang pascakolonial. Fungsi pengawasan dan harapan akan mudahnya mekanisme kekuasaan dari produksi subjek-subordinat-mimikri oleh subjek dominan menjadi terganggu dan tersubversi karena terjadi inapropriasi dan pengingkaran dari kebenaran budaya dan kuasa dominan. Dalam kondisi demikian, proyek “nasional” yang mengidealisasi keutuhan pengetahuan modern sebagai basis sistem kekuasaan yang disebarluaskan pihak dominan yang termasuk di dalamnya melalui produk tulisan tidak bisa serta-merta diterima atau berjalan secara natural karena mimikri yang berlangsung dalam “pengulangan” yang penuh keselipan dan kegandaan, bukannya representasi utuh yang mengikuti keinginan pihak dominan; sebuah ancaman (Bhabha, 1984: 128).

Tentu saja, ancaman mimikri bukan berwujud perlawanan fisik yang bisa menghancurkan tatanan politik dominan, misalnya. Ancaman yang dimaksudkan adalah wacana dan praktik yang menggangu tatanan wacana dan pengetahuan dominan seperti modernisme melalui visi ganda mimikri (Bhabha, 1984: 129). Dalam ruang hidup yang dipenuhi perbedaan rasial dan kultural, menjadi penting untuk mendefinisikasn siapa-siapa yang boleh dan tidak boleh dikategorikan ke dalam sekaligus bisa mendukung kekuasaan. Ketika mimikri berlangsung dalam visi ganda-nya, subjek ordinat melakukan apropriasi sekaligus inapropriasi berupa kehadiran parsial yang mengakibatkan ketidakutuhan perbedaan rasial dan kultural sebagaimana diyakini oleh subjek dominan. 

Bagi subjek subordinat, mimikri menjadi ejekan terhadap kesatuan atau keutuhan wacana dan pengetahuan yang selama ini dikonstruksi sebagai rezim kebenaran sebagai basis mekanisme kekuasaan. Artinya, subjek subordinat bisa mengapropriasi model wacana dan kekuasaan dominan dalam tulisan mereka untuk melakukan proyek subjektivitas yang berada dalam kegandaan yang sekaligus mengingkari kebenaran wacana dan kekuasaan tersebut untuk memperluas kedaulatan. Konsep “serupa tapi tak sama” atau “hampir sama tapi tidak sepenuhnya” dalam mimikri inilah yang oleh Bhabha (1984: 130) disebut sebagai metonimi kehadiran, sebuah tujuan strategis yang diproduksi melintasi batasan-batasan kultural dalam wujud semacam kamuflase; sebuah bentuk kemiripan yang membedakan kehadiran menyeluruh dengan memamerkannya sebagian yang benar-benar menjadi ejekan sekaligus ancaman.

Dalam ruang pascakolonial di mana perbedaan kultural ditransformasikan secara ajeg sebagai kebenaran yang harus dipelihara, kelompok subordinat/minoritas tentu harus membuat pilihan-pilihan strategis agar bisa survive di tengah-tengah kelompok dominan yang masih memandang mereka sebagai liyan. Keselipan dan kegandaan kultural yang berlangsung dalam mimikri merupakan strategi yang sangat penting. Dalam sebuah wawancara, Bhabha mengatakan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun