Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

30 Oktober 2021   09:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang hibrid bukan sekedar percampuran antara yang modern dan yang lokal yang bisa menyelesaikan tegangan antara dua budaya, tetapi mengusung kepentingan agensi memformulasi keliatan subjek dalam permainan ambivalen. Dalam wacana hibriditas yang “tidak terpusat”, “terpecah”, dan “bertekstur-terbuka”, berlangsung sebuah mekanisme untuk mengganggu dan meresistensi otoritas kekuasaan yang dijalankan pada seputar pengakuan terhadap perbedaan kultural. 

Apa-apa yang tampak sebagai subjek-yang-dikonstruksi-tradisional ternyata bisa menerapkan sekaligus memainkan modernitas dalam wacana maupun praktik hidup sehari-hari, tanpa kehilangan sepenuhnya ketradisian mereka. Sementara, ketika mereka tampak sudah menjadi manusia-manusia modern, nyatanya, subjek-yang-dikonstruksi-tradisional tidak mau mengambil, mengadaptasi, dan menerapkan sepenuhnya pengetahuan modern yang disebarkan secara massif dalam program-program pembangunan maupun narasi-narasi dalam media populer.

Dengan menggunakan konsep “lokasi budaya” yang di dalamnya berlangsung mimikri-ejekan, hibriditas, dan ambivalensi, Bhabha, pada dasarnya, ingin mendudukkan tempat dan posisi budaya bukan dalam ketunggalan dan keterpusatan subjek. Lokasi sebuah budaya bukanlah sebuah ruang yang sudah mapan, “di sini” atau “di sana” atau “di kita” dan “di mereka”, yang selamanya seperti itu. Lokasi budaya bukan pula berada dalam ruang yang dipenuhi keberagaman kultural yang di dalamnya berlangsung penghormatan terhadap perbedaan sebagaimana diidealisasi oleh para multikulturalis karena persoalan tersebut menyisakan pandangan esensial dan diskriminatoris terhadap liyan serta menegasikan “waktu-historis”. 

Bhabha (2003: 56; 1998: 131-132) berargueman bahwa  pemikiran multikulturalis liberal seperti yang dikemukakan Charles Taylor tentang “penghormatan setara dalam keberagaman kultural” menyisakan permasalahan tersendiri. Liberalisme tidak membedakan waktu kultural, semisal terkait sejarah panjang kolonialisme maupun migrasi. Pada titik yang padanya wacana liberal berusaha menormalisasi perbedaan kultural, untuk mengubah pra-anggapan penghormatan kultural yang setara ke dalam pengakuan terhadap nilai kultural yang setara, wacana tersebut tidak mengakui temporalitas pada garis-batas dari budaya minoritas yang berasal dari ketidaksetaraan posisi dan relasi kuasa. Pembagian kesetaraan secara murni memang disengaja, tetapi hanya sejauh kita memulai dari ruang yang sesuasi secara historis; pengakuan terhadap perbedaan secara murni dirasakan, tapi dalam terma-terma yang tidak merepresentasikan genealogi historis, seringkali yang terkait pascakolonial, yang membentuk budaya parsial dari minoritas. 

Lokasi budaya adalah ruang antara atau ruang ketiga yang dipenuhi perjuangan representasional, diskursif, dan praksis untuk melakukan artikulasi-negosiasi-konstruksi secara ajeg sebagai strategi kedirian agar bisa meng-ada dan menjadi secara liat. Dalam konsepsi demikian, budaya merupakan bentuk, situs, praktik, makna, wacana, dan pengetahuan yang selalu bergerak secara dinamis sekaligus konfliktual, sehingga definisi, deskripsi, dan teoretisasi terhadapnya tidak bisa dikerangkai secara beku dan utuh, tidak bisa pula dimaknai sebagai asimilasi ataupun kolaborasi damai.

Lebih tepatnya, budaya sebagai budaya parsial yang menyerupai “budaya di-antara”, sama-sama tidak jelas antara yang menyerupai dan berbeda dari budaya lain-dominan sebagai akibat dari strategi hibridisasi (Bhabha, 2003: 58). Strategi ini mengganggu ataupun meniadakan kekuatan otoritatif dalam mengkonstruksi secara diskursif pemahaman budaya dalam sebuah masyarakat, khususnya, sekali lagi, yang bersifat biner antara yang dominan dan yang subordinat atau minoritas. 

Ketika sebuah penulisan atau usaha diskursif bertujuan mengobyektifkan atau mewajarkan pengetahuan atau identitas kultural dalam lingkup nasional, strategi atau wacana hibridisasi yang membuka ruang negosiasi memang tidak bisa menghancurkan ketidaksetaraan-kuasa, tetapi ia mengaburkan atau mengalihkan kedalaman dari kekuasaan yang dibenarkan melalui konstruksi identitas antagonis. Agensi hibrid menemukan suaranya dalan dialektika di garis-batas, tanpa mencari supremasi ataupun kedaulatan kultural. Dengan siasat diskursif tersebut, mereka membentuk budaya parsial sebagai titik-pijak untuk mengkonstruksi visi komunitas di tengah-tengah kelompok atau wacana mayoritas; yang sebagian dalam yang keseluruhan. 

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, subjektivitas hibrid bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan modernitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politiko-kultural masyarakat pascakolonial. Mereka bisa menarasikan sebagian budaya tradisional, meskipun harus masuk dan bermain dalam formasi diskursif budaya dominan (Huddart, 2007). 

Hibriditas mempunyai fungsi politiko-kultural sebagai usaha untuk mengkontestasi budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-elemen kultural dari budaya dominan (Barat/modern) dan budaya lokal yang semula saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural (Young, 1995: 23-25). Konsep peniruan, pengejekan, kegandaan, keberantaraan, hibriditas kultural, dan potensi-potensi politisnya banyak mempengaruhi formasi diskursif kajian poskolonial (Bhabha, 1995; Loomba, 2000; López, 2001; Gandhi, 1998; Young, 2003; Huggan, 2008: 6; Ahluwalia, 2002: 196-197; Krishna, 2009). 

Menengok Kontekstualisasi Pemikiran Bhabha

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Bhabha mengkonseptualisasikan budaya dalam dalam perlintasan? Sebagaimana saya singgung pada awal pembahasan, ia membangun teorinya dengan kesadaran historis kolonial dan pascakolonial. Khususnya dalam ruang geokultural transnasional di mana kelompok diaspora berada di tengah-tengah kemapanan budaya nasional sebuah negara maju, Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, menegaskan subjektivitas kultural yang bersifat biner, berarti membenarkan cara pandang metropolitan terhadap ke-liyan-an oriental yang menjadi pembenaran bagi kolonialisme. Meniru sebagian budaya induk yang sudah mapan menjadikan mereka survive dalam ranah publik, meskipun hal itu tidak menghilangkan sepenuhnya prasangka terhadap keminoritasan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun