Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

30 Oktober 2021   09:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Poin saya, terkait jenis partikular subjek yang dikonstruksi pada titik keselipan, merupakan bagian dari poin yang lebih luas tentang konstruksi kekuasaan. Dalam situasi di mana perbedaan kultural—ras, seksualitas, lokasi kelas, kekhususan generasional atau geopolitik—merupakan penopang utama dari aturan atau strategis politik partikular, bahkan sang penindas dibentuk melalui keselipan. Keselipan tersebut tidak berlangsung dalam poin yang sama antara pihak penjajah dan terjajah, ia tidak membawa ukuran politik yang sama atau membentuk efek yang sama, tetapi kedua pihak berada dalam proses tersebut. Sebenarnya, proses tersebut memungkinkan kaum subaltern atau pihak terjajah membuat strategi untuk berusaha men-disartikulasikan suara kekuasaan pada titik keselipan…Bagi saya, kegandaan lebih merupakan ide untuk survive dalam makna yang kuat—bersepakat dengan atau hidup dengan dan melalui kontradiksi-kontradiksi untuk kemudian menggunakan proses tersebut sebagai agensi sosial.”(Mithcell, 1995).

Mempertahankan kemurnian “budaya ibu” mereka dalam lanskap yang penuh perbedaan tentu akan menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi kelompok minoritas. Sebaliknya, meninggalkannya secara mutlak juga akan memunculkan kengerian akan hilangnya memori dan rasa memiliki terhadap budaya. Keberlangsungan mimikri dalam wujud visi ganda ataupun metonimi kehadiran-nya merupakan strategi kultural yang menghasilkan keliatan bagi subjek subordinat dengan cara membangun agensi sosial yang akan memperkuat subjektivitas mereka di tengah-tengah kontrakdiksi dan antagonisme yang terus berlanjut. 

Artinya, bisa jadi mereka akan meninggalkan atau kehilangan sebagian budaya lokal karena proses apropriasi terhadap budaya dominan agar bisa diterima dalam ruang geopolitik negara induk atau nasional. Namun, kelompok subordinat juga tidak mengikuti atau mengakui kebenaran budaya dominan secara menyeluruh karena masih meyakini dan mempertahankan sebagian budaya lokal.

b. Hibriditas: Ketika Subjek Bermain di Ruang Antara

Wacana mimikri yang dikonstruksi dalam karya representasional yang mengganggu konstruksi keutuhan pengetahuan berbasis oposisi biner bisa menyebabkan “ketidakadaan” atau “ketidakhadiran” budaya otentik. Bhabha menyebut produk budaya yang demikian sebagai “hibriditas”. Apa yang harus dipahami adalah bahwa hibriditas bukan sekedar tentang percampuran antarbudaya seperti dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, dalam konsep hibriditas terdapat persoalan politiko-kultural yang mendasari kelahirannya.

Hibriditas merupakan tanda produktifitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan; ia adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas ‘murni’ dan orisinil dari kekuasaan). Hibriditas merupakan penilaian-ulang dari asumsi identitas terjajah melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris. Ia memamerkan deformasi dan penggantian penting dari semua situs diskriminasi dan dominasi. Ia mengganggu kebutuhan mimetik atau narsistik dari kekuasaan kolonial tetapi mengimplikasikan-kembali identifikasinya dalam strategi subversi yang merubah pandangan dari yang terdiskriminasi kembali kepada mata kuasa. Karena hibrid-terjajah merupakan artikulasi dari ruang ambivalen di mana ritus kekuasaan dijalankan pada situs hasrat, menjadikan objeknya terdisiplinkan sekaligus melipat-gandakan diri…tranparansi negatif. (Bhabha, 1994b: 112).

Sebagai produk dari mimikri yang menekankan artikulasi ganda, sehingga pandangan, perilaku, maupun wacana dalam kerangka hibriditas diarahkan untuk memaknai-ulang klaim kebenaran epistemologis perbedaan sebagai basis dominasi. Dengan mengkonstruksi subjek hibrid, pihak terjajah berada dalam lokasi yang memudahkan tuan penjajah melakukan pengawasan terhadap mereka karena tampak mengikuti aturan maupun wacana dominan, tetapi tetap berada dalam posisi yang tidak setara. Namun, ketransparansian hibriditas merupakan bentuk pengingkaran, transparansi negatif,terhadap kekuasaan berbasis diskriminasi karena meskipun terdisiplinkan subjek hibrid terus melipat-gandakan kedirian dan budaya mereka dan mengingkari kebenaran diskriminasi kultural sehingga kekuasaan dimunculkan dan dimaknai secara berbeda, dalam artian tidak sepenuhnya tunduk.

Dalam wacana hibriditas, negosiasi sebagian budaya lokal tetap berlangsung yang darinya kekuatan resisten dalam permainan ambivalensi dan tipu daya pengakuan tetap hadir; meniru sekaligus mengejek, tidak sepenuhnya ditundukkan dalam diskriminasi kultural. Aspek-aspek kultural dominan yang diapropriasi bukan lagi sebagai “simbol” dari kekuasaan, tetapi sebagai “tanda” yang bisa memunculkan makna dan wacana baru yang selip yang menghancurkan fondasi perbedaan kultural secara esensial.

Hibriditas adalah nama bagi pengalihan nilai dari simbol menjadi tanda yang menyebabkan wacana dominan selip….Hibriditas merepresentasikan pembalikan ambivalen dari subjek yang terdiskriminasikan menjadi objek yang menakutkan dan diluarperkiraan bagi klasifikasi paranoid, sebuah permasalahan yang cukup mengganggu citra dan kehadiran kekuasaan….Hibriditas….bukanlah terma ketiga yang yang menyelesaikan tegangan antara dua budaya….dalam permainan dialektis “pengakuan”. Pengalihan dari simbol kepada tanda menciptakan krisis bagi beragam konsep kekuasaan berbasis sistem pengakuan: spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri menangkap bayangan dirinya; ia selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang hibrid. Metafor-metafor itu sangat tepat, karena mereka menyiratkan bahwa hibriditas kolonial bukanlah sebuah masalah genealogi atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian bisa diselesaikan sebagai isu relativisme kultural. Hibriditas merupakan representasi dan individuasi kolonial problematis yang membalik efek pengingkaran penjajah, sehingga pengetahuan-pengetahuan lain “yang ditolak” masuk ke dalam wacana dominan dan mengasingkan basis kekuasaannya, hukum-hukum pengakuannya. (Bhabha, 1994b: 113-114)

Ketika kelompok subordinat ‘menginvestasi’ budaya dominan dengan makna-makna baru, pilihan untuk tetap menjalankan sebagian budaya lokal merupakan strategi kultural yang bisa membalik atau mengingkari (meng-inapropriasi) makna yang dikehendaki kelompok dominan. Sebagai pengetahuan yang ditolak dalam nalar kekuasaan, budaya lokal masuk ke dalam pengetahuan dominan seperti budaya modern sehingga memunculkan krisis epistemologis bagi kekuasaan yang dijalankan dengan hukum-hukum pengakuan terhadap perbedaan. 

Dalam penulisan sastra pascakolonial berbahasa Inggris, misalnya, para penulis memosisikan bahasa ini bukan lagi sebagai simbol dari kekuasaan subjek metropolitan Inggris atau Amerika Serikat, tetapi sekedar sebagai tanda di mana mereka bisa secara bebas menegosiasikan lokalitas sembari mengartikulasikan modernitas tetapi tidak sepenuhnya. Selain itu, para kreator pascakolonial bisa juga menggunakan kemampuan hibrid mereka untuk meniru dan mengadopsi model atau struktur karya yang berkembang di  metropole, tetapi kontennya diwarnai oleh karakteristik dan permasalahan lokal, estetika poskolonial (Aschroft, 2013) atau transformasi poskolonial (Asccroft, 2001a, 2001b).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun