"Eman sekali, Bu. Timur anak yang pandai. Tapi keterlibatan Bapaknya dalam PKI bisa menghambat cita-citanya untuk sekolah," ucap kepala sekolah membuka percakapan.
"Tapi, anak saya kan berhak sekolah juga, Pak? Saya juga tidak pernah melawan negara. Saya selalu tepat membayar pajak," desak Karti.
"Iya, saya ngerti, Bu. Tapi, aturan pusat memang sangat ketat untuk urusan ini." Kepala sekolah itu menutup berkas-berkas Timur.
"Tolonglah, Pak. Apa tidak ada jalan lain? Kami ini hanya rakyat kecil."
Kepala sekolah itu diam, menatap Timur yang hanya menundukkan kepala. Ingin sekali dia menerimanya masuk di SMA yang ia pimpin. Tapi, bagaimana dengan atasan-atasannya? Pasti ia akan dimarahi. Atau, bisa-bisa diturunkan dari jabatannya. Dalam kebingungan, pesan almarhum Bapaknya kembali terngiang, "Bantulah setiap anak yang ingin sekolah, karena itu akan menjadi sodaqoh pengetahuan yang pahalanya tidak akan habis kelak di akhirat."
"Bu, saya ada usul, mungkin Ibu bisa menyetujuinya."
"Apa itu, Pak?"
"Bagaimana kalau Timur saya jadikan anak angkat. Kalau tahu anak angkat saya, dewan guru tidak akan ada yang protes. Ya, itung-itung menemani saya dan istri di rumah, karena anak-anak saya sudah kuliah di Surabaya dan Jakarta."
Karti dan Timur saling berpandangan. Timur tersenyum dan mengangguk mendengar tawaran itu.
"Baiklah, Pak, kami menyetujui tawaran itu. Saya dan Timur benar-benar menghaturkan terima kasih. Meskipun, saya sebenarnya agak berat berpisah dengannya. Tapi, demi sekolahnya, biarlah, ndak apa-apa."
"Dua hari lagi saya tunggu Timur di rumah. Biar sekalian saya urus surat-surat anak angkatnya. Nanti kalau sudah sekolah, Timur biar pulang dua minggu atau satu bulan sekali."