Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(M)batin dalam Senyap

29 Februari 2020   14:56 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas Isya', bulan Desember 1967, istri Kardi, Karti, mendongengi ketiga anaknya di kamar. Kebiasaan ini biasanya dilakukannya bergantian dengan Kardi, karena anak-anaknya memang paling suka didongengi. Lampu ublik menerangi kamar, meski remang-remang. Sebelum mendongeng, Karti mengajak ketiga anaknya mendoakan agar Bapaknya mendapat surga Gusti Allah.

"Dahulu kala di sebuah hutan di sebelah Selatan, jauh dari dusun kita, tinggallah seorang perempuan bersama anaknya, Gadjah, ditemani dua sepasang istri pembantunya dan seekor kucing kesayangannya. Perempuan itu adalah Andongsari, istri selir seorang pembesar di Majapahit. Mereka menjalani hari-hari dengan penuh keprihatinan. Mereka makan buah-buahan dan, terkadang, daging kijang kalau Tunggul, pembantu lelakinya, berhasil dalam berburu. Mereka tidak pernah mengeluh. Mereka selalu berdoa agar Sang Gusti selalu melindungi dari bahaya. Pada suatu hari, ketika Andongsari dan pembantu perempuannya yang bernama Asih mandi dan mencuci baju di telaga, mereka tidak tahu kalau seekor macan mengintip dari balik semak. Waktu itu Tunggul sedang berburu. Pelan-pelan macan itu mendekati Gadjah yang ada di gubuk. Ketika hendak menerkam Gadjah, si kucing datang mencakarnya. Mereka berkelahi. Andongsari dan Asih memanggil-manggil Tunggul. Mereka ketakutan. Akhirnya, setelah lama berkelahi, macan dan kucing sama-sama mati. Gadjah selamat. Andongsari menangis memeluk anaknya. Sementara, Asih memeluk kucing yang berlumuran darah. Ketika Tunggul datang, segera ia menguburkan kucing dan macan itu. Oleh Andongsari daerah itu diberi nama Cancing, macan berkelahi dengan kucing, sama-sama mati."

"Lalu, gimana nasib mereka selanjutnya, Mbok? Gimana nasib Mada?" tanya anak pertama yang sudah mulai mengantuk. Kedua adiknya sudah memejamkan mata.

"Mereka tetap saja menjalani hari-hari seperti biasanya. Tapi, semakin banyak warga yang datang ke tempat itu. Rata-rata mereka adalah kesatria dan empu yang melarikan diri. Orang-orang itu mengangkat Andongsari sebagai kepala padukuhan Cancing. Sementara, Mada belajar ilmu kanuragan dan perang dari para kesatria. Dari para empu dia belajar ilmu tentang kerajaan. Kelak setelah menginjak usia muda, dia diminta Andongsari menuju kotaraja Majapahit. Akhirnya, pada masa Raja Hayam Wuruk dia diangkat sebagai Mahapatih yang bisa memperluas wilayah kerajaan. Ketika di sekitar Cancing muncul padukuhan-padukuhan baru, semakin banyak warga yang bermukim."

"Mbok, kita ini kayak Andongsari dan Gadjah Mada, ya, ditinggal Bapak," ucap anak itu sambil memejamkan mata.

Karti meneteskan airmata mendengar ucapan anaknya itu. Dia tidak tahu bagaimana menterjemahkan perasaannya kini. Lama dia pandangi ketiga anaknya yang masih kecil. Bagaimana nasib mereka kelak, dia belum tahu. Yang pasti beberapa petak sawah peninggalan Kardi masih utuh. Setiap hari dia ke sawah bersama Bapak dan Simbok-nya yang sudah mulai rentah. Dia meyakinkan batinnya bahwa dengan sawah itulah ia akan bisa membesarkan anak-anaknya seperti Andongsari membesarkan Mada.

Kesunyian batin memang sangat menyiksa. Karti selalu ingat bagaimana ia dan suaminya selalu menembangkan tembang-tembang kehidupan setiap tengah malam. Saran tetangga kanan-kirinya agar ia mau menikah lagi muncul kembali, merambat dan meresap dalam dinding kamar yang terbuat dari kayu jati.

"Yuk, Sampean ini kan masih umur 40 lebih sedikit, masih pantas untuk bersuami lagi. Apa ndak cari suami lagi?" tanya Yuk Jum, tetangganya, sambil menumbuk buliran padi di lesung di belakang rumahnya pada sebuah sore.

"Oalah, Yuk, aku malas mikir itu. Lagipula aku sepertinya sudah tidak bisa menerima kehadiran lelaki lain dalam hidupku," jawab Karti sambil menyingkirkan kerikil yang ada di beras. Anak keduanya, Narni, menghampirinya, meminta uang jajan. Karti hanya memberinya lima rupiah, karena ia memang harus berhemat untuk masa depan ketiga anaknya.

"Lha, coba itu, kalau Sampean punya suami lagi, kan bisa ngasih uang jajan lebih banyak. Terus nanti kalau mereka sudah waktunya sekolah, kan Sampean tidak bingung-bingung lagi mikir biayanya." Yuk Jum mengeluarkan bulir-bulir beras dari lesung.

"Iya, Yuk, aku ngerti. Tapi, aku masih bisa nggarap sawah untuk menyiapkan sekolah anak-anakku kelak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun