Mohon tunggu...
Virly Kinasih
Virly Kinasih Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lead Me to Neverland

6 Juli 2017   12:47 Diperbarui: 6 Juli 2017   13:02 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB 1

"Flying with You"

["...Easy for a good girl to go bad

And once we gone

Best believe we've gone forever

Don't be the reason

You better learn how to treat us right

'Cause once a good girl goes bad

We die forever..."

--Good Girl Gone Bad by Rihanna]

Langit malam terlihat gelap dan kelam, tetapi entah kenapa suara degupan jantungku berirama lembut, seakan-akan di saat waktu inilah tempat yang aman untukku bersembunyi. Sembunyi dari terik matahari yang begitu menyilaukan kehidupanku, hingga terasa sakit menusuk jantung dan tak sanggup untuk berdiri menghadapi ujian hidup.

Malam ini bukan cahaya bintang dan bulan yang menghiasi, dan bukan pula suara dentuman lagu-lagu hardcore yang biasa kudengar setiap ingin mengeluarkan segala amarahku pada dunia. Melainkan cahaya dari sorotan lampu-lampu yang berkelap-kelip dengan sekumpulan asap rokok yang terlihat menutupi cahaya gemerlap di seluruh ruangan, membuat kedua mata semakin terasa perih, dan juga suara dentuman musik elektronik yang menggema, seakan-akan ingin memecahkan gendang telinga.

 "PETER PAY!" Teriakku, lebih tepatnya memaksa suaraku yang sedikit parau untuk berteriak karena pengaruh minuman beralkohol, pada seorang Disc Jockey yang sedang asyik mengutak-atik mainannya di hadapan para pengunjung yang terlihat sexy dengan meliuk-liukkan badan mengikuti irama. Entah suaraku ini terdengar atau tidak, aku tidak perduli.

Aku tidak bisa menari meliukkan badan seperti mereka, sehingga aku meloncat-loncat bebas saja dengan kepalan tangan meninju-ninju ke atas seperti berada di tengah keramaian konser musik band hardcore, walaupun dengan memakai sepatu high-heels setinggi 10cm. Dan aku tidak perduli dengan orang-orang di sekitarku yang melihat keanehanku ini.

Aku hanya ingin merasakan kebebasan, dan terbang melayang.

Tiba-tiba aku merasakan ada sentuhan tangan menggenggam tanganku erat, menarik tubuhku menjauh dari keramaian, menuntunku melangkah melewati tangga-tangga, menuju lantai teratas.

"Halo Peter Pay!" Sambutku dengan tertawa girang, seperti itulah aku memanggilnya.

"Seharusnya, seorang gadis baik-baik seperti Wendy nggak akan pernah ke tempat seperti ini." Omelnya di depan wajahku.

"Ini tempat Peter Pay, berarti ini adalah Neverland." Kataku menganalisa sendiri dengan pikiran yang sudah hampir hilang kesadarannya. Dia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lu gila!" Sepertinya dia tampak frustasi dengan tingkah lakuku dan juga khayalanku yang terobsesi dengan cerita dongeng Peter Pan di negeri Neverlandnya.

Dia duduk di kursi panjang menghadap keindahan pemandangan malam, dan mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Aku pun meminta sebatang rokoknya, walaupun dia melarang, aku berhasil merebut paksa dari genggamannya. Lalu ku ikuti iramanya, hisap dan hembuskan ke udara dingin malam.

"Yang namanya bebas, bukan berarti harus seperti ini kan."

"Bodo amat!!" Balasku. Tidak perduli dengan orang-orang berkata apa tentang diriku. Yang kurasakan saat ini hanyalah ingin melepaskan kemarahanku, dan mungkin dengan cara berontak seperti inilah hatiku bisa tenang.

"Terserah!!!" Katanya, dengan nafasnya yang menghembuskan asap rokok di depan wajahku, membuatku terbatuk-batuk menghirupnya.

"Gue kira lu udah tobat."

Seketika aku baru sadar, memang sudah lama aku tidak datang ke sini, kira-kira tujuh bulan lamanya. Seakan-akan rasa terobsesiku pada Neverland sudah hilang, atau mungkin aku merasa sudah menemukan negeri Neverland-ku dengan orang lain, bukan Peter Pan, seseorang yang baru saja kukenal.

Dan kenapa setelah tujuh bulan ini semua sandiwara kisah cinta yang kujalani dengannya baru terungkap sekarang.

"Dongeng itu emang cuma cerita bohong belaka, tapi ternyata kehidupan nyata lebih kejam membohongi daripada dongeng." Jawabku, sambil menikmati sebatang rokok yang tidak henti-hentinya ku hisap dan hembuskan.

Begitu bodohnya yang kurasa di dalam pikiranku, seperti anak kecil yang terlalu bodoh untuk memahami arti ucapan baik orang tuanya, ucapan-ucapan kebohongan yang terlontar dari mulut manis mereka untuk melarang anaknya melakukan apapun yang mereka tidak suka.

"Maksudnya?" Pay memandangku tajam, kebingungan dengan mulutku yang berbicara lantang tanpa menyerapnya terlebih dahulu agar mudah dipahami.

"Cinta itu cuma sebuah dongeng."

Dan, kudengar suara tawa meledak dari bibirnya. Sepertinya dia sangat puas melihatku seperti ini.

"Baru sadar sekarang, Neng?" Ejeknya puas, masih dengan tawanya. Kubiarkan saja dia tertawa puas seperti itu, hingga akhirnya dia tersedak dan meminum sebotol bir yang sedari tadi hanya duduk terdiam di sampingnya.

Dan tentu saja, aku merebut minuman itu dan meminumnya dengan ganas.

"Udah, jangan banyak-banyak!" larangnya, dan merebut kembali minuman itu, menaruh di sampingnya.

Kembali kunikmati rokokku, memandangi asap-asap yang mengepul di hadapanku dan menghilang tertiup angin malam.

Harusnya malam ini aku merayakan kelulusanku yang baru saja menyelesaikan sidang skripsi di hadapan dua orang penguji, walaupun berakhir dengan hasil yang tidak memuaskan, hanya sekedar cukup, yang terpenting akhirnya aku bisa merasa bebas dari rutinitas kuliah yang sangat membosankan bagiku. Tetapi, tiada kusangka, aku merayakan untuk kehancuran hatiku yang pecah berkeping-keping.

"Aku tidak ingin mengharapkan apa-apa tentang hubungan kita, kita jalani saja, karena Tuhan yang menentukan jodoh kita." Katanya, di malam tahun baru, ketika aku memintanya untuk membuat harapan tentang cinta kita. Harusnya aku mengerti ucapannya, dan karena kebodohanku aku baru mengertinya sekarang.

Pay berdiri, memutar lagu dari iPhone-nya.

["I know that we are upside down

So hold your tongue and hear me out

I know that we were made to break so what? I don't mind..."

--Stay the Night by Zedd feat. Hayley Williams]

"Apa?" Tanyaku ketika melihat dia mengulurkan tangannya di hadapanku.

"Will you dance with me?" ucapannya begitu lembut, tidak seperti biasanya, membuatku terkejut. Ataukah memang karena kesadarannya sudah melayang.

Kutolak ajakan itu dengan menampar tangannya.

"Oh, C'mon! Let's we have fun tonight." Katanya memaksa, seperti anak kecil yang sedang memaksa temannya untuk bermain bersamanya, tentu saja inilah seorang Peter Pay yang aku kenal.

Walaupun sudah kutolak berulang kali, tetap saja dia memaksa dengan menarik tanganku hingga berdiri dekat di hadapannya.

"Lu kan tahu, cara dansa gue gimana." Kataku, memasang wajah cemberut. Dia pun tertawa, memahaminya.

"Let me teach you." Dan lagi-lagi dia mengeluarkan suara lembutnya yang entah darimana dia dapatkan, sedikit membuat hatiku bergejolak.

Dia menuntun tubuh kecilku mengikuti irama gerakannya, dengan perlahan-lahan dan penuh kesabaran. Tetapi yang kurasakan tubuhku terasa kaku.

"Bebasin diri lu!" Suruhnya. "Buang semua beban yang ada di pundak lu!"

Kutatap wajahnya, tampak kedua matanya memandang lembut wajahku dan garis senyum bibirnya yang membuatnya terlihat seperti seorang pangeran, yang sedang mengajarkan seorang putri malu bagaimana cara berdansa yang benar.

Kucoba lepaskan semua rasa sakit hatiku, dan buang jauh-jauh amarah yang terpendam. Kini tubuhku terasa sedikit ringan, seperti melayang, di bawah hiasan langit malam yang begitu indah.

"Mulai sekarang harus berdansa seperti ini, karena ini bukan konser band rock." Bisiknya.

Aku ingat, ketika pertama kali aku bertemu dan mengenal Pay. Saat itu aku baru pertama kali datang ke club ini, yang pertama kalinya aku mencoba untuk lepas dan terbang mencari Neverland. Pay menghampiriku di saat orang-orang di sekitar tidak memperdulikan keanehanku berada di sini, dengan lantangnya dia berkata, "Lu salah tempat, di sini bukan konser band rock!".

Aku pun tertawa, menertawakan diriku yang sungguh memalukan.

["...Are you gonna stay the night

Doesn't mean we're bound for life

So oh oh oh, are you gonna stay the night.]

Hey, Peter Pay, kau membuatku melayang, terbang bersama ke Neverland.

[Lanjut ke Bab berikutnya. Jangan lupa tulis komentarnya ya! Terimakasih ^^]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun