"PETER PAY!" Teriakku, lebih tepatnya memaksa suaraku yang sedikit parau untuk berteriak karena pengaruh minuman beralkohol, pada seorang Disc Jockey yang sedang asyik mengutak-atik mainannya di hadapan para pengunjung yang terlihat sexy dengan meliuk-liukkan badan mengikuti irama. Entah suaraku ini terdengar atau tidak, aku tidak perduli.
Aku tidak bisa menari meliukkan badan seperti mereka, sehingga aku meloncat-loncat bebas saja dengan kepalan tangan meninju-ninju ke atas seperti berada di tengah keramaian konser musik band hardcore, walaupun dengan memakai sepatu high-heels setinggi 10cm. Dan aku tidak perduli dengan orang-orang di sekitarku yang melihat keanehanku ini.
Aku hanya ingin merasakan kebebasan, dan terbang melayang.
Tiba-tiba aku merasakan ada sentuhan tangan menggenggam tanganku erat, menarik tubuhku menjauh dari keramaian, menuntunku melangkah melewati tangga-tangga, menuju lantai teratas.
"Halo Peter Pay!" Sambutku dengan tertawa girang, seperti itulah aku memanggilnya.
"Seharusnya, seorang gadis baik-baik seperti Wendy nggak akan pernah ke tempat seperti ini." Omelnya di depan wajahku.
"Ini tempat Peter Pay, berarti ini adalah Neverland." Kataku menganalisa sendiri dengan pikiran yang sudah hampir hilang kesadarannya. Dia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lu gila!" Sepertinya dia tampak frustasi dengan tingkah lakuku dan juga khayalanku yang terobsesi dengan cerita dongeng Peter Pan di negeri Neverlandnya.
Dia duduk di kursi panjang menghadap keindahan pemandangan malam, dan mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Aku pun meminta sebatang rokoknya, walaupun dia melarang, aku berhasil merebut paksa dari genggamannya. Lalu ku ikuti iramanya, hisap dan hembuskan ke udara dingin malam.
"Yang namanya bebas, bukan berarti harus seperti ini kan."
"Bodo amat!!" Balasku. Tidak perduli dengan orang-orang berkata apa tentang diriku. Yang kurasakan saat ini hanyalah ingin melepaskan kemarahanku, dan mungkin dengan cara berontak seperti inilah hatiku bisa tenang.