"Emangnya mau kemana?" ungkapnya.
Saya pun bingung harus menjawab apa. Dengan gagap saya menjawab, "Ke alun-alun Pamulang, pernah?".
Langsung saya kesana, dengan malu-malu. Berbicara banyak hal tentang perkuliahan, organisasi, dan kehidupan saya sebagai anak pertama.
Esok harinya, saya mengajak ia untuk lari sore. Disinilah kita tidak berhenti untuk ngobrol semaunya. Topik apa pun, kita bicarakan. Secara spesifik saya juga membicarakan, tentang pandangannya dengan "cowok yang masih merintis karir".
Malamnya, kita lanjut. Saya ajak ke warkop. Tak terduga, ia mau tanpa bertanya-tanya. Ia sambil membaca buku, saya pun memandangnya dengan diam-diam.
Tak lama, saya memberanikan diri untuk menawarkan sebuah ide. "Apakah kamu mau dengan pria yang masih berproses alias pengangguran ini? Kalau tidak mau, tidak apa, saya tidak memaksa," ungkap saya kepadanya.
Ia terdiam sejenak, lalu memberikan jawaban "boleh".
Kemudian kita jalankan hari-hari selama 2 bulan, yang terasa seperti sudah 2 tahun. Gaya berpacaran kita santai, saling terbuka, apa adanya, dan mengalir. Sehingga tidak membosankan.
Setelah kenangan yang telah kita lalui, saya diputuskan dengan alasan; mood dia tidak dapat terkontrol, dan menyusahkan saya terus. Membingungkan. Kalau sebelumnya, saya dengan Raz ditinggalkan dengan alasan; saya terlalu baik. Kalau Hani; Aku takut merepotkan dan menyusahkanmu atas mood ku yang tidak jelas dan tak bisa ku kontrol.
***
End