Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Persahabatan: Mentari di Malam Hari [Bagian 2 Selesai]

11 Desember 2023   14:14 Diperbarui: 11 Desember 2023   14:23 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia bicara pada Ibnu, namun pandangannya selalu menuju ke arah Melati yang kini tampak menahan senyum dan menutupi kedua pipi lembutnya yang perlahan memerah.

Surya telah bulat memutuskan untuk tidak akan melunak lagi kepada Purnama.“Dia telah berani merendahkan harga diriku dan aku wajib membalas tantangannya itu!” teriak Surya di dalam hatinya. Walaupun Ibnu sudah ada di Sanggar, ia akan tetap pulang. Perkataan temannya masih menggema di kedua gendang telinganya ‘Bila kita terus mengalah kapan menangnya?!’

Saat ingin melanjutkan perjalanan menuju rumah Surya melihat seorang perempuan sedang berdiri di sebuah halte bus. Ditemani beberapa orang di sana, ada yang duduk, ada juga yang berdiri. Dia adalah Melati, teman Surya di kampus yang sangat cantik dan jelita, seseorang yang sedang disukai Surya. Karena alasan itulah ia lalu menghentikan skuter bututnya itu lalu menghampiri Melati.

“Aku habis dari toko buku, sekarang sedang menunggu metromini, Surya,” jawab Melati ramah ketika ditanya Surya. 'Seorang perempuan cantik menunggu tumpangan umun di malam hari seperti ini? Tidak bisa dibiarkan,' pikir Surya.

“Ramainya malam di Jakarta kadang lebih berbahaya, dibanding dengan sepinya Jakarta di siang hari....” Surya memulai jurus jitunya “...Ayo, lebih baik aku antar pulang.” Surya menawarkan diri untuk mengantar Melati pulang.

Setelah mendengar tawaran dari Surya dan mendengar bahwa metromini terakhir sudah lewatnmaka dengan sangat hati-hati dan sopan Melati lalu menerima tawaran itu. Dengan sekuat tenaga skuter antik berwarna merah marun itu meraung sejadi-jadinya, mengantar terbang sepasang manusia muda menembus kegelapan ibu kota Jakarta.

Dalam perjalanan pulang keduanya merasa sama-sama dihinggapi dewi keberuntungan. Melati merasa beruntung karena bisa cepat pulang dan Surya jelas merasa beruntung karena dapat kesempatan mengantar pulang pujaan hatinya. Walau demikian, tampaknya Melati lebih jeli karena berhasil melihat keberuntungan lain yang ada pada diri Surya.

“Terimakasih Surya, aku jadi bisa cepat pulang. Aku khawatir meninggalkan Ayah sendirian di rumah.” Melati berhenti sejenak lalu melanjutkan kata-katanya.

“Kamu beruntung Surya, kamu selalu bahagia. Hidupmu sempurna, keluargamu sempurna. Kamu selalu dikelilingi orang-orang baik. Aku jadi sedikit iri padamu, hehehe,” ungkap Melati sambil sedikit bercanda.

Suasana seketika hening, Suara Melati tiba-tiba berubah, terdengar sedikit sedih dan parau. Surya terkejut, bukan karena suasana hati mereka yang tiba-tiba berubah, tapi karena Melati tiba-tiba saja merangkulnya, kuat dari belakang. Menempelkan wajahnya yang mulai sembab itu ke punggung Surya.

“Oh...Maafkan aku.” Melati lalu melonggarkan pelukannya dan berusaha menguasai dirinya kembali. Terasa sentuhan pipi yang kenyal dan lembut itu menyentuh punggung Surya yang hanya dihalangi kemeja tipis. Sayang peristiwa itu berlangsung cepat dan akal sehat Surya segera mengambil alih.

“Ehm... Maaf, kalau aku boleh tahu sebenarnya ada apa Melati?” Tanya Surya sambil membenarkan posisi kemudinya.

"Ehm, tidak apa-apa."

"Ayolah," desak Surya.

“Ehm kedua orang tuaku," kata Melati berhenti sejenak. Surya sedikit kaget. Ia lalu mulai memelankan laju skuternya agar suara Melati tidak luput dari tangkapan telinganya.

"Mereka pisah dua bulan yang lalu. Ibu pergi. Keluargaku jadi kacau,” Melati menghirup napas dalam-dalam dan bersiap mengeluarkan kata-kata lanjutan.

“Ibu, Ibu pergi entah ke mana. Sedang ayah sangat terpukul hingga akhirnya jatuh sakit. Dan kau tahu Surya? Sebulan yang lalu tiba-tiba ia terkena stroke, setengah badannya membatu. Selama dua bulan itu rumah bagaikan tempat mengumbar segala kebencian. Kakakku menjadi sering marah. Semuanya bagai telah meninggalkanku seorang diri, Ibu, Ayah, Kakak.”

Melati mulai menceritakan kondisi keluarganya yang sedang menghadapi masalah. Ia mulai terbawa emosi, namun tak lama ia pun dapat mengontrol emosinya kembali.

“Tapi aku masih beruntung mempunyai kakak seperti dia. Kakak sebenarnya baik, walau sedikit keras, dan dia adalah kakak yang punya rasa tanggung jawab," lanjut Melati. Surya masih terus fokus pada apa yang Melati ceritakan.

"Setelah Ayah jatuh sakit yang menjadi tulang punggung keluarga adalah kakak. Aku yakin kakak telah mengorbankan banyak hal dalam hidupnya, kuliahnya, hobinya, hubungan dengan teman-temannya, mungkin... Ah, semuanya gara-gara dia, Ibu telah mengkhianati kami semua!”

Surya dengan saksama mendengarkan cerita dari pujaan hatinya itu. Semua kata-kata penuh amarah dan benci itu, entah kenapa, terasa lembut mengalun merdu di kedua gendang telinga Surya.

“Oh iya kakak juga pernah cerita tentangmu Surya. Katanya ia sangat beruntung mempunyai teman sepertimu. Kakak merasa punya saudara laki-laki. Ia juga pernah bilang iri kepadamu. Kamu itu sepeti rivalnya, teman sparing kakak dalam berkarya.” Surya sangat terkejut mendengar kata-kata itu.

'Benarkah itu? Apakah Melati sedang bercanda?' kata Surya dalam hati. 'Tapi Melati bukan tipe orang yang suka memainkan perasaan, dia hanya polos, dan mungkin itu semua benar adanya,' ucap Surya masih di dalam hati.

Sementara itu, untuk mewadahi semua keterangan yang baru saja didapatnya dari Melati, Surya hanya mengakatan sepenggal kalimat: “Oh ya? Syukurlah.”

Surya merasa senang bisa mengantar Melati pulang. Ia pun sudah tidak mempedulikan tujuan awalnya tadi: pergi membatalkan pertemuan dan pulang. Padahal Melati sendiri sebenarnya tinggal di sanggar seni. Satu tempat yang sedang berusaha ia hindari.

Tidak lama kemudian, Surya dan Melati akhirnya sampai di sanggar seni. Di sana Ibnu sedang menunggu di teras rumah, bersama beberapa orang yang dari dandanannya tampaknya adalah seniman. Mereka sedang melihat-lihat lukisan yang menempel di tembok teras.

Sanggar seni ini memang merangkap dua fungsi yang berbeda, pertama sebagai tempat berkumpul orang-orang penggiat seni dan yang kedua sebagai tempat bernaung sebuah keluarga kecil, keluarga Melati. Melihat Surya dan Melati yang turun dari skuter merah marun butut itu Ibnu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya.

“Jadi ini alasannya, aku menunggumu sampai dua jam lebih.” Ucap Ibnu sambil memicingkan kedua matanya ke arah Surya.

“Maafkan aku, tadi motorku sempat mogok,” kata Surya sambil terkekeh membalas ucapan Ibnu. Ia bicara pada Ibnu, namun pandangannya selalu menuju ke arah Melati yang kini tampak menahan senyum dan menutupi kedua pipi lembutnya yang perlahan memerah.

Setelah bicara sebentar dengan Ibnu, diketahui bahwa ternyata Purnama belum juga datang. Surya dan Ibnu lalu menyempatkan diri untuk menengok keadaan si empunya rumah. Seorang seniman yang kini tergeletak di ranjangnya, tak berdaya.

Melihat Melati mulai membereskan pakaian yang menempel pada tubuh ayahnya itu, Surya dan Ibnu lalu pamit dan meminta izin menunggu Purnama di teras rumah.

Sampai larut malam Purnama belum juga datang. Satu persatu, orang-orang yang sedang berkumpul di teras pun mulai meninggalkan sanggar. Hingga pada akhirnya tinggal tersisa Surya dan Ibnu di sana. Mereka berdua mulai gelisah, terlebih lagi Surya.

Sambil berbisik kepada Ibnu, Surya lalu menjelaskan bahwa dirinya memang seharusnya tak usah datang ke sini. Surya mulai merasa dikecewakan Purnama. 

Melati kemudian keluar menuju teras. Mendapati Melati, keduanya pun lalu berkilah seolah-olah tak terjadi apa-apa. Melati yang sedang menerima telepon itu perlahan mendekati Surya dan Ibnu. Tak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk mengetahui siapa yang sedang menjadi lawan bicara Melati. Melati sedang bicara dengan sang kakak.

“Ehm... Iya... Kakak ingin bicara dengan Surya? Ok, sebentar.” Kaget bukan main Surya mendengar ucapan Melati itu. Melati lalu memberikan telepon genggamnya kepada Surya.

Dengan perasaan campur aduk Surya menerima telepon yang diberikan Melati. Sekitar lima detik tak ada suara yang keluar dari kedua penelepon. Hening, Surya merasa gugup, ia merasa bingung harus bicara apa. Setelah cukup mengumpulkan keberanian akhirnya dia mulai membuka mulutnya dan mulai bicara.

“Ha-Ha-Halo.” Suara itu saling pantul, ucapan halo yang serentak diucapkan bersamaan oleh kedua penelepon itu membuat gema saling sahut menyahut. Namun tak lama senyap kembali. Di ujung sana kemudian mulai terdengar suara yang lebih tegar dan dalam.

“Halo, Surya...,” behenti sejenak, kemudian berlanjut. “Maaf aku tidak bisa ke sanggar tepat waktu. Aku masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan." Surya terdiam, dia khusuk mendengarkan ucapan kakak Melati itu.

"Oh iya... Aku ucapkan banyak-banyak terima kasih karena kamu telah mengantar Melati pulang ke rumah. Dia itu, padahal mau aku jemput, tapi kekeh ingin naik metromini, tapi untung saja ada kamu. Mungkin satu atau dua jam lagi aku akan pulang,” ucap kakak Melati di ujung telepon nan jauh di sana.

“Iya... tidak masalah,” ucap Surya. Ia merasa komunikasi kini mulai mencair. Walau demikian, tak lama tiba-tiba suasana senyap kembali. Kemudian, suara yang lebih tegar dan dalam di ujung sana kembali bersuara.

“Aku minta maaf padamu Surya, karena sikapku belakangan ini. Aku tidak bermaksud memperpanjang masalah di antara kita. Aku ingin kita kembali seperti biasa. Tapi entahlah mungkin belakangan ini aku sedang banyak pikiran. Aku benar-benar minta maaf kepadamu.” Mendengar kata-kata itu Surya terdiam, tak menyangka akan menerima kata-kata seperti itu darinya.

“A-Aku juga minta maaf Purnama, aku terlalu egois padamu. Aku tidak bisa memahami keadaan orang lain dan selalu fokus pada diri sendiri. Cepat selesaikan pekerjaanmu. Mari kita mengobrol seperti biasa di sini.”

Seorang kakak bernama Purnama itu kemudian mengucapkan banyak terima kasih kepada Surya, karena telah bersedia menunggunya. Tak lama telepon itu pun berakhir.

Melati menjelaskan bahwa kakaknya sekarang setiap hari mesti bekerja di minimarket, dan sayangnya malam ini ia sedang mendapat giliran shift malam.

Sementara itu, Ibnu sulit mempercayai yang baru saja diucapkan Surya kepada Purnama tadi. Sangat jelas bahwa ia akan menunggu Purnama. Padahal jelas-jelas Purnama sendiri sedang bekerja dan ia tidak memaksanya untuk menunggu. Sungguh, bukan seperti Surya yang biasanya.

Sedangkan malam sudah mencapai di titik paling pekatnya. Surya merasa lega, ia telah memutuskan perkara yang tepat. Di tengah malam yang kini mulai menghilang keramaiannya, Surya melihat titik cahaya terang di tengah pekatnya malam Jakarta (Selesai).*** Jawa Barat, 2017 

Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; Melawan Arus

Penulis: Dede Rudiansah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun