“Oh...Maafkan aku.” Melati lalu melonggarkan pelukannya dan berusaha menguasai dirinya kembali. Terasa sentuhan pipi yang kenyal dan lembut itu menyentuh punggung Surya yang hanya dihalangi kemeja tipis. Sayang peristiwa itu berlangsung cepat dan akal sehat Surya segera mengambil alih.
“Ehm... Maaf, kalau aku boleh tahu sebenarnya ada apa Melati?” Tanya Surya sambil membenarkan posisi kemudinya.
"Ehm, tidak apa-apa."
"Ayolah," desak Surya.
“Ehm kedua orang tuaku," kata Melati berhenti sejenak. Surya sedikit kaget. Ia lalu mulai memelankan laju skuternya agar suara Melati tidak luput dari tangkapan telinganya.
"Mereka pisah dua bulan yang lalu. Ibu pergi. Keluargaku jadi kacau,” Melati menghirup napas dalam-dalam dan bersiap mengeluarkan kata-kata lanjutan.
“Ibu, Ibu pergi entah ke mana. Sedang ayah sangat terpukul hingga akhirnya jatuh sakit. Dan kau tahu Surya? Sebulan yang lalu tiba-tiba ia terkena stroke, setengah badannya membatu. Selama dua bulan itu rumah bagaikan tempat mengumbar segala kebencian. Kakakku menjadi sering marah. Semuanya bagai telah meninggalkanku seorang diri, Ibu, Ayah, Kakak.”
Melati mulai menceritakan kondisi keluarganya yang sedang menghadapi masalah. Ia mulai terbawa emosi, namun tak lama ia pun dapat mengontrol emosinya kembali.
“Tapi aku masih beruntung mempunyai kakak seperti dia. Kakak sebenarnya baik, walau sedikit keras, dan dia adalah kakak yang punya rasa tanggung jawab," lanjut Melati. Surya masih terus fokus pada apa yang Melati ceritakan.
"Setelah Ayah jatuh sakit yang menjadi tulang punggung keluarga adalah kakak. Aku yakin kakak telah mengorbankan banyak hal dalam hidupnya, kuliahnya, hobinya, hubungan dengan teman-temannya, mungkin... Ah, semuanya gara-gara dia, Ibu telah mengkhianati kami semua!”
Surya dengan saksama mendengarkan cerita dari pujaan hatinya itu. Semua kata-kata penuh amarah dan benci itu, entah kenapa, terasa lembut mengalun merdu di kedua gendang telinga Surya.