Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Persahabatan: Mentari di Malam Hari [Bagian 1]

10 Desember 2023   16:46 Diperbarui: 12 Desember 2023   02:30 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah keputusanku ini benar atau salah, tapi aku akan melawannya! Aku tidak akan mengalah lagi... Bila kita terus mengalah, kapan menangnya?!” Ia pun menyerahkan kembali keputusan itu kepada Surya.

Di malam hari, rutinitas manusia mulai berkurang dan mulai menemui waktu tenangnya. Siang adalah waktu untuk berpeluh keringat dibakar mentari dan malam adalah waktu yang tepat untuk mendamaikan diri. Itulah gambaran umum manusia di mana pun mereka berada. Namun, lain cerita dengan manusia-manusia di kota besar sang ibu kota negeri, Jakarta. Siang dan malam tidaklah jauh berbeda, karena keduanya menawarkan kesempatan yang sama.

Keramaian riuh rendah yang berasal dari rutinitas manusia yang beragam selalu mewarnai malam-malam Jakarta. Para pedagang kaki lima, buruh-buruh pabrik dan kantor yang bergantian kerja, siswa-siswi dan setumpuk beban dari tempat lesnya, telah ikut andil mewarnai malam-malam di ibu kota.

Di tengah riuh rendah itu seorang pemuda bernama Surya tengah menghidupkan motor antiknya. Skuter antik warna merah marun yang tampak ketinggalan zaman dan sering mogok itu akhirnya hidup, tentu setelah mendapat cacian dan makian yang luar biasa terlebih dahulu. Surya bersama skuter antik itu bersiap menembus dan menambah keramaian, riuh rendah malam di Jakarta.

Surya hendak pergi ke satu sanggar seni di Jakarta, tempat biasa ia menghabiskan waktu. Kali ini dia pergi bermaksud menemui dua orang kawannya, Purnama dan Ibnu. Ia mengingat kekacauan yang terjadi di antara mereka satu bulan yang lalu. Surya dan Purnama sempat bertengkar besar.

Surya sebenarnya sudah lama ingin membereskan hal ini. Namun, sikap cuek dan tidak peduli Purnama membuat Surya jengah padanya. Di mata Surya, Purnama adalah orang yang sangat egois, tidak mau memahami orang lain. Semua kehendaknya harus dituruti, dialah si bos besar. Semua orang harus tunduk dan patuh terhadap ucapannya.

'Bila kau berani menentang pendapatnya atau berani mengusik hatinya, siap-siap hidupmu tidak akan bisa tenang.’ Begitulah sosok Purnama menurut Surya.

Malam itu pun Surya mengikuti keinginan Purnama untuk membicarakan masalah mereka di sanggar. Surya merasa selalu mengalah padanya. Masalah sudah berlalu satu bulan dan Surya sebenarnya sudah kadung malas membahas permasalahan ini. 

Satu-satunya orang yang selalu mendorong dan memaksanya agar bisa menyelesaikan permasalahan itu adalah Ibnu. “Aku bingung, yang bertengkar itu kalian, tapi kenapa namaku selalu dibawa-bawa.” Protes Ibnu ketika tahu permasalahan dua kawannya itu makin berlarut-larut.

Permasalahan antara keduanya memang tidak pernah tampak di permukaan. Semuanya akan beranggapan bahwa keduanya dalam situasi yang baik-baik saja. Karena memang jika di luar mereka bersikap seperti biasa. Namun, jika sudah sama-sama di belakang, di kubunya masing-masing maka perang sepihak pun mulai terangkat ke permukaan.

Perang dingin seperti inilah yang kemudian berkembang tak terkontrol. Ceritanya berkembang, semuanya mengembangkan cerita menurut sudut pandangnya masing-masing dan kemudian ikut membakar serta menyulut setiap orang yang mendengarnya.

Setiap masalah, sekecil apa pun, bila tidak segera diselesaikan dan dipadamkan akan terus menjalar dan membesar ke segala arah. Membakar semuanya, menyulut semuanya. Sikap Purnama yang sedikit arogan memang menjadi alasan terbesar bagi Surya untuk terus menabuh genderang peperangan. Membenci Purnama telah jadi agenda wajib baginya.

Surya makin tenggelam dalam pikirannya itu. Dingin malam tak dirasai, erangan dan getaran skuter bututnya pun tak ia hiraukan. Surya termenung dalam perjalanan menuju satu sanggar seni di Jakarta. Seperti sudah ditentukan semesta perenungan itu akhirnya berujung pada perasaan ragu. Surya tiba-tiba merasa tidak yakin dengan keputusannya malam itu.

“Kenapa juga pembicaraan ini harus malam-malam dan tempatnya di sana pula?” Tanya Surya di tengah riuh rendah raungan skuter miliknya yang kini sudah sampai di jalan Harmoni, Jakarta.

“Aku merasa akan dijebak,” lanjut Surya pada dirinya sendiri. “Apakah aku batalkan saja pertemuan ini?”

Di tengah perjalanan, Surya lalu bertemu dengan salah satu teman dekatnya di depan salah satu toko sepatu dekat Taman Ismail Marzuki. Ia pun berhenti, sekadar untuk basa-basi sebentar dengannya.

“Aku sedang menunggu metromini. Kamu sendiri malam-malam begini mau kemana?” ujar teman Surya.

Surya bercerita bahwa ia akan pergi menemui Purnama hendak membicarakan dan menyelesaikan permasalahan di antara mereka. “... Ikutlah denganku, temanilah aku ke sana,” ajak Surya di akhir ceritanya.

“Kamu tidak ingat? Sebulan yang lalu, saat kita mengadakan rapat seperti ini. Kita membahas permasalahan bersama Purnama dan apa yang terjadi?” Tiba-tiba mata sang teman seolah menyala merah membara.

Surya tentu masih mengingatnya. Saat itu dirinys hanya ditemani beberapa orang, sedangkan Purnama membawa semua teman-temannya. Bagai ayam dikepung kawanan musang, mereka habis dibantai. Secara tidak langsung hal itu telah menekan emosi mereka dan membuat geram orang-orang di kubu Surya.

Teman Surya benar-benar sakit hati atas sikap Purnama dan teman-temannya saat itu. Lebih lagi karena waktu itu ia cukup dominan bicara dan diserang habis-habisan oleh Purnama dan teman-temannya. Surya lalu menyinggung pendapat Ibnu yang cenderung netral dan mendorongnya untuk segera menyelesaikan masalah.

“Ah... Tahu apa dia. Dia itu tidak merasakan apa yang aku rasakan Surya. Bukankah dia diam saja waktu itu? Tidak membelamu, apalagi membelaku! Teman macam apa itu?” Teman Surya tampak hampir saja menitikan air mata.

“Entah keputusanku ini benar atau salah, tapi aku akan melawannya! Aku tidak akan mengalah lagi. Capek aku, capek hati, capek pikiran! Bila kita terus mengalah, kapan menangnya?!” Ia pun menyerahkan kembali keputusan itu kepada Surya.

“Semuanya terserah padamu Surya, Aku dan Ibnu sudah menentukan sikap. Sekarang giliran kamu, ikut denganku atau ikut dengan Ibnu!” Keputusan itu sebenarnya lebih jelas diartikan sebagai sikap untuk terus mengalah atau melawan dan berperang!

Tak lama metromini berwarna merah biru bernomor 027 lewat. Seorang teman yang emosinya sedang bangkit itu kemudian naik meninggalkan Surya di tengah kegamangan malam Jakarta.

Surya yang sudah ragu itu pada akhirnya membenarkan pendapat temannya. Ia yakin bahwa keputusan pergi ke sanggar seni adalah suatu kesalahan. Surya lalu memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan itu.

Dia akan mengarang seribu macam alasan jika Ibnu sampai menanyakan ketidakhadirannya. Lagi pula Surya sendiri ragu bahwa Ibnu berani ke sanggar seorang diri di malam hari. Keputusan Surya sudah mantap, ia akan tegas melawan kesewenang-wenangan Purnama.

Ketika sedang memutar balik skuter miliknya itu tiba-tiba telepon genggam Surya berbunyi. Ia melihat sebuah nama di layar telepon genggamnya yang menyala. Sebuah nama yang tidak asing baginya. Dengan sedikit agak ragu Surya lalu mengangkatnya.

“Ha-Halo, Nu...,” kata Surya.

“Aku sudah di Sanggar, kamu di mana?” kata seseorang di ujung sana.

“Aku tidak....”

“Jangan sampai tidak datang. Aku sudah menepati janjiku, aku akan menemanimu,” lanjut seseorang di ujung sana.

“Tapi Nu, motorku mo...gok.” Sayang, suara Surya tidak berhasil tembus ke telepon genggamnya. Panggilan atas nama Ibnu telah terputus.....*** (Cerpen Persahabatan: Mentari di Malam Hari bersambung ke bagian 2).

Mentari di Malam Hari: Cerpen ke-1 Trilogi Perspektif

Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; Melawan Arus

Penulis: Dede Rudiansah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun