Perang dingin seperti inilah yang kemudian berkembang tak terkontrol. Ceritanya berkembang, semuanya mengembangkan cerita menurut sudut pandangnya masing-masing dan kemudian ikut membakar serta menyulut setiap orang yang mendengarnya.
Setiap masalah, sekecil apa pun, bila tidak segera diselesaikan dan dipadamkan akan terus menjalar dan membesar ke segala arah. Membakar semuanya, menyulut semuanya. Sikap Purnama yang sedikit arogan memang menjadi alasan terbesar bagi Surya untuk terus menabuh genderang peperangan. Membenci Purnama telah jadi agenda wajib baginya.
Surya makin tenggelam dalam pikirannya itu. Dingin malam tak dirasai, erangan dan getaran skuter bututnya pun tak ia hiraukan. Surya termenung dalam perjalanan menuju satu sanggar seni di Jakarta. Seperti sudah ditentukan semesta perenungan itu akhirnya berujung pada perasaan ragu. Surya tiba-tiba merasa tidak yakin dengan keputusannya malam itu.
“Kenapa juga pembicaraan ini harus malam-malam dan tempatnya di sana pula?” Tanya Surya di tengah riuh rendah raungan skuter miliknya yang kini sudah sampai di jalan Harmoni, Jakarta.
“Aku merasa akan dijebak,” lanjut Surya pada dirinya sendiri. “Apakah aku batalkan saja pertemuan ini?”
Di tengah perjalanan, Surya lalu bertemu dengan salah satu teman dekatnya di depan salah satu toko sepatu dekat Taman Ismail Marzuki. Ia pun berhenti, sekadar untuk basa-basi sebentar dengannya.
“Aku sedang menunggu metromini. Kamu sendiri malam-malam begini mau kemana?” ujar teman Surya.
Surya bercerita bahwa ia akan pergi menemui Purnama hendak membicarakan dan menyelesaikan permasalahan di antara mereka. “... Ikutlah denganku, temanilah aku ke sana,” ajak Surya di akhir ceritanya.
“Kamu tidak ingat? Sebulan yang lalu, saat kita mengadakan rapat seperti ini. Kita membahas permasalahan bersama Purnama dan apa yang terjadi?” Tiba-tiba mata sang teman seolah menyala merah membara.
Surya tentu masih mengingatnya. Saat itu dirinys hanya ditemani beberapa orang, sedangkan Purnama membawa semua teman-temannya. Bagai ayam dikepung kawanan musang, mereka habis dibantai. Secara tidak langsung hal itu telah menekan emosi mereka dan membuat geram orang-orang di kubu Surya.
Teman Surya benar-benar sakit hati atas sikap Purnama dan teman-temannya saat itu. Lebih lagi karena waktu itu ia cukup dominan bicara dan diserang habis-habisan oleh Purnama dan teman-temannya. Surya lalu menyinggung pendapat Ibnu yang cenderung netral dan mendorongnya untuk segera menyelesaikan masalah.