“Ah... Tahu apa dia. Dia itu tidak merasakan apa yang aku rasakan Surya. Bukankah dia diam saja waktu itu? Tidak membelamu, apalagi membelaku! Teman macam apa itu?” Teman Surya tampak hampir saja menitikan air mata.
“Entah keputusanku ini benar atau salah, tapi aku akan melawannya! Aku tidak akan mengalah lagi. Capek aku, capek hati, capek pikiran! Bila kita terus mengalah, kapan menangnya?!” Ia pun menyerahkan kembali keputusan itu kepada Surya.
“Semuanya terserah padamu Surya, Aku dan Ibnu sudah menentukan sikap. Sekarang giliran kamu, ikut denganku atau ikut dengan Ibnu!” Keputusan itu sebenarnya lebih jelas diartikan sebagai sikap untuk terus mengalah atau melawan dan berperang!
Tak lama metromini berwarna merah biru bernomor 027 lewat. Seorang teman yang emosinya sedang bangkit itu kemudian naik meninggalkan Surya di tengah kegamangan malam Jakarta.
Surya yang sudah ragu itu pada akhirnya membenarkan pendapat temannya. Ia yakin bahwa keputusan pergi ke sanggar seni adalah suatu kesalahan. Surya lalu memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan itu.
Dia akan mengarang seribu macam alasan jika Ibnu sampai menanyakan ketidakhadirannya. Lagi pula Surya sendiri ragu bahwa Ibnu berani ke sanggar seorang diri di malam hari. Keputusan Surya sudah mantap, ia akan tegas melawan kesewenang-wenangan Purnama.
Ketika sedang memutar balik skuter miliknya itu tiba-tiba telepon genggam Surya berbunyi. Ia melihat sebuah nama di layar telepon genggamnya yang menyala. Sebuah nama yang tidak asing baginya. Dengan sedikit agak ragu Surya lalu mengangkatnya.
“Ha-Halo, Nu...,” kata Surya.
“Aku sudah di Sanggar, kamu di mana?” kata seseorang di ujung sana.
“Aku tidak....”
“Jangan sampai tidak datang. Aku sudah menepati janjiku, aku akan menemanimu,” lanjut seseorang di ujung sana.