Padahal, Indonesia tidak akan 'luntang-lantung' dalam mencari panutan untuk membangun, mengelola, hingga memperbaiki sepak bolanya, seandainya tetap dapat menilai Belanda unggul dan sangat layak didatangkan untuk mendampingi Indonesia membangun dan mengelola sepak bolanya tanpa memperhatikan pembuktian supremasinya--termasuk tanpa mengenang masa kolonialisasi Belanda di Indonesia.
Ini dibuktikan dengan Brasil yang justru dapat juara Piala Dunia lima kali, sedangkan Portugal ke mana saja?
Dan, ketika Brasil sering juara Piala Dunia, Indonesia ingin belajar sepak bola kepada mereka. Ketika Italia juara Piala Dunia atau klub-klubnya juara Eropa, Indonesia ingin belajar sepak bola di negeri pizza.
Begitu pun ketika Spanyol dan Jerman juara Piala Dunia, Indonesia ingin mencari warisan ilmu sepak bola dari mereka.
Ketidakjelasan dalam menentukan tujuan ini yang membuat sepak bola kita yang konon kompetisi domestiknya pernah dijadikan bahan studi banding negara Asia seperti Jepang, kini justru mulai membuat banyak penggemar sepak bola nasional cemas.
Dimulai dari asosiasi pusatnya dan kompetisi domestiknya yang banyak drama tidak sedap. Kuota bermain di Liga Champions Asia dari minimal satu klub otomatis di babak grup putaran final, menjadi tidak ada. Bahkan, kuota AFC Cup yang merupakan kasta kedua di Asia pun tipis.
Hingga, yang paling mengenaskan adalah Indonesia masih belum bisa juara Piala AFF, yang notabene selalu ditunggu masyarakat penggemar Timnas Garuda sejak kompetisi ini eksis dengan nama Piala Tiger pada 1996.
Bisa dikatakan bahwa akar permasalahan sepak bola Indonesia adalah kompas. Kita belum mempunyai kompas dan kalaupun sudah punya kompas, kita belum tahu mau ke mana, namun sudah terburu-buru memilih nakhoda sekenalnya dan segera mengirim kapal untuk berlayar.
Akhirnya, kapal kita terombang-ambing di tengah luasnya samudera, dan perlahan mulai tenggelam. Barulah kita sadar, bahwa negara kita yang sebetulnya sangat bagus ini--bila dikelola dengan kejujuran--ternyata sepak bolanya tidak ada apa-apanya di mata internasional.
Jadi, semoga kita segera punya kompas untuk sepak bola kita. Entah dengan menggabungkan segala filosofi sepak bola di dunia, atau pun memilih satu contoh paling ideal untuk menjadi panutan. Kita lihat nanti pada cetakan biru yang konon diproses oleh pengurus PSSI periode 2023-2027.
Tetap semangat Indonesia-ku!