Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia vs Burundi, Hal Ini Bikin Sepak Bola Kita Masih Semenjana

25 Maret 2023   18:06 Diperbarui: 25 Maret 2023   18:10 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim nasional sepak bola Indonesia kala menjalani kualifikasi Piala Asia 2023 pada Juni 2022 di Kuwait. Sumber gambar: via Kompas.com

Tim nasional sepak bola Indonesia akan menghadapi tim asal negara yang kabarnya termiskin di dunia, yakni Burundi. Walaupun, termiskin di dunia, pada faktanya, peringkat timnas Burundi 10 tingkat di atas tim 'Garuda' yang duduk di posisi ke-151.

Mau dianggap lucu, tetapi memang pada faktanya, sepak bola tidak selalu persis dengan kondisi negaranya. Afghanistan contohnya, yang sering diketahui orang Indonesia sebagai negara yang banyak konflik dan perang, tetapi tim sepak bolanya tetap susah ditaklukkan Indonesia meski sebatas beruji coba.

Atau, timnas Irak, yang pernah juara Piala Asia 2007, namun negaranya terdapat pergolakan politik besar hingga menimbulkan perang.

Contoh terdekat dengan kita sebagai warga Indonesia tentu adalah keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia 1938, padahal kondisi negaranya masih berada di bawah kekuasaan Belanda, yang kemudian tentu namanya bukan Indonesia melainkan Hindia Belanda.

Indonesia pun pernah juara Piala Asia U-20 pada 1961, padahal usia merdekanya belum genap dua puluh tahun.

Apakah kemudian Indonesia perlu punya masalah besar seperti itu agar sepak bolanya maju?

Tentu saja bukan begitu pola pikirnya.

Sepak bola yang maju tentu harus dibarengi dengan kondisi negara yang tertata. Contohnya seperti Ethiopia, yang sepak bolanya mampu berkembang bersamaan dengan perbaikan kondisi negaranya yang sempat menjadi negara termiskin di dunia, namun mulai mengalami pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia menurut IMF pada 2004-2009. Dan, pada 2004 hingga 2014 mempunyai kecepatan pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 10,9% bersama pendapatan domestik bersih.

Selain kunci tersebut, ada cara lain yang membuat sepak bola menjadi kekuatan besar di suatu negara yang kurang kondusif secara umum dan di mata global, yakni fokus mengelola sepak bolanya.

Ambil contoh Brasil, apakah negara tersebut adalah negara maju?

Bila merujuk peringkat International Monetery Fund (IMF) dengan data estimasi 2022, maka Brasil belum demikian. Mereka berada di tabel kategori menengah, yakni peringkat 86. Hanya unggul 11 tangga atas Indonesia.

Namun, secara sepak bola, mereka sudah kompetitif. Setidaknya, berpatokan pada tim nasionalnya. Berdasarkan peringkat FIFA per Desember 2022, mereka bercokol di posisi pertama.

Hal ini dikarenakan pengelolaan sepak bola yang cukup baik dan terus diperbaiki seiring perkembangan zaman. Dan, ketika mereka mengelola sepak bola, mereka tidak sendirian. Mereka terbuka dengan negara-negara yang memang sudah jelas rekam jejaknya di sepak bola.

Seperti keterbukaan Brasil dengan negara Eropa terutama Portugal. Walaupun untuk sepak bola, Portugal masih belum sepenuhnya seseksi Italia dan Spanyol--yang juga punya jalinan kerja sama lewat tim pencarian bakat, namun karena Portugal negara Eropa dan sudah maju, maka secara sarana dan prasarana serta keilmuan sepak bolanya jelas lebih maju dibandingkan Brasil.

Selain itu, Portugal dikenal mampu memproduksi pemain-pemain muda bertalenta, dan ini bisa dibuktikan hingga sekarang. Kelebihan Portugal inilah yang kemudian sangat terlihat dapat tersalurkan pula di Brasil. Mereka seperti tidak pernah ada habisnya dalam melahirkan bakat-bakat alami yang luar biasa di sepak bola.

Dan tentu saja, pemain-pemain muda berbakat itu sudah punya teknik dasar bermain sepak bola yang tidak lagi perlu diragukan. Sehingga, ketika Brasil bisa melahirkan pemain-pemain bagus, mereka tidak lagi hanya bermain di kompetisi domestik, melainkan juga ke negara lain, terutama di Eropa.

Di sinilah kualitas sepak bola Brasil terlihat, yakni mempunyai banyak pemain yang bermain di Eropa, kemudian menjadi andalan klub Eropa hingga dapat memperkuat timnas Brasil yang seiring berjalannya waktu didominasi pemain dari kompetisi Eropa.

Ketika skuadnya diisi mayoritas pemain dari kompetisi Eropa, maka permainan timnasnya pun setara dengan timnas di Eropa.

Mereka pun kemudian menjadi seperti sempurna karena ada tambahan keterampilan alami nan spesial, yang biasanya jarang terlihat di pemain Eropa, yang terkadang cenderung luar biasa karena faktor pemahaman teknik dasar, taktik, dan mentalitas.

Sedangkan, pemain dari Brasil, dianugerahi keterampilan-keterampilan spesial dan kadang langka.

Ini membuat mereka bisa makin luar biasa ketika sudah menancapkan kariernya di Eropa dan membela timnasnya dengan semangat tinggi untuk membuktikan, bahwa mereka bisa bersaing dengan tim-tim berlatar belakang dari negara maju.

Lalu, apakah Indonesia bisa demikian?

Sebetulnya bisa, seandainya Indonesia menemukan aliansi yang tepat untuk membangun dan mengembangkan sepak bolanya. Aliansi tepat ini tidak hanya untuk penempatan tim akademi menumpang berkompetisi selama semusim-dua musim di suatu negara, melainkan kerja sama secara menyeluruh dari titik tertinggi yakni asosiasi pusat, hingga yang paling dasar yakni sepak bola akar rumput dan pembinaan usia dini.

Memang, tidak semua negara dapat sempurna dalam mengelola sepak bolanya, ada yang memang jago dalam urusan pembinaan usia dini saja, ada yang jago pengorganisasian saja, ada pula yang hanya jago membangun infrastruktur sepak bola.

Mengenai adanya spesialisasi tersebut, Indonesia cenderung ingin melahap semuanya sekaligus. Padahal, ada kalanya sepak bola dibangun secara bertahap dan fokus pada satu-dua hal terlebih dahulu.

Namun, bila memang ingin memperbaiki semuanya sekaligus, maka perlu belajar ke negara yang bisa dikatakan hampir sempurna, yakni Belanda.

Suka-tidak suka, Belanda cenderung sempurna dalam mengelola sepak bola. Dalam urusan sepak bola usia dini, Belanda salah satu negara yang sudah menanamkan filosofi bermain yang kuat, terutama sejak Johan Cruyff menjadi pelatih.

Bukti Belanda bisa menghasilkan pemain-pemain berkualitas adalah banyaknya pemain yang tersebar di Eropa adalah produk akademi sepak bola di Belanda. Tidak hanya orang Belanda asli, melainkan pemain asing pun tidak sedikit yang dasar bermain sepak bolanya di Belanda.

Atau, setidaknya pernah bermain di Belanda, sehingga tahu bagaimana bermain sepak bola ala Belanda yang kemudian dapat menjadi bekal kualitas di karier selanjutnya. Seperti, Zlatan Ibrahimovic hingga Christian Eriksen.

Kemudian, Belanda juga tahu cara mengorganisasikan sepak bolanya sehingga dapat berjalan kondusif. Bila merujuk pada cerita mantan pelatih Timnas Futsal Indonesia dan mantan Direktur Teknik Futsal, Justinus Lhaksana, diketahui bahwa asosiasi sepak bola Belanda, yakni KNVB menerapkan cara profesional dalam mengelola sepak bolanya, sehingga tidak ada konflik kepentingan di lingkup-lingkup kecil dalam mengelola sepak bola.

Cara profesional yang dimaksud adalah penggajian dan pengerjaan program dari pusat ke seluruh daerah. Sehingga, tidak ada kekuatan-kekuatan kecil dari daerah yang memanfaatkan kepanjangan tangan asosiasi pusat untuk membangun sepak bola daerah dengan caranya sendiri-sendiri.

Mau tidak mau, sepak bola memang harus top-down, bukan bottom-up. Hal ini harus dimengerti bila mengetahui bahwa muara dari sepak bola tersebut adalah tim nasional. Bukan klub, bukan pula mentok di kompetisi domestik, apalagi untuk pencalonan diri orang-orang tertentu sebagai kepala daerah.

Selanjutnya, Belanda dikenal sebagai negara dengan infrastruktur maju. Tidak hanya soal sepak bola, namun dapat dibuktikan dengan kondisi secara umum lewat negaranya yang tidak diterpa masalah banjir dan tenggelam. Padahal, secara geografis, Belanda mempunyai ketinggian daratan yang rata-rata di bawah permukaan laut.

Artinya, pengetahuan mereka terhadap pembangunan infrastruktur dapat dikatakan sangat maju. Maka, Indonesia pun sebetulnya bisa belajar dari mereka untuk membangun infrastruktur, terutama untuk sepak bolanya.

Bisa sering kita lihat, bahwa stadion Indonesia masih sering tiba-tiba menjadi 'kolam lele' ketika hujan, padahal itu untuk pertandingan Liga 1 yang konon kabarnya mempunyai verifikasi stadion berstandar internasional.

Ditambah, secara geografis, Indonesia masih punya permukaan daratan yang lebih tinggi dari permukaan laut. Tetapi, isunya pada tiap tahun selalu tentang banjir. Dan, ketika secara umum daerahnya masih ada banjir, begitu pun dengan stadionnya yang masih bermasalah dengan drainase.

Padahal, sebagai negara tropis, seharusnya sudah dapat mempelajari dan mulai bisa menaklukkan dampak dari kondisi alamnya tersebut seperti yang dilakukan Belanda.

Mengenai infrastruktur ini tentu tidak hanya belajar pembangunannya, melainkan juga belajar tentang etika menjaga lingkungan dan infrastruktur, agar alam tropis yang sebetulnya kondusif dan bikin betah pesepak bola yang 'pensiun' dari kompetisi Eropa ini lebih menguntungkan bagi perkembangan sepak bola Indonesia.

Sayangnya, di antara bagusnya Belanda dalam mengelola sepak bolanya, ada satu hal yang membuat kebanyakan orang termasuk di Indonesia kurang mengagumi dan mengakui kehebatan Belanda di sepak bola. Yakni, sulitnya Belanda untuk betul-betul menjadi yang terbaik di dunia maupun Eropa.

Di level klub, setidaknya Belanda masih dapat merasakan gelar supremasi di Liga Champions Eropa (UCL), namun di tim nasional, Belanda masih kesulitan meraih gelar juara di Piala Dunia.

Gelar juara ini sebagai tujuan akhir serta penegasan buah dari proses dan pengelolaan sepak bolanya yang matang. Pencapaian terbaik Belanda di Piala Dunia adalah peringkat kedua sebanyak tiga kali.

Sebetulnya, apa yang diraih Belanda tetap luar biasa. Namun, seandainya Indonesia mengundang Belanda untuk menjadi mentor sepak bola kita, mungkin yang menjadi pengganjalnya adalah cara memperkenalkan mereka sebagai finalis Piala Dunia. Seolah-olah, kenapa kita tidak sekalian berguru kepada yang sudah pernah juara Piala Dunia?

Ya, itulah yang bisa saja membuat Belanda kurang dianggap prioritas untuk dijadikan panutan, terutama di Indonesia.

Padahal, Indonesia tidak akan 'luntang-lantung' dalam mencari panutan untuk membangun, mengelola, hingga memperbaiki sepak bolanya, seandainya tetap dapat menilai Belanda unggul dan sangat layak didatangkan untuk mendampingi Indonesia membangun dan mengelola sepak bolanya tanpa memperhatikan pembuktian supremasinya--termasuk tanpa mengenang masa kolonialisasi Belanda di Indonesia.

Ini dibuktikan dengan Brasil yang justru dapat juara Piala Dunia lima kali, sedangkan Portugal ke mana saja?

Dan, ketika Brasil sering juara Piala Dunia, Indonesia ingin belajar sepak bola kepada mereka. Ketika Italia juara Piala Dunia atau klub-klubnya juara Eropa, Indonesia ingin belajar sepak bola di negeri pizza.

Begitu pun ketika Spanyol dan Jerman juara Piala Dunia, Indonesia ingin mencari warisan ilmu sepak bola dari mereka.

Ketidakjelasan dalam menentukan tujuan ini yang membuat sepak bola kita yang konon kompetisi domestiknya pernah dijadikan bahan studi banding negara Asia seperti Jepang, kini justru mulai membuat banyak penggemar sepak bola nasional cemas.

Dimulai dari asosiasi pusatnya dan kompetisi domestiknya yang banyak drama tidak sedap. Kuota bermain di Liga Champions Asia dari minimal satu klub otomatis di babak grup putaran final, menjadi tidak ada. Bahkan, kuota AFC Cup yang merupakan kasta kedua di Asia pun tipis.

Hingga, yang paling mengenaskan adalah Indonesia masih belum bisa juara Piala AFF, yang notabene selalu ditunggu masyarakat penggemar Timnas Garuda sejak kompetisi ini eksis dengan nama Piala Tiger pada 1996.

Bisa dikatakan bahwa akar permasalahan sepak bola Indonesia adalah kompas. Kita belum mempunyai kompas dan kalaupun sudah punya kompas, kita belum tahu mau ke mana, namun sudah terburu-buru memilih nakhoda sekenalnya dan segera mengirim kapal untuk berlayar.

Akhirnya, kapal kita terombang-ambing di tengah luasnya samudera, dan perlahan mulai tenggelam. Barulah kita sadar, bahwa negara kita yang sebetulnya sangat bagus ini--bila dikelola dengan kejujuran--ternyata sepak bolanya tidak ada apa-apanya di mata internasional.

Jadi, semoga kita segera punya kompas untuk sepak bola kita. Entah dengan menggabungkan segala filosofi sepak bola di dunia, atau pun memilih satu contoh paling ideal untuk menjadi panutan. Kita lihat nanti pada cetakan biru yang konon diproses oleh pengurus PSSI periode 2023-2027.

Tetap semangat Indonesia-ku!

Malang, 22-25 Maret 2023

Deddy HS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun