Lalu, apakah Indonesia bisa demikian?
Sebetulnya bisa, seandainya Indonesia menemukan aliansi yang tepat untuk membangun dan mengembangkan sepak bolanya. Aliansi tepat ini tidak hanya untuk penempatan tim akademi menumpang berkompetisi selama semusim-dua musim di suatu negara, melainkan kerja sama secara menyeluruh dari titik tertinggi yakni asosiasi pusat, hingga yang paling dasar yakni sepak bola akar rumput dan pembinaan usia dini.
Memang, tidak semua negara dapat sempurna dalam mengelola sepak bolanya, ada yang memang jago dalam urusan pembinaan usia dini saja, ada yang jago pengorganisasian saja, ada pula yang hanya jago membangun infrastruktur sepak bola.
Mengenai adanya spesialisasi tersebut, Indonesia cenderung ingin melahap semuanya sekaligus. Padahal, ada kalanya sepak bola dibangun secara bertahap dan fokus pada satu-dua hal terlebih dahulu.
Namun, bila memang ingin memperbaiki semuanya sekaligus, maka perlu belajar ke negara yang bisa dikatakan hampir sempurna, yakni Belanda.
Suka-tidak suka, Belanda cenderung sempurna dalam mengelola sepak bola. Dalam urusan sepak bola usia dini, Belanda salah satu negara yang sudah menanamkan filosofi bermain yang kuat, terutama sejak Johan Cruyff menjadi pelatih.
Bukti Belanda bisa menghasilkan pemain-pemain berkualitas adalah banyaknya pemain yang tersebar di Eropa adalah produk akademi sepak bola di Belanda. Tidak hanya orang Belanda asli, melainkan pemain asing pun tidak sedikit yang dasar bermain sepak bolanya di Belanda.
Atau, setidaknya pernah bermain di Belanda, sehingga tahu bagaimana bermain sepak bola ala Belanda yang kemudian dapat menjadi bekal kualitas di karier selanjutnya. Seperti, Zlatan Ibrahimovic hingga Christian Eriksen.
Kemudian, Belanda juga tahu cara mengorganisasikan sepak bolanya sehingga dapat berjalan kondusif. Bila merujuk pada cerita mantan pelatih Timnas Futsal Indonesia dan mantan Direktur Teknik Futsal, Justinus Lhaksana, diketahui bahwa asosiasi sepak bola Belanda, yakni KNVB menerapkan cara profesional dalam mengelola sepak bolanya, sehingga tidak ada konflik kepentingan di lingkup-lingkup kecil dalam mengelola sepak bola.
Cara profesional yang dimaksud adalah penggajian dan pengerjaan program dari pusat ke seluruh daerah. Sehingga, tidak ada kekuatan-kekuatan kecil dari daerah yang memanfaatkan kepanjangan tangan asosiasi pusat untuk membangun sepak bola daerah dengan caranya sendiri-sendiri.
Mau tidak mau, sepak bola memang harus top-down, bukan bottom-up. Hal ini harus dimengerti bila mengetahui bahwa muara dari sepak bola tersebut adalah tim nasional. Bukan klub, bukan pula mentok di kompetisi domestik, apalagi untuk pencalonan diri orang-orang tertentu sebagai kepala daerah.