Tertinggal lebih dulu, The Whites kemudian mencoba kembali membangun serangan. Namun, seringkali penguasaan bola Leeds terpatahkan dengan pemosisian pemainnya yang salah, akurasi operannya yang buruk, serta kemampuan pemain Arsenal dalam membaca arah bola.
Ini yang kemudian membuat Arsenal berhasil menyapu gelombang serangan Leeds yang masih semrawut, lalu dimanfaatkan untuk mencuri gol lagi lewat Martinelli. Arsenal pun mulai menjauh.
Ketika tim asuhannya tertinggal, Bielsa memasukkan pemain muda, Summerville, yang merupakan penyerang. Dia menggantikan pemain Leeds yang berposisi sebagai gelandang.
Artinya, Leeds seperti bermain dengan formasi 4-1-3-2. Atau, kalau sedang menyerang, mereka akan membentuk formasi 4-1-2-3.
Namun, terobosan formasi Bielsa seperti tidak menemui target. Bahkan, Arsenal justru berhasil melebarkan jarak menjadi 0-3, setelah Bukayo Saka mencetak gol menjelang babak pertama berakhir.
Arsenal pun masuk ke ruang ganti dengan keunggulan telak. Ini membuat raut wajah Bielsa sering mendapatkan sorotan, sampai saya pun bersimpati kepadanya.
Karena, apa yang dilakukan Bielsa tidak sepenuhnya salah. Sebagai tim tuan rumah, rasanya pantang untuk membiarkan lawan menang dengan mudah.
Dan, salah satu cara untuk merealisasikannya adalah dengan menyajikan sepak bola menyerang. Karena, dalam sepak bola kalau ingin menang, kita harus menyerang untuk mencetak gol.
Tetapi, logika sederhana itu tidak bisa dikompromikan dengan keadaan sebuah tim yang sedang tidak berada di komposisi skuad paling maksimalnya. Inilah yang terjadi pada Leeds di laga ini.
Mereka sedang pincang. Dari lini depan ke lini belakang, pemain penting Leeds tidak bisa tampil. Luke Ayling yang sebenarnya bek sayap, juga harus menjadi bek tengah.