Kalau dilihat secara kasat mata, iya. Yudo, Dedik Setiawan, bahkan Ezra juga sebenarnya barisan penyerang tengah timnas yang merupakan penyerang kedua di level klub. Bahkan, Yudo sebenarnya tipikal winger, seperti Irfan, Witan, dan Egy Maulana Vikri.
Di timnas, Yudo (seperti) ingin diubah Shin Tae-yong menjadi false nine, seperti Pep Guardiola yang mengubah Ferran Torres di Manchester City. Padahal, di Valencia, dia adalah winger.
Perubahan ini sebenarnya untuk melatih naluri "membunuh" di pertahanan lawan. Tetapi, naluri bentukan dengan naluri alamiah terkadang bisa dibedakan.
Sekeras-kerasnya Shin Tae-yong membentuk naluri predator pada Yudo, peluangnya untuk menyamai Ilija Spasojevic masih sedikit. Tetapi, upaya Shin Tae-yong patut diapresiasi.
Bahkan, pemanggilan Ezra Walian juga sebenarnya patut diapresiasi. Karena, itu menunjukkan bahwa Shin Tae-yong lebih suka pemain versatile, alih-alih pemain yang paten dengan peran tertentu.
Awalnya, Ezra datang ke timnas junior sebagai penyerang murni. Namun, seiring berjalannya waktu, dia harus menjadi pemain serba bisa agar mendapatkan waktu bermain yang cukup di level klub.
Itulah yang kemudian dapat dirasakan oleh timnas senior saat ini. Kita bisa melihat Ezra memanfaatkan kualitas hasil didikan sepak bola yang benar dari akademi di Belanda untuk menambal lubang-lubang puzzle di timnas kita.
Saat melawan Myanmar, kita memang sudah mulai melihat timnas kita bisa mencetak gol. Tetapi, belum tentu itu akan terjadi di Piala AFF.
Mungkin, kita bisa berpesta gol di satu laga. Sisanya, kita harus berjuang keras, karena sebagian besar tim di AFF sudah mengalami perkembangan.
Minimal, secara kolektif. Indonesia pun begitu. Yang membuat kita mulai diperhitungkan sebenarnya bukan kualitas individu, melainkan kolektivitas.
Itulah yang nanti akan sangat menentukan perjalanan Indonesia di Piala AFF. Apakah mereka bisa tampil solid atau tidak.