Secara teknik, timnas era Bambang Pamungkas dkk memang lebih bagus. Tetapi, secara kengototan selama 90 menit, (maaf) tidak ada.
Itulah yang menjadi pertimbangan besar dari kinerja Shin Tae-yong dan timnas saat ini. Mereka memperlihatkan bagaimana seharusnya permainan timnas.
Memang, kekalahan masih dialami Indonesia, termasuk saat dikalahkan tim yang sebenarnya tidak nyenyak di negeri sendiri, yaitu Afghanistan. Kekalahan 0-1 di uji coba pertama Indonesia (16/11) masih menunjukkan kelemahan Indonesia.
Baca juga: Timnas Indonesia Kalah Beruntung dari Afghanistan
Salah satu kelemahannya adalah tidak mampu mengantisipasi aliran bola udara, baik saat 'permainan terbuka' maupun saat 'bola mati'. Pemandangan ini juga muncul saat laga melawan Myanmar (25/11).
Gol Myanmar terjadi karena kelemahan dalam koordinasi pertahanan tim Indonesia saat bola mati dan mengantisipasi bola udara. Sekilas, pemandangan ini seperti 'malam kelam Juventus di Stamford Bridge'.
Pertahanan tim yang bertahan cenderung hanya fokus pada posisi bola dan potensi arah datangnya bola. Mereka kurang mewaspadai ruang, yang artinya juga kurang mewaspadai keberadaan pemain-pemain yang berada di posisi tertentu, terutama di 'tiang jauh'.
Selain itu, kalau berdasarkan kata Bung Kusnaeni, pemain kita masih saling mengandalkan ketika bertahan. Itu yang seharusnya tidak terjadi. Siapa yang merasa paling dekat dengan bola, dialah yang harus menghajar bola itu duluan.
Kelemahan lain yang sebenarnya sedikit tertutupi adalah produktivitas. Saat melawan Afghanistan, Indonesia kesulitan mencetak gol meski banyak peluang yang mereka kreasikan.
Namun, saat melawan Myanmar, Indonesia bisa mencetak empat gol ke gawang Pyae Phyo Ayng. Ini sebuah perbaikan yang patut diapresiasi.
Hanya saja, sebenarnya, timnas kita tidak sepenuhnya lulus ujian di lini serang. Terutama di paruh akhir babak kedua. Mereka punya beberapa peluang, tetapi mereka tidak mampu memperbesar keunggulan.