Tim nasional Indonesia kembali melakoni laga uji coba untuk persiapan menuju Piala AFF 2020, Singapura. Kali ini, Evan Dimas dkk menghadapi salah satu rival di turnamen tersebut, yaitu Myanmar.
Timnas Myanmar juga menjalani pemusatan latihan di Turki seperti yang dilakukan skuad asuhan Shin Tae-yong. Pemilihan Turki sebagai tempat Training Centre (TC) bisa dikatakan tepat, karena wilayahnya tidak terlalu ke Eropa juga tidak terlalu Asia.
Dengan begitu, para pemain ditantang untuk bermain dengan kondisi yang berbeda dan di luar zona nyaman. Artinya, di sini ada nilai laten yang dikejar, yaitu mentalitas.
Keterampilan dan pemahaman taktik memang menjadi fokus utama para pemain di TC. Namun, dua hal itu akan berjalan terukur di atas lapangan kalau mentalitasnya juga bagus.
Faktor (masih) pandemi Covid-19 juga pada akhirnya menuntut para pesepakbola dewasa ini untuk bermain dalam sistem bubble (gelembung) dan karantina. Itu tidak hanya terjadi di level internasional atau timnas, tetapi juga di level klub.
Liga 1 musim 2021/22 adalah contohnya. Kompetisi ini tergelar dengan sistem gelembung yang kemudian disebut seri. Ada seri Jawa Barat, seri Jawa Tengah, hingga seri Bali.
Terlihat seperti balapan, namun ini terlihat cocok untuk membuat kompetisi berjalan kondusif, terutama dalam hal di luar konteks permainan. Kalau masih dalam konteks permainan, pembaca bisa melihat sendiri pemandangannya seperti apa.
Sistem gelembung di level klub ini membuat TC tim nasional berjalan lancar. Para pemain tidak mudah mengeluh terkait suasana, dan mereka terlihat antusias untuk mempelajari program yang dijalankan pelatih.
Sedikit-sedikit, hasilnya mulai terlihat. Walaupun, tentu, hasil yang diharapkan adalah di turnamen, yaitu menjuarai Piala AFF untuk pertama kali.
Apakah bisa?
Pertanyaan itu terasa berat untuk dijawab. Bahkan, bagi pengamat sepak bola Indonesia yang sudah sarat pengalaman, mereka mungkin akan lebih suka ditanya siapa yang akan menjuarai Liga Champions musim ini.
Itu dikarenakan, timnas Indonesia sudah beberapa kali nyaris juara dengan beragam prospeknya. Dan di sisi lain, terkadang timnas kita memang seharusnya belum saatnya juara. Loh, kenapa?
Ada kekhawatiran jika timnas sudah juara Piala AFF, maka sepak bola kita berhenti untuk menggelora. Memang, idealnya target timnas akan meningkat, yaitu menaikkan standar kompetitifnya di level Piala Asia. Tetapi, bagaimana kalau tidak begitu?
Kemudian, seperti yang sudah kita ketahui, bahwa timnas Indonesia belum kunjung juara meski sudah bongkar-pasang pelatih. Dari yang kualitas pelatihnya masih patut dipertanyakan sampai ke pelatih yang bisa dikatakan bagus untuk timnas Indonesia.
Salah satunya adalah Shin Tae-yong. Bahkan, pelatih ini levelnya sudah Piala Dunia. Dia mampu mengantarkan Timnas Korea Selatan berlaga di fase grup Piala Dunia 2018, Rusia.
Memang, langkah Korsel saat itu tidak sejauh Jepang yang berhasil menembus babak 16 besar dan merepotkan Belgia di fase tersebut. Jika pelatih timnas Jepang, Akira Nishino kemudian berlabuh ke Thailand, sedang Shin Tae-yong ke Indonesia.
Bedanya, Akira Nishino harus dipecat karena terlihat gagal mengalahkan Indonesia di pertemuan kedua fase grup pra-kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia. Sedangkan, Shin Tae-yong masih dipertahankan.
Tentu, ada alasan di balik Shin Tae-yong bertahan melatih Evan Dimas dkk sampai level U-19. Alasan itu adalah progresivitas timnas.
Timnas Indonesia di bawah asuhannya menjadi terlihat lebih berdaya juang tinggi. Secara teknik permainan, memang belum terlalu berkembang, tetapi secara keinginan untuk bertarung habis-habisan di lapangan sangat terlihat.
Ini yang membedakan "timnas-nya Shin Tae-yong" dengan "timnas-nya" pelatih-pelatih terdahulu. Bahkan, di masa kepelatihan (alm.) Alfred Riedl, timnas Indonesia tidak bisa menyerupai level kerja keras timnas saat ini.
Secara teknik, timnas era Bambang Pamungkas dkk memang lebih bagus. Tetapi, secara kengototan selama 90 menit, (maaf) tidak ada.
Itulah yang menjadi pertimbangan besar dari kinerja Shin Tae-yong dan timnas saat ini. Mereka memperlihatkan bagaimana seharusnya permainan timnas.
Memang, kekalahan masih dialami Indonesia, termasuk saat dikalahkan tim yang sebenarnya tidak nyenyak di negeri sendiri, yaitu Afghanistan. Kekalahan 0-1 di uji coba pertama Indonesia (16/11) masih menunjukkan kelemahan Indonesia.
Baca juga: Timnas Indonesia Kalah Beruntung dari Afghanistan
Salah satu kelemahannya adalah tidak mampu mengantisipasi aliran bola udara, baik saat 'permainan terbuka' maupun saat 'bola mati'. Pemandangan ini juga muncul saat laga melawan Myanmar (25/11).
Gol Myanmar terjadi karena kelemahan dalam koordinasi pertahanan tim Indonesia saat bola mati dan mengantisipasi bola udara. Sekilas, pemandangan ini seperti 'malam kelam Juventus di Stamford Bridge'.
Pertahanan tim yang bertahan cenderung hanya fokus pada posisi bola dan potensi arah datangnya bola. Mereka kurang mewaspadai ruang, yang artinya juga kurang mewaspadai keberadaan pemain-pemain yang berada di posisi tertentu, terutama di 'tiang jauh'.
Selain itu, kalau berdasarkan kata Bung Kusnaeni, pemain kita masih saling mengandalkan ketika bertahan. Itu yang seharusnya tidak terjadi. Siapa yang merasa paling dekat dengan bola, dialah yang harus menghajar bola itu duluan.
Kelemahan lain yang sebenarnya sedikit tertutupi adalah produktivitas. Saat melawan Afghanistan, Indonesia kesulitan mencetak gol meski banyak peluang yang mereka kreasikan.
Namun, saat melawan Myanmar, Indonesia bisa mencetak empat gol ke gawang Pyae Phyo Ayng. Ini sebuah perbaikan yang patut diapresiasi.
Hanya saja, sebenarnya, timnas kita tidak sepenuhnya lulus ujian di lini serang. Terutama di paruh akhir babak kedua. Mereka punya beberapa peluang, tetapi mereka tidak mampu memperbesar keunggulan.
Keberhasilan Indonesia mencetak empat gol, terutama pada tiga gol di babak pertama, sebagian besar dikarenakan lini pertahanan Myanmar masih karut-marut dalam mengantisipasi bola transisi. Mereka juga masih belum sepenuhnya waspada dengan pergerakan Irfan Jaya dan Witan Sulaeman.
Mereka cenderung mewaspadai Ezra Walian yang malah sering bergerak melebar dan membukakan ruang bagi Ricky Kambuaya, Irfan, dan Witan. Tiga nama ini yang kemudian mencetak gol untuk 'pasukan Garuda'.
Sebenarnya, itu bisa saja merupakan taktik Shin Tae-yong. Karena, Ezra di klub (Persib) juga sering bermain free-row. Bisa di sisi sayap, bisa juga di belakang penyerang utama.
Kalau tidak ada Marc Klok, tugas pembangun serangan bisa juga diemban Ezra. Inilah yang bisa dimanfaatkan Shin Tae-yong dan luput dari taktik Myanmar saat bertahan.
Di babak kedua, Ezra mulai berperan sebagai target-man. Di sinilah, Ezra mulai kembali kesulitan mencetak gol, selain gol dari eksekusi penalti.
Permasalahan Ezra kemudian menular ke Kushedya Yudo, yang masuk menggantikan Ezra. Minimal, Yudo punya dua peluang. Namun, dia masih kesulitan mengarahkan bola untuk tepat sasaran.
Itu bisa terjadi karena pemain kita masih cenderung gugup kalau mendapatkan tekanan dari lawan. Nyali predatornya masih kurang terasah, karena yang sering berada dalam situasi demikian adalah pemain asing di level klub.
Biasanya, yang malah mengambil peran sebagai pencetak gol adalah pemain-pemain yang sebenarnya berada di lini kedua, seperti Evan Dimas dan Ricky Kambuaya. Ini dikarenakan perkembangan sepak bola.
Sepak bola dewasa ini sudah menempatkan beban mencetak gol tidak hanya di lini depan, tetapi juga di lini tengah. Hanya saja, beban itu adalah bonus dan tujuannya sebagai pengejut bagi pertahanan lawan.
Artinya, yang memikul beban itu masih penyerang, bukan gelandang. Mereka adalah alternatif.
Apakah kemudian itu menjadikan para pemain Indonesia berlomba menjadi gelandang?
Kalau dilihat secara kasat mata, iya. Yudo, Dedik Setiawan, bahkan Ezra juga sebenarnya barisan penyerang tengah timnas yang merupakan penyerang kedua di level klub. Bahkan, Yudo sebenarnya tipikal winger, seperti Irfan, Witan, dan Egy Maulana Vikri.
Di timnas, Yudo (seperti) ingin diubah Shin Tae-yong menjadi false nine, seperti Pep Guardiola yang mengubah Ferran Torres di Manchester City. Padahal, di Valencia, dia adalah winger.
Perubahan ini sebenarnya untuk melatih naluri "membunuh" di pertahanan lawan. Tetapi, naluri bentukan dengan naluri alamiah terkadang bisa dibedakan.
Sekeras-kerasnya Shin Tae-yong membentuk naluri predator pada Yudo, peluangnya untuk menyamai Ilija Spasojevic masih sedikit. Tetapi, upaya Shin Tae-yong patut diapresiasi.
Bahkan, pemanggilan Ezra Walian juga sebenarnya patut diapresiasi. Karena, itu menunjukkan bahwa Shin Tae-yong lebih suka pemain versatile, alih-alih pemain yang paten dengan peran tertentu.
Awalnya, Ezra datang ke timnas junior sebagai penyerang murni. Namun, seiring berjalannya waktu, dia harus menjadi pemain serba bisa agar mendapatkan waktu bermain yang cukup di level klub.
Itulah yang kemudian dapat dirasakan oleh timnas senior saat ini. Kita bisa melihat Ezra memanfaatkan kualitas hasil didikan sepak bola yang benar dari akademi di Belanda untuk menambal lubang-lubang puzzle di timnas kita.
Saat melawan Myanmar, kita memang sudah mulai melihat timnas kita bisa mencetak gol. Tetapi, belum tentu itu akan terjadi di Piala AFF.
Mungkin, kita bisa berpesta gol di satu laga. Sisanya, kita harus berjuang keras, karena sebagian besar tim di AFF sudah mengalami perkembangan.
Minimal, secara kolektif. Indonesia pun begitu. Yang membuat kita mulai diperhitungkan sebenarnya bukan kualitas individu, melainkan kolektivitas.
Itulah yang nanti akan sangat menentukan perjalanan Indonesia di Piala AFF. Apakah mereka bisa tampil solid atau tidak.
Solid di sini tentu dalam bertahan maupun menyerang. Keseimbangan ini penting, meski sangat sulit, dan biasanya tidak akan melahirkan banyak gol.
Namun, target itu dulu yang sebaiknya dipenuhi. Kalau sudah, mungkin asa untuk menjadi juara Piala AFF lebih terbuka.
Harapannya begitu.
Baca juga: Harapan Sederhana yang Justru Berbuah Juara
Malang, 26 November 2021
Deddy Husein S.
***
Tersemat: Bola.net 1, 2, Manchestereveningnews.co.uk, CNNIndonesia.com.
Terkait: Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3.
Baca juga: Kunci Penting di Balik Timnas Indonesia ke Kualifikasi Piala Asia 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H