Uniknya, Arsenal masih mampu mendatangkan pemain matang seperti Thomas Partey saat mereka juga sebenarnya tidak kondusif finansialnya. Hal ini juga diperbesar oleh Chelsea yang bisa jor-joran dalam mendatangkan pemain baru, seperti duo Jerman; Timo Werner dan Kai Havertz.
Apakah hal itu akan terjadi kalau klub Premier League menerapkan 50+1?
Persentase jawaban terbesarnya adalah tidak. Kalaupun iya, hanya beberapa klub yang mampu melakukannya. Paling mentok adalah "The Big Six".
Atau, kalau kebijakan 50+1 sudah dijalankan sebelum era 2010-an, klub besar di Liga Inggris hanya ada tiga. Manchester United, Liverpool, dan Arsenal.
Chelsea masih perlu upaya besar untuk masuk. Namun, potensi dan mimpi besar seperti Manchester City dan Tottenham Hotspur akan sangat sulit untuk terwujudkan.
Ini seperti Bundesliga. Sesekali memang ada klub yang berhasil juara Bundesliga atau minimal DFB Pokal. Tetapi, standar tertinggi masih hanya dipegang oleh Bayern Munchen.
Borussia Dortmund? Masih akan kepayahan mengejar Die Roten. Apalagi klub lain, masih akan sering berangan-angan menyusul Bayern Munchen.
Praktik politik yang pertama adalah kekuasaan atas nama keinginan suporter. Memang, sepak bola tumbuh dari kelompok masyarakat bawah, tetapi apakah selamanya sepak bola dipaksa untuk sesuai standar masyarakat kelas bawah?
Ketika kelompok suporter mendominasi suara klub, apa saja yang berkaitan dengan klub dan liga adalah harga murah. Sedangkan, di sisi lain, suporter juga ingin ditunjang oleh kenyamanan dan kemajuan dalam segi fasilitas. Bukankah itu perlu adanya finansial?