Hal semacam itu wajar terjadi, karena tidak semua pemain mau seperti Francesco Totti. Bahkan, Gianluigi Buffon saja masih berupaya mengejar trofi Liga Champions sampai rekan-rekannya pensiun satu per satu.
Padahal, ia di level klub sebenarnya tidak sekering Harry Kane. Apalagi di level timnas, pencapaian Buffon masih jauh lebih prestisius dengan juara Piala Dunia 2006.
Tetapi, setiap pemain pasti punya target berbeda dan mereka selalu punya batas dalam menunggu pencapaian terbaiknya. Mereka juga ingin memenangkan sesuatu bersama, bukan hanya dirinya sendiri. Dan, itu butuh sebuah tatanan yang tepat di dalam klub yang menaunginya.
Jika melihat sekali lagi dengan Manchester United, mereka masih lebih baik. Mereka masih selalu punya potensi juara. Bahkan, meski mereka punya manajer yang berbeda dalam kurun waktu 5 musim terakhir.
Artinya, Man. United bersama Glazers tidak buruk banget. Cara menilainya saja yang bisa berbeda.
Untuk sekali juara lalu tenggelam, mungkin semua klub bisa melakukannya. Tetapi, untuk dapat mengukur potensi mengulangi hasil itu perlu kecermatan dan tentunya kesabaran.
Kalau tidak punya itu, habis. Menggebrak meja saja untuk membuat perhatian mengarah ke kita jelas gampang. Tetapi, membuat mereka untuk tetap melihat kita, itu yang tidak gampang.
Itulah yang sebenarnya dilakukan Glazers. Soal apakah cara mereka bagus atau tidak, siapa yang bisa mengukur standar pola kerja pebisnis?
Para motivator bisnis lintas sekolah/kampus saja masih punya standar kesuksesannya masing-masing. Apalagi, mereka yang sudah selevel pemilik klub sepak bola.
Artinya, kalau ingin membuat pemilik sebuah klub muhasabah (wawas diri), caranya bukan hanya dengan aksi protes ke klub yang bersangkutan. Tetapi, buatlah aliansi yang dapat menembuskan sebuah surat ketidakpuasan ke meja federasi.