Coba tengok beberapa toko kelontong, kedai, atau kios-kios tertentu, tidak jarang pemiliknya juga seorang Ketua RT atau malah Kepala Kelurahan/Desa. Artinya, mereka bisa terpandang karena ada persinggungan antara bisnis dan politik.
Hal ini juga berlaku untuk klub sepak bola. Kalau mereka ingin bertahan hingga berkembang pesat sebagai dan/atau menjadi klub besar, dua unsur itu harus diperhatikan.
Mereka sudah tidak sepenuhnya harus meladeni rasa cinta atau ketertarikan suporter saja. Karena itu bisa dan mudah muncul kalau ada kejayaan.
Coba dipikir, kenapa kelompok suporter Manchester United bisa tersebar hingga pelosok bumi?
KEJAYAAN.
Omong kosong kalau bukan karena itu, kecuali kalau orang-orang itu adalah masyarakat Manchester atau pernah tinggal di sana. Kalau tidak, apa yang bisa menjadi garansi orang menyukai mereka?
Kalau ada yang menjawab karena permainan. Permainan juga pada akhirnya akan merujuk pada kejayaan.
Ketika Arsenal sedang bagus-bagusnya, mereka juga berjaya. Ketika Jose Mourinho datang ke Chelsea dan mendemonstrasikan sepak bola anti-beauty football, mereka juga kemudian berjaya.
Kejayaan ini bisa datang karena ada pengaruh bisnis dan politik. Kedatangan pebisnis ulung seperti Roman Abramovich ke Chelsea, kemudian disusul pebisnis ulung dari Unit Emirat Arab (UEA) yang menguasai Manchester City.
Secara latar belakang, pemilik Man. City juga merupakan bagian dari kerajaan di negaranya, karena Khaldoon Al Mubarak adalah putra dari dubes UEA untuk Prancis. Artinya, ada pertautan antara bisnis dan politik (kuasa) untuk dapat mengembangkan sebuah klub menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Hal semacam ini sebenarnya juga berlaku di Manchester United, termasuk ketika ada Malcolm Glazer dan Glazers. Bahkan, Glazers sebenarnya masih menjadikan klub tersebut sebagai klub paling bagus hingga saat ini di Premier League.