Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Silakan klik tulisan yang berwarna biru di atas!
-*-
Mengenai aksi pendudukan stadion pada 2 Mei lalu, bisa saja, ada yang berupaya membuat aksi tersebut sangat menyinggung humanitas. Terutama tentang hak suara suporter di dalam tata kelola kehidupan klub.
Padahal, itu mungkin merupakan bentuk hiperbolis guna menutupi makna receh yang berkaitan dengan sentimentil terhadap tetangganya yang lagi-lagi berhasil mengangkat trofi EPL. Kalau memang begitu, rasanya menyedihkan.
Rasa yang menyedihkan itu kemudian membuat sepak bola seperti perlu kedatangan orang-orang dari luar bidang sepak bola untuk dapat berbuat sesuatu yang di luar perihal sepak bola. Mereka adalah kaum pebisnis.
Mereka bisa disebut sebagai para ahli dalam membuat rencana termasuk membuat risiko demi dapat memeroleh kumulasi benefit dari olahan risiko-risiko tersebut. Mereka juga biasanya mau berdarah-darah dan sudah berpengalaman untuk melakukannya demi mempertahankan bisnisnya, sekalipun terkadang ada fase merugi.
Jika dibandingkan dengan kelompok suporter, sudahkah rekan-rekan suporter merasa legawa untuk melihat klubnya kalah atau tidak juara di akhir musim? Jika dalam konteks itu saja masih sulit, bagaimana jika harus duduk sebagai bagian dari pemilik klub dan berkacamata bisnis?
Apakah mereka sudah sadar, bahwa dalam kehidupan klub pola dasarnya juga mirip dengan kehidupan keluarga? Keduanya itu mirip. Keduanya sama-sama butuh dua unsur penting yang hampir memengaruhi keseluruhan hidup, yaitu bisnis dan politik.
Sebuah keluarga bisa sejahtera sebagian besar bukan hanya karena menjadi pegawai, tapi juga menjadi pebisnis. Walaupun, tidak harus besar.
Sebuah keluarga juga akan dipandang penting dalam sebuah lingkungan kalau dia punya pengaruh. Entah, berawal dari keberhasilan bisnis, atau untuk memulai bisnis.