Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyebab Orang Asing Bisa Menjadi Orang Penting

8 Februari 2021   20:32 Diperbarui: 8 Februari 2021   21:06 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi WNA menjadi orang penting. Gambar: Pexels/August de Richelieu

Kasus WNA yang viral beberapa waktu lalu seperti menjadi bola salju. Efeknya, kita mulai menemukan banyak hal ganjil yang melibatkan keberadaan mereka di Indonesia.

Salah satunya dengan kabar viral terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) di sebuah daerah yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Merujuk pada kabar yang beredar, orang yang terlibat dalam Pilkada 2020 lalu ternyata masih merupakan warga negara asing (WNA). Itu yang membuat kita mulai dihadapkan pada dialektika terkait pejabat asing.

Saya menganggap ini adalah salah satu bukti nyata bahwa kita dalam seluruh elemen masih merasa inferior dibanding orang asing. Saya menyebut seluruh elemen, karena di jajaran perusahaan, pabrik, hingga olahraga pun kita masih menempatkan orang-orang asing berada di struktur yang penting.

Padahal, kita di luar negeri sekalipun ada yang menjadi figur penting di dalam struktur kerja suatu perusahaan, tetap saja yang paling dominan--secara kuantitas--adalah pekerja lapangan. Kita masih lebih sering direkrut sebagai bawahan dibanding sebagai atasan.

Menyedihkan, namun itu sepertinya konflik laten yang tidak bisa diubah dalam semalam. Perlu waktu dan kerja keras untuk mengubahnya.

Mengapa demikian?

Jangankan "menuduh" orang lain atau masyarakat Indonesia secara umum, saya sendiri juga masih sewaktu-waktu merasa inferior. Bahkan, sekalipun belum pernah berinteraksi atau bekerjasama dengan orang asing (WNA), saya masih memiliki pemikiran itu.

Hal ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor, yang kemudian saya rangkum menjadi 4 poin. Apa saja?

Poin pertama, tidak percaya diri. Sekalipun kita menganggap ini permasalahan klasik, namun kenyataannya ini adalah pondasi awal yang mampu menentukan seberapa kokoh mentalitas kita.

Sayangnya, ini akan semakin tereksploitasi ketika kita berinteraksi dengan orang-orang asing (WNA) yang sudah telanjur dicap 'lebih hebat' dibanding kita. Apakah itu masalah besar?

Bisa iya, bisa tidak. Stereotip orang asing (WNA) lebih hebat dibanding orang Indonesia bisa menjadi masalah besar jika tidak dirujuk pada fakta atau dengan pengamatan mata kepala kita.

Karena, tidak semua orang asing (WNA) adalah orang hebat. Mereka sebenarnya lebih tepat disebut berbeda. Artinya, orang-orang yang membawa atau mempunyai sesuatu yang berbeda.

Misalnya, kebiasaan. Mereka sudah biasa membuang sampah pada tempatnya, sedangkan kita masih menganggap sungai adalah tempat pembuangan sampah yang tepat.

Ilustrasi sampah yang terbuang di perairan. Gambar: Pexels/Lisa Fotios
Ilustrasi sampah yang terbuang di perairan. Gambar: Pexels/Lisa Fotios
Itu bukan karena mereka hebat. Kita saja yang dablek.

Namun, bukti itu juga bisa membuat kita mengakui bahwa mereka orang hebat. Artinya, mereka bisa melakukan hal yang mungkin kita anggap remeh, yang kemudian dapat mengembangkannya ke tindakan yang lebih besar.

Kita mungkin ingin terlihat hebat, tetapi untuk membuang sampah pada tempatnya saja belum istikamah. Bagaimana mau hebat?

Hal-hal yang mendasar--secara individual atau sosial--itu yang kemudian bisa membuat kita menjadi sering minim kepercayaan diri. Bahkan, tidak hanya dengan orang asing yang merupakan WNA, terhadap "orang asing" yang dari luar daerah juga bisa terjadi.

Poin kedua adalah menganggap orang asing lebih banyak pengetahuannya. Ini sebenarnya sama seperti di poin pertama, yaitu diakibatkan oleh perbedaan cara memandang atau memperlakukan suatu hal.

Beda asal, beda kebiasaan. Itu yang kemudian membentuk pengetahuan yang berbeda. Lalu, apakah itu membuat mereka (orang asing) lebih banyak pengetahuannya?

Belum tentu. Mereka juga pasti mempunyai kapasitas yang terbatas. Hanya saja, mereka mau mengeksplorasi keterbatasannya.

Contohnya adalah keberadaan kaum Belanda di Indonesia (Nusantara) di masa lampau. Apakah mereka datang dan menginvasi Indonesia dengan pengetahuannya terhadap Indonesia?

Bisa saja mereka belum tahu sepenuhnya tentang Indonesia. Namun, mereka sudah berani untuk datang dan membuktikan bagaimana rupa Indonesia (Nusantara). Itulah cara yang sering dilakukan orang asing, khususnya WNA.

Cara itu juga sebenarnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang berani merantau. Mereka biasanya mempunyai pengetahuan terbatas terkait "dunia luar", namun memiliki keberanian untuk membuktikan apa yang ada di luar kampungnya.

Lalu, mereka yang kemudian pulang, tidak jarang ditunjuk oleh para tetangga untuk menjadi pemimpin. Entah, menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), hingga Kepala Kelurahan/Desa (Lurah/Kades).

Ada kan Lurah, Pak RT, atau Pak RW yang dipilih karena faktor ini?

Berdasarkan pola itu, tidak mengherankan kalau kemudian kita juga memberlakukan orang asing (WNA) sedemikian rupa. Apalagi, kalau orang asing tersebut berhasil membaur dengan warga sekitar.

Luluh. Seperti hati si 'bunga komplek' yang akhirnya luluh setelah sering melihat si gebetan terus ngapelin ke rumah.

Poin ketiga, tidak bisa mengetahui mana yang bisa dilakukan tanpa orang asing. Orang asing ini bisa secara harfiah merujuk kepada WNA, juga bisa secara umum merujuk kepada orang dari luar lingkungan tersebut. Bisa beda kota, beda provinsi, hingga beda pulau.

Pada poin ini saya mencontohkan diri saya yang beberapa waktu lalu pernah dipercaya memegang proyek membuat sebuah pertunjukan seni di luar lingkungan saya. Saat itu, sedang ada penentuan orang-orang untuk terlibat di dalamnya.

Antara saya yang kurang percaya dengan kemampuan orang dalam, atau saya yang salah menginterpretasikan tentang kegiatan tersebut. Saya pikir, kegiatan itu bisa juga untuk mengakomodir hubungan antarkelompok, antara kelompok saya dengan kelompok lain.

Namun kemudian, saya diingatkan bahwa di dalam kelompok saya juga masih ada yang bisa didorong untuk terlibat langsung dalam pertunjukan tersebut. Jika orang dari dalam masih bisa melakukannya, mengapa harus melibatkan orang dari luar?

Lewat ilustrasi itu, saya berpikir bahwa dalam praktik di lingkungan sosial secara umum di Indonesia mungkin ada orang-orang yang sulit mengidentifikasi kadar penting-tidaknya orang asing untuk terlibat dalam suatu urusan. Bisa saja, masih banyak orang di Indonesia yang seperti saya saat itu.

Keempat, malas belajar dan mempelajari hal baru. Ini adalah poin yang sangat fatal dan mampu memperkuat pola pikir inferior bagi kita terhadap orang asing (WNA).

Kembali lagi, saya merujuk pada "keberhasilan" Belanda menginvasi Indonesia selama berabad-abad. Menurut saya, itu tidak lepas dari kemauan orang Belanda mempelajari orang-orang di Indonesia (Nusantara).

Mereka tentu mempelajari bagaimana pola hidup orang Nusantara dengan tipe kerajaan-kerajaan. Mereka mempelajari kekuatan dan kelemahannya. Lalu, dari sana mereka mencoba mengambil alih kekuasaan yang dimiliki kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Salah satu hasil dari koloni Belanda mempelajari karakteristik penduduk Nusantara saat itu. Gambar: via Bengkuluinteraktif.com
Salah satu hasil dari koloni Belanda mempelajari karakteristik penduduk Nusantara saat itu. Gambar: via Bengkuluinteraktif.com
Hal itu juga sama seperti kala Indonesia berhasil merdeka. Kita juga mempelajari karakteristik orang Belanda sampai kemudian tahu bagaimana cara melumpuhkan, mengalahkan, dan mengusirnya.

Kita juga belajar cara untuk membangun negara saat itu. Dari sana pula kita diingatkan tentang bagaimana cara untuk mempertahankan kedaulatan, yaitu belajar.

Orang asing bisa sampai erat dengan kita sudah pasti karena orang asing tersebut mempelajari kita. Kita seharusnya juga demikian.

Ilustrasi mempelajari tempat yang akan dikunjungi. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Ilustrasi mempelajari tempat yang akan dikunjungi. Gambar: Shutterstock via Kompas.com
Termasuk dalam hal memimpin atau mengelola suatu urusan yang seharusnya masih sangat bisa kita lakukan, jika kita mau mempelajarinya. Jika SDM kita masih ada yang mau belajar untuk memimpin dan mengelola suatu lingkup, mengapa harus mengambil orang asing?

Berdasarkan empat poin itu, saya menganggap semuanya saling terkait dalam membentuk mentalitas kita, khususnya dalam hal memilih pemimpin. Saya mengesampingkan tentang politik uang, karena saya pikir politik uang bisa tumbuh dan menjamur di Indonesia bukan hanya karena para pelaku politik praktis, melainkan masyarakat juga yang masih enggan mempelajari politik dan pemerintahan.

Coba, kalau masyarakat mempelajarinya dan didukung dengan sistem pemilihan (coblosan) yang efektif, alias birokrasi mengurus data calon pemilih cepat dan akurat, maka masyarakat akan melek politik. Masyarakat kemudian tanpa diiming-imingi amplop berisi selembar biru atau merah, sudah pasti tegerak untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Menurut saya, akar dari itu semua adalah empat poin itu, dan bisa ditambah faktor-faktor lain yang pembaca tahu. Empat poin itu juga tidak hanya ada dalam masyarakat lapisan bawah. Lapisan menengah hingga atas pun ada yang terjangkit dan sulit melepas pola tersebut dari pikirannya.

Buktinya, jajaran pemerintah masih mendatangkan tenaga kerja asing (TKA) yang kemudian mereka berada di struktur tinggi. Mengapa kita tidak mencoba mengirim orang-orang Indonesia terbaik di bidang tersebut ke luar negeri untuk belajar, lalu membawa ilmunya pulang?

Atau, dengan mendatangkan TKA, apakah kita bisa mempekerjakan mereka dengan sistem keuntungan minimal 50-50? Artinya, tidak ada yang saling menuntut. Kalaupun ada, tuntutannya bisa seimbang.

Secara teori, itu bisa terjadi. Tetapi, secara praktik mungkin itu sulit diwujudkan.

Bukti dari elemen lain yang mendukung pola inferior kita terhadap orang asing adalah di sepak bola. Minimal sejak 2000-an akhir sampai ke 2010-an akhir, kita bukannya makin hebat, tapi makin menurun akibat ketergantungan kepada pemain/pelatih asing di struktur sepak bola kita.

Padahal, kedatangan pemain asing dan pelatih asing kabarnya untuk "dicuri" pengetahuan dan pengalamannya. Namun, pada kenyataannya, kita tidak jarang mengharap mereka dinaturalisasi.

Jika mereka dinaturalisasi, sudah pasti pemain asli Indonesia makin sulit menembus skuad Timnas Indonesia. Bukankah itu sudah dapat dikatakan telah membentuk mentalitas inferior kita?

Pada struktur pemain, hanya kiper yang masih dikuasai pemain asli Indonesia. Gambar: Bola.com
Pada struktur pemain, hanya kiper yang masih dikuasai pemain asli Indonesia. Gambar: Bola.com
Itu contoh sederhana--karena bukan dari ranah pekerjaan umum--yang untungnya dapat kita lihat dengan jelas. Namun, contoh sederhana itu bisa menjadi gambaran kompleks untuk melihat, menilai, atau minimal menduga praktik yang sama di elemen-elemen lain.

Jadi, kalau ingin mengubah mentalitas negatif alias pola pikir inferior kita terhadap orang asing, maka saya sarankan untuk memperhatikan 4 poin tersebut. Siapa tahu, kita masih mengalaminya.

Saya pernah, dan mungkin tanpa sadar juga masih bisa mengalaminya. Entah, kapan dan di mana.

Semoga, kita bisa bergandengan tangan untuk mengubah mentalitas inferior kita bersama-sama. Semangat, Indonesia!

Malang, 8 Februari 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com, Kontan.co.id, Undip.ac.id, Bola.com.
Baca juga: 

Kisah Gumun dan Murah Senyum kepada WNA

Tiga Hal yang Bisa Terjadi pada WNA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun