Cara itu juga sebenarnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang berani merantau. Mereka biasanya mempunyai pengetahuan terbatas terkait "dunia luar", namun memiliki keberanian untuk membuktikan apa yang ada di luar kampungnya.
Lalu, mereka yang kemudian pulang, tidak jarang ditunjuk oleh para tetangga untuk menjadi pemimpin. Entah, menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), hingga Kepala Kelurahan/Desa (Lurah/Kades).
Ada kan Lurah, Pak RT, atau Pak RW yang dipilih karena faktor ini?
Berdasarkan pola itu, tidak mengherankan kalau kemudian kita juga memberlakukan orang asing (WNA) sedemikian rupa. Apalagi, kalau orang asing tersebut berhasil membaur dengan warga sekitar.
Luluh. Seperti hati si 'bunga komplek' yang akhirnya luluh setelah sering melihat si gebetan terus ngapelin ke rumah.
Poin ketiga, tidak bisa mengetahui mana yang bisa dilakukan tanpa orang asing. Orang asing ini bisa secara harfiah merujuk kepada WNA, juga bisa secara umum merujuk kepada orang dari luar lingkungan tersebut. Bisa beda kota, beda provinsi, hingga beda pulau.
Pada poin ini saya mencontohkan diri saya yang beberapa waktu lalu pernah dipercaya memegang proyek membuat sebuah pertunjukan seni di luar lingkungan saya. Saat itu, sedang ada penentuan orang-orang untuk terlibat di dalamnya.
Antara saya yang kurang percaya dengan kemampuan orang dalam, atau saya yang salah menginterpretasikan tentang kegiatan tersebut. Saya pikir, kegiatan itu bisa juga untuk mengakomodir hubungan antarkelompok, antara kelompok saya dengan kelompok lain.
Namun kemudian, saya diingatkan bahwa di dalam kelompok saya juga masih ada yang bisa didorong untuk terlibat langsung dalam pertunjukan tersebut. Jika orang dari dalam masih bisa melakukannya, mengapa harus melibatkan orang dari luar?
Lewat ilustrasi itu, saya berpikir bahwa dalam praktik di lingkungan sosial secara umum di Indonesia mungkin ada orang-orang yang sulit mengidentifikasi kadar penting-tidaknya orang asing untuk terlibat dalam suatu urusan. Bisa saja, masih banyak orang di Indonesia yang seperti saya saat itu.
Keempat, malas belajar dan mempelajari hal baru. Ini adalah poin yang sangat fatal dan mampu memperkuat pola pikir inferior bagi kita terhadap orang asing (WNA).