Begitu pula dalam hal bercerita tentang sepak bola. Ibu saya walau sangat mengedepankan manner, attitude, dan lifestyle, tetapi kalau dia melihat kehebatan pemain itu di lapangan, pasti akan mengatakan pemain itu hebat.
Hanya, dia pasti tidak akan menyukainya. Menariknya, setiap pemain yang dia sukai, rata-rata manner, lifestyle, dan attitude-nya bagus.
Seperti Totti, Bambas Pamungkang (maksudnya Bambang Pamungkas), juga Hendro Kartiko.
Tetapi, untuk pemain seperti David Beckham--dulu sewaktu muda di Man. United, tetap diakui bagus, walau dia tidak suka.
Hal ini kemudian bisa ditebak tentang bagaimana cara ibu saya menceritakan tentang Maradona. Dia mengakui nama besar Maradona.
Bahkan, di kepala saya dulu ada nama Maradona ketika ada kata bola--dan Argentina. Padahal, di usia yang masih kecil, bisa menyebut nama Marco van Basten, Gianfranco Zola, David James, atau Emmanuel Petit, itu sudah bagus.
Tetapi, begitulah anak-anak. Pasti lebih terobsesi dengan hal yang paling pertama diketahui, dibandingkan yang setelahnya.
Saat nama-nama itu mengisi 'kepala bola' saya, di waktu yang sama, kisah tentang Maradona di masa lalu dan masa yang sedang berjalan itu dapat saya ketahui.
Saya pun mengetahui bagaimana statistiknya ketika bersama klub dan timnas. Mengapa nama Maradona lebih identik dengan Argentina daripada Napoli, alih-alih Barcelona.