Cara agar hal ini terjadi adalah dimulai dari pengakuan suporter yang merusuh sebagai bagian dari pertanggungjawaban koordinator suporter. Artinya, mereka nantinya harus membina internalnya dengan baik. Jika ada pengakuan itu, maka pihak federasi juga punya hak untuk menghukum tegas tanpa kompromi.
Contoh hukuman paling menjerakan adalah membuat pertandingan tanpa suporter di kandang bagi klub-klub yang suporternya merusuh, selama semusim ataupun dua musim penuh. Jika hal ini terjadi, jelas, semua klub akan sangat ketat dalam berkoordinasi dan saling mengawasi antara klub dan suporternya agar tidak ada tindakan saling merugikan.
Tidak perlu adanya sanksi denda untuk dibayarkan ke PSSI atau PT. LIB sampai beratus-ratus juta hingga bermilyar-milyar rupiah. Cukup dengan tanpa penonton selama semusim atau lebih -karena ada korban nyawa melayang dan perusakan infrastruktur, maka klub itu pasti merugi. Suporter juga pasti rugi, kenapa?
Karena, suporter di Indonesia sebagian besar sangat fanatik terhadap klubnya. Jika melihat sanksi itu berlaku bagi mereka, maka mereka pasti akan kapok dengan kegagalan mereka mengawal klubnya untuk dapat bersaing di kompetisi.
Namun, kita juga perlu mengingat pula dengan kebiasaan kita yang dihukum malah melawan. Misalnya dengan demo di PSSI pusat ataupun ASPROV setempat.
Ini juga semakin menunjukkan bahwa kita tidak punya kapasitas untuk mengakui kesalahan secara gentle, melainkan berupaya mencari mencari pembenaran diantara bertumpuk permasalahan yang dihasilkan. Ironis, tapi itu bisa terjadi, lhoh!
Namun, hal ini akan terminimalisir jika dari atasnya terdapat upaya yang gentle. Berani bertanggungjawab, berani menanggung konsekuensi, serta bersedia belajar membangun jati diri baru. Hapuskan koalisi-koalisi suporter!
Tidak perlu lagi adanya "persahabatan" antara The Jakmania dengan Aremania, Bobotoh/Viking dengan Bonekmania, dan koalisi-koalisi suporter lainnya. Karena hal ini justru mencerminkan sikap lainnya dari suporter Indonesia, yaitu "pilih-pilih teman".
Padahal apa bedanya Bobotoh dengan The Jakmania? Apakah Persib dan Persija dominan di pentas domestik? Tidak. Persipura lebih tangguh secara prestasi di liga. Sriwijaya FC juga lebih tangguh di Copa Indonesia di masa lalu.
Begitu pula dengan Arema FC dan Persebaya. Mereka hanya sengit dan asyik sendiri di pentas tertentu, namun ketika di kompetisi semusim penuh, mereka juga seringkali berbeda nasib.
Ketika Arema FC berjaya, Persebaya angin-anginan, begitu pula sebaliknya. Lalu, dimanakah letak rivalitasnya berdasarkan sepak bola?