Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Persebaya Pantas Juara, namun Piala Gubernur Jatim 2020 Perlu Dikritik

20 Februari 2020   22:17 Diperbarui: 21 Februari 2020   08:00 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan juara Piala Gubernur Jatim 2020 (20/2) yang dimenangkan oleh Persebaya atas Persija dengan skor 4-1. Sumber gambar: Kompas.com/Suci Rahayu

Final ideal tersajikan di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, ketika Persebaya bertemu dengan Persija. Bukan tanpa alasan bahwa kedua klub tersebut berada di partai puncak. Karena keduanya memang lolos dari fase grup sebagai juara grup.

Persebaya menjadi juara grup A dengan mengalahkan Madura United (4-2) yang harus puas sebagai runner-up grup dan bertemu dengan Persija di semi final. Klub asal Pulau Madura itu kemudian gagal menyingkirkan Persija, karena kalah tipis 2-1 dari klub asal ibu kota tersebut.

Sedangkan Persebaya justru mampu menang dengan meyakinkan kala berjumpa dengan wakil Jatim lainnya, Arema FC (4-2). Meski klub asal Malang itu memiliki perubahan tim yang cukup signifikan, namun secara permainan mereka memang kalah tajam dibandingkan Persebaya.

Baca juga: Tidak Ada Piala Presiden, Piala Gubernur Jatim Pun Jadi

Diluar dari faktor teknis atau taktik permainan, Persebaya di partai final ternyata juga lebih beruntung daripada Persija. Selain karena bermain dengan lawan yang kehilangan 1 pemain, mereka secara psikologis sangat terbantu dengan venue yang menggelar partai tersebut.

Memang, ini adalah turnamen yang beratasnama Piala Gubernur Jatim, namun idealnya laga final itu dapat disaksikan secara netral oleh kubu suporter dari kedua belah pihak. Justru ketika final itu dapat dihadiri pula oleh suporter Persija, ini akan memberikan ujian terhadap tingkat kedewasaan suporter Persebaya -pasca kabar kerusuhan di semifinal- yang memang boleh untuk dominan di tribun.

Namun, seharusnya esensi final dapat diutamakan agar turnamen ini masih terlihat profesional. Jika para pemainnya tetap dapat bermain profesional -meski mereka juga tak bisa menghindari intrik-intrik dan tensi yang tinggi, seharusnya hal itu dapat ditunjukkan pula oleh pemain kedua belas (suporter) dari kedua klub tersebut di tribun.

Artinya, kita perlu bukti bahwa suporter sepak bola memang tidak bar-bar. Bukan justru melihat kehomogenan suporter di tribun saat final berlangsung. Sehebat-hebatnya para pemain Persija, mereka juga manusia biasa. Takut akan keselamatan, juga butuh adanya dukungan.

Ini yang seharusnya dimengerti pula oleh publik "tuan rumah". Kita perlu mengakui bahwa Persebaya di partai final ini seperti menjadi tuan rumah. Namun, tetap saja kita perlu melihat sportifitas mereka dan pembuktian mereka sebagai suporter yang anti kekerasan dan kerusuhan.

Pembuktian itu tidak dapat muncul begitu saja. Perlu adanya pihak yang mewadahi ajang itikad baik tersebut, yaitu panpel dan federasi. Pihak tim panpel dan federasi harus tetap berani membuat sebuah pertandingan final selayaknya final.

Mahmoud Eid membuat selebrasi | kompas.com
Mahmoud Eid membuat selebrasi | kompas.com
Ketika hukuman berupa denda dan perhelatan di tempat netral (semifinal Persebaya vs Arema FC) terbukti masih gagal menghindari bentrokan dan kerusuhan, bukan berarti panpel dan federasi takut untuk menggelar final sebagaimana seharusnya, meski mereka juga tetap boleh mengingat marwah dari turnamen tersebut sebagai turnamen yang digelar di Jatim.

Baca juga: Keributan Suporter Bola, Fanatisme atau Hobi?

Sebenarnya ada keanehan yang sangat besar ketika melihat turnamen pramusim seperti PGJ ternyata tidak ramah terhadap pendukung klub non Jatim, khususnya Persija. Meminimalisir kejadian di luar tanggung jawab panpel dan federasi dengan cara menghimbau suporter tamu seperti The Jakmania untuk tak hadir, justru menyiratkan ketidaksanggupan panpel dan federasi dalam menghadapi kerusuhan. Artinya kerusuhan suporter (seperti) ditakuti oleh mereka.

Selebrasi Marko Simic yang memang masih tajam di pentas sepak bola Indonesia. Sumber gambar: Okezone.com
Selebrasi Marko Simic yang memang masih tajam di pentas sepak bola Indonesia. Sumber gambar: Okezone.com
Laga final Piala Gubernur Jatim 2020 (20/2) sebenarnya menyiratkan hal itu. Memang tak ada kerusuhan, karena sudah jelas bahwa di tribun suporter semuanya adalah pendukung Persebaya. Terlepas dari itu turnamen Piala Gubernur Jatim, namun pemandangan tersebut telah menyiratkan bahwa panpel dan federasi masih tidak mampu menghadapi kerusuhan -hanya mencegah.

Kita seperti melihat ketakutan dalam menghalau kerusuhan. Padahal kerusuhan yang tidak dilawan, selamanya akan terwariskan secara gerilya di tubuh suporter.

Namun, bukankah PSSI sudah menghukum banyak klub di kompetisi musim lalu dengan melarang suporter menghadiri pertandingan seperti Persebaya, Arema, Persib, dan lainnya?

Benar! PSSI memang telah memberikan banyak hukuman, namun hukuman itu ternyata tak membuat pendukung klub-klub itu jera. Memang, para pelaku kerusuhan itu (selalu) disebut oknum, namun tetap saja, mereka (sebenarnya) bagian dari suporter, bukan?

Artinya, dari penamaan saja itu sudah menyiratkan bahwa kita cenderung tidak ingin merangkul mereka yang membuat kerusuhan sebagai bagian dari suporter tersebut. Padahal, jika kita merangkul para pelaku kerusuhan itu, maka kita akan dengan bijak dapat memberikan hukuman kepada mereka sebagai pihak internal.

Bisa saja hal itu sudah dilakukan, namun tindakan itu sepertinya tidak berbanding lurus dengan apa yang tersiar di media massa bahwa para pengurus atau pemimpin suporter seringkali mengatakan bahwa itu adalah oknum yang berbuat, bukan "mereka". Padahal, jika mereka berangkat dari titik yang sama dan tidak melakukan kerusuhan, pasti mereka akan disebut bagian dari kelompok tersebut.

Ini adalah gambaran bahwa kita cenderung tidak mau dianggap bersalah ketika orang yang berada di bagian kita -entah terdaftar atau tidak, cenderung tidak mau diurus. Model sikap ini juga diperparah dengan pola kerja panpel dan federasi.

Khusus soal sepak bola dan berada di dalam lapangan, memang peran kepolisian seharusnya tak dibebani terlalu berat. Biarkan para pengayom keamanan masyarakat itu bekerja secara pragmatis alias netral, dengan cara menerima jaminan bahwa pihak panpel dan federasi siap bertanggungjawab ketika ada apapun di segala sendi di perhelatan sepak bola nasional.

Contoh dari upaya pertanggungjawaban mereka dapat dimulai dari penyediaan tiket terhadap suporter tuan rumah. Di sini kita tetap dengan mengambil turnamen PGJ sebagai objeknya. Setelah laga semifinal di Stadion Soeprijadi Blitar menghadirkan kabar tak sedap, maka cara terbaik untuk membuat final PGJ tetaplah final milik kedua klub tersebut adalah dengan dua cara sebagai berikut:

Pertama, final tetap harus menghadirkan suporter dari kedua belah pihak; Persebaya dan Persija. Jika panpel dan federasi ingin meminimalisir adanya kerusuhan, maka tiket dapat dibatasi. Misalnya, tiket yang disediakan untuk Bonekmania adalah 5000 penonton, sedangkan untuk The Jakmania 2000-3000 penonton.

Sekilas terlihat tidak adil, namun dengan jumlah itu sudah dapat menggambarkan bagaimana final itu dapat berjalan sesuai dua sisi, final dan tajuk turnamen. Karena final, dua kelompok suporter berhak merayakannya. Karena turnamen ini dituanrumahi oleh Jawa Timur, maka masyarakat Jatim memiliki hak untuk merayakannya lebih besar dibandingkan tim tamu -terlepas dari siapa yang akan menang.

Penjualan tiket ini juga harus dibarengi dengan tidak adanya kebijakan penyediaan layar besar di luar stadion, baik untuk suporter tuan rumah dan tim tamu yang notabene adalah undangan. Dari sini, kita (mendadak) mulai sedikit mengingat tentang makna dari tamu dan undangan. Artinya kita perlu menjadi tuan rumah yang baik, bukan?

Di sinilah kita mulai sadar untuk bersikap sebagai manusia yang bernorma, bukan hanya menjadi suporter bola. Kita harus tetap mengingat bahwa kita adalah manusia dan orang Indonesia. Ini yang perlu ditekankan dengan cara yang sedemikian rupa, walau terlihat sangat berisiko.

Jika federasi dan panpel sangat tidak ingin berisiko, maka upayakan untuk tetap membuat nama final itu masih terbentang besar di turnamen tersebut. Caranya adalah dengan mengambil opsi kedua, menyediakan tiket terbatas untuk suporter tim tuan rumah -mis. tetap hanya 5000 suporter atau lebih sedikit- dan tidak mengijinkan suporter tim tamu untuk datang.

Hal ini juga tetap dibarengi dengan tidak adanya layar besar di luar stadion. Untuk apa? Karena, dengan cara itu, kita bisa mengajak suporter mulai benar-benar memahami bahwa sepak bola adalah milik semua orang Indonesia. Jika The Jakmania tak dapat merayakan final itu, Bonekmania juga tidak boleh leluasa merayakannya. Mengapa?

Karena kita harus berpikir sangat logis sebagai manusia, walau itu sangat menyedihkan untuk dipahami, yaitu kita adalah manusia yang identik dengan persaingan dan keinginan untuk membalas dendam. Ketika apa yang dirasakan Persija dan The Jakmania terjadi di PGJ 2020, ada kemungkinan Persebaya dan Bonekmania akan merasakan hal serupa di kemudian hari.

Pada akhirnya, kita akan selalu melihat masyarakat penggila bola saling memblokir hak untuk menikmati sepak bola karena sikap kedaerahan kita terlampau tinggi. Jika nanti ada turnamen Piala Gubernur Jateng, Jabar, DKI Jakarta, atau provinsi-provinsi lainnya yang ingin menjadi tuan rumah turnamen pramusim, maka apa yang sekarang terjadi di Sidoarjo diprediksi akan kembali terjadi di tempat lain.

Itu artinya, kita tidak akan menghentikan riak-riak kerusuhan, karena kita justru "mengalah" dengan cara seperti yang terlihat di final PGJ 2020. Ini adalah murni karena ketidakcakapan panpel dan federasi untuk menjamin kemampuan mereka untuk mengatasi dan mendidik suporter sepak bola.

Baca juga: Menelusuri Penyebab Kerusuhan Suporter Sepak bola

Mereka minim cara dan eksperimen, karena takut adanya risiko. Artinya lagi, mereka juga tidak sepenuhnya percaya dengan kemampuan koordinator suporter untuk dapat mengakomodir anggotanya untuk kondusif, sportif, dan tentunya dewasa.

Cara agar hal ini terjadi adalah dimulai dari pengakuan suporter yang merusuh sebagai bagian dari pertanggungjawaban koordinator suporter. Artinya, mereka nantinya harus membina internalnya dengan baik. Jika ada pengakuan itu, maka pihak federasi juga punya hak untuk menghukum tegas tanpa kompromi.

Contoh hukuman paling menjerakan adalah membuat pertandingan tanpa suporter di kandang bagi klub-klub yang suporternya merusuh, selama semusim ataupun dua musim penuh. Jika hal ini terjadi, jelas, semua klub akan sangat ketat dalam berkoordinasi dan saling mengawasi antara klub dan suporternya agar tidak ada tindakan saling merugikan.

Tidak perlu adanya sanksi denda untuk dibayarkan ke PSSI atau PT. LIB sampai beratus-ratus juta hingga bermilyar-milyar rupiah. Cukup dengan tanpa penonton selama semusim atau lebih -karena ada korban nyawa melayang dan perusakan infrastruktur, maka klub itu pasti merugi. Suporter juga pasti rugi, kenapa?

Karena, suporter di Indonesia sebagian besar sangat fanatik terhadap klubnya. Jika melihat sanksi itu berlaku bagi mereka, maka mereka pasti akan kapok dengan kegagalan mereka mengawal klubnya untuk dapat bersaing di kompetisi.

Namun, kita juga perlu mengingat pula dengan kebiasaan kita yang dihukum malah melawan. Misalnya dengan demo di PSSI pusat ataupun ASPROV setempat.

Ini juga semakin menunjukkan bahwa kita tidak punya kapasitas untuk mengakui kesalahan secara gentle, melainkan berupaya mencari mencari pembenaran diantara bertumpuk permasalahan yang dihasilkan. Ironis, tapi itu bisa terjadi, lhoh!

Namun, hal ini akan terminimalisir jika dari atasnya terdapat upaya yang gentle. Berani bertanggungjawab, berani menanggung konsekuensi, serta bersedia belajar membangun jati diri baru. Hapuskan koalisi-koalisi suporter!

Tidak perlu lagi adanya "persahabatan" antara The Jakmania dengan Aremania, Bobotoh/Viking dengan Bonekmania, dan koalisi-koalisi suporter lainnya. Karena hal ini justru mencerminkan sikap lainnya dari suporter Indonesia, yaitu "pilih-pilih teman".

Padahal apa bedanya Bobotoh dengan The Jakmania? Apakah Persib dan Persija dominan di pentas domestik? Tidak. Persipura lebih tangguh secara prestasi di liga. Sriwijaya FC juga lebih tangguh di Copa Indonesia di masa lalu.

Begitu pula dengan Arema FC dan Persebaya. Mereka hanya sengit dan asyik sendiri di pentas tertentu, namun ketika di kompetisi semusim penuh, mereka juga seringkali berbeda nasib.

Ketika Arema FC berjaya, Persebaya angin-anginan, begitu pula sebaliknya. Lalu, dimanakah letak rivalitasnya berdasarkan sepak bola?

Apakah kita ingin meniru rivalitas Interisti, Milanisti, Romanisti, dan Juventini? Untuk apa? Apakah juga ingin meniru rivalitas berdasarkan El Clasico?

Tentu sangat tidak masuk akal. Karena El Clasico penuh faktor yang melandasi gengsi antara Real Madrid dan Barcelona. Baik secara faktor teknis (urusan prestasi sepak bola) dan non-teknis (pemerintahan), keduanya memang pantas saling bergesekan. Sedangkan kita?

Lihat saja gubernur DKI Jakarta bergoyang Tik Tok bersama gubernur Jateng dan Jabar di panggung Mata Najwa. Artinya, di negara kita tidak ada rivalitas sepak bola yang didasari dari sektor non-teknis. Apalagi prestasi.


Semua klub di Indonesia nyaris sama rata. Bahkan, jika benar adanya praktik "bagi-bagi kue" di kompetisi Indonesia, maka buat apa membentuk rivalitas?

Ataukah karena faktor tensi permainan di atas lapangan?

Hal ini juga seharusnya tidak perlu dijadikan alasan. Karena, mereka yang berjibaku di atas lapangan biasanya hanya "berperang" selama 90 menit. Jikalau mereka tetap bersentimentil, biarkan mereka yang menyelesaikan permasalahan itu, bukan kita.

Di luar negeri pun, para pemain yang di atas lapangan saling mencederai, pada akhirnya juga saling meminta maaf dan memaafkan di luar lapangan. Jadi untuk apa kita juga terbawa sentimentil yang sepenuhnya tidak "melukai" kita?

Apakah kemudian rivalitas itu juga karena ingin "meneruskan" sejarah masa lalu? Buat apa? Bukankah para pendukung masa kini lahir bersama kemajuan teknologi dan intelijensi yang berbeda dengan generasi masa lalu?

Seharusnya dengan realitas itu, kita memiliki pemikiran yang berbeda. Terlepas dari faktor status sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, kita seharusnya sudah saling memahami bahwa sepak bola adalah milik semua orang. Kita berhak menonton pertandingan apapun, karena kita sama-sama menyukai sepak bola tersebut.

Generasi saat ini harus berani melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh generasi sebelumnya. Bahkan, jika ditarik mundur jauh ke belakang, generasi di masa lalu tidak terdapat praktik kerusuhan suporter seperti sekarang. Karena, mereka saat itu berpikir bahwa sepak bola salah satu media yang menyatukan Indonesia, bukan sebaliknya.

Mengapa hal ini justru tidak terjadi di masa sekarang?

Pertanyaan itu tidak bisa sepenuhnya dijawab sendiri oleh kaum suporter. Pihak federasi juga perlu ambil bagian dalam hal bertanggungjawab terhadap kenakalan suporter Indonesia.

Janganlah hanya berpikir tentang bagaimana cara menghindari kerusuhan, namun bagaimana cara menghadapi kerusuhan. Jika pada akhirnya sepak bola di Indonesia dipenuhi kerusuhan, maka hadapilah kerusuhan itu.

Hajar dengan hukum yang tegas dan logis. Jika kemudian dikeroyok suporter ataupun yang disebut oknum suporter, hadapilah dengan pembeberan data dan fakta atas apa yang melandasi mereka untuk harus membuat keputusan besar itu.

Jangan pernah main sembunyi-sembunyi di era digital semacam ini! Manchester City saja dapat diluluhlantakkan oleh seorang hacker, bukan?

Jika tidak ingin berisiko terhadap pengelolaan uang-uang hasil denda tersebut, maka buatlah kebijakan yang benar-benar tanpa denda namun sangat kejam. Seperti apa yang sudah terungkap di atas. Menghukum klub dengan pertandingan tanpa penonton selama semusim penuh itu sudah sangat merugikan bagi klub dan suporter.

Jadi, bagaimana PSSI? Apakah kita akan bermain aman namun tak pernah dapat meruntuhkan penyakit kerusuhan di suporter sepak bola Indonesia, atau sebaliknya? Tegas namun sangat menyakitkan.

Selamat menggilai sepak bola dengan rasionalitas tinggi!

Selamat Persebaya dan selamat Jawa Timur yang dapat berpesta! Semoga pesta itu adalah milik Indonesia juga.

Malang, 20-02-2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:
Kompas.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun