Namun, feeling ini juga akan sulit tertebak akurasinya ketika pertandingan belum berjalan -minimal 20 atau 45 menit telah berlangsung. Sehingga, faktor ini seringkali dijauhkan dalam proses pengamatan secara profesional, apalagi di televisi.
Beliau salah satu pengamat atau juga dapat disebut komentator bola yang senior di Indonesia. Sehingga, faktor pengalamannya tersebut membuatnya lebih luwes ketika menempatkan argumentasi-argumentasinya ke pertandingan-pertandingan, baik dari segi subjektivitas maupun objektivitas.
Lalu, apakah dengan penjabaran yang sedemikian rupa akan membuat Anda masih berpikir bahwa para pengamat bola adalah orang-orang yang sok pintar daripada mereka yang berkeringat di lapangan?
Jika jawabannya masih iya, berarti Anda harus belajar untuk menjadi pengamat agar dapat merasakan bagaimana caranya menjadi pengamat. Begitu pula jika jawaban Anda adalah "alangkah lebih indah jika mereka yang berkomentar tentang sepak bola hanya disebut sebagai penikmat bola", maka Anda belum pernah bertemu dengan banyak orang yang menyatakan diri sebagai penikmat bola namun tidak mampu menjabarkan bagaimana tim yang bermain tersebut meraih kemenangan ataupun kekalahan dengan argumentasi yang baik, meski belum tentu benar.
Jadi, masihkah pengamat bola itu sok pintar?
Malang, 2-1-2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H