Setuju atau tidak dengan ungkapan bahwa pengamat itu sok pintar? Apapun jenis pengamatnya, entah pengamat sosial, pertanian, ekonomi, film, musik, teater, hingga sepak bola.Â
Jika jawabannya iya, berarti Anda salah satu orang yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran pengamat. Tapi, ini adalah penilaian pribadi penulis. Sedangkan jika jawabannya tidak, berarti Anda salah satu dari orang-orang yang masih kritis terhadap siapapun, termasuk dengan orang-orang yang berlabel pengamat.Â
Benar, bahwa mereka juga tidak ada salahnya melakukan itu (menjadi pengamat) dan tidak ada salahnya juga jika mereka terlihat sok pintar. Mengapa?
Karena, beberapa di antara mereka tidak secara serta-merta mengungkapkan hasil dari pengamatannya terhadap objek yang diamati. Misalnya, Anda menemukan seorang pengamat musik yang membahas rekam jejak musik pop di Indonesia.
Biasanya, pengamat tersebut akan mengungkap data dan fakta tentang musik pop dari tahun ke tahun dengan bukti-bukti konkrit. Jika hal itu terjadi, maka si pengamat juga melakukan proses melihat (langsung dan tidak langsung), mengamati (melihat sekitarnya), dan menganalisis (ada metode dan kumpulan data). Tiga hal yang tidak mudah, loh!
Pola ini juga dilakukan para pengamat sepak bola. Oya, perlu diingat pula, bahwa biasanya seseorang yang mendedikasikan dirinya sebagai pengamat (apapun itu) adalah orang-orang yang sudah menggandrungi bidang tersebut dalam waktu yang cukup/sangat lama. Rentang waktu itu juga akan berpengaruh pada pola dalam menyampaikan hasil pengamatannya.
Di ranah sepak bola, orang-orang yang dapat menjadi pengamat tersebut biasanya berangkat dari perannya sebagai penggemar hingga pelaku sepak bola secara langsung (eks pemain atau pelatih), hingga bisa juga dikarenakan pengalamannya sebagai jurnalis bola ataupun pembawa siaran pertandingan sepak bola.
Lalu, apakah ada cara untuk melihat bagaimana pengamat itu belajar dari objek yang diamati alias tidak asal mengeluarkan statement?
Anda perlu melihat bagaimana si pengamat mengungkap pendapatnya terhadap objeknya. Semakin detil dan terukur pola penyampaian analisisnya, maka semakin jelas bahwa dirinya menjadikan bidang pengamatannya juga sebagai sasaran belajarnya secara serius dan berkelanjutan.
Itulah mengapa, jika Anda masih melihat dan menduga bahwa para pengamat -ada yang- sok pintar, itu karena Anda juga masih belum melihat secara jeli cara untuk menilai karakteristik para pengamat.
Menjadi pengamat itu repot, loh! Apalagi jika Anda ingin selalu terlihat excellent dalam menyampaikan gagasan terhadap objek yang diamati. Misalnya sebagai pengamat sepak bola, Anda harus mengomentari kekalahan Tottenham Hotspur dari Southampton kemarin (1/1), maka yang dilakukan untuk dapat menganalisis hasil pertandingan tidak hanya dengan melihat pertandingan itu saja.
Anda harus melihat pula rekam jejak Spurs, Southampton, kedua pelatihnya, para pemain yang diturunkan saat itu, formasi, hingga di mana tempat bermainnya. Belum lagi faktor recovery yang juga dapat membuat permainan dapat naik-turun. Artinya, banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika ingin mengungkap "hanya" sebuah pertandingan.
Itu pun tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan analisis. Karena, ada satu faktor yang biasanya mempengaruhi akurasi analisis. Yaitu, subjektivitas. Ada beberapa pengamat sepak bola yang cenderung subjektif atau membesarkan sentimennya terhadap klub-klub tertentu, pelatih-pelatih tertentu, hingga filosofi-filosofi tertentu. Namun, itu wajar.
Karena, di ranah ilmiah pun, banyak para ilmuwan/cendekiawan yang juga memiliki sisi subjektivitas ataupun sentimentil terhadap sesamanya. Sehingga, faktor ini yang biasanya menjadi titik lemah yang kemudian juga perlu dimaklumi. Meski secara pribadi, penulis merasa bahwa faktor tersebut akan membuat si pengamat lambat-laun segera tersingkirkan dari meja pengamat profesional.
Sebut saja Yusuf Kurniawan (Bung Yuke) dan Maruf El Rumi. Keduanya cukup objektif meski itu juga membuat argumentasi mereka terkadang kurang memuaskan bagi penggemar bola yang terlewat fanatik terhadap klub yang digemari.
Argumentasi mereka juga terkadang dapat berubah dari yang awalnya memuji menjadi mengkritisi. Namun yang dilakukan itu tepat, karena itulah yang seharusnya dilakukan pengamat profesional. Mereka tidak dapat terus-menerus "mengagumi" satu bentuk permainan saja.
Namun, ada pengamat-pengamat yang terkadang subjektif namun benar. Seperti Binder Singh dan Justinus Lhaksana. Keduanya cukup subjektif, namun tepat. Artinya, apa yang mereka katakan rata-rata melalui faktor nonteknis. Salah satunya melalui feeling.
Ketika feeling yang berkata, maka itu akan menjadi suatu kebenaran -dan keberuntungan, meski tidak terekam data. Di bagian ini, penulis juga (terkadang) menyetujui argumentasi-argumentasi mereka, karena penulis juga biasanya mengalami itu ketika sedang menonton siaran pertandingan.
Ada kalanya feeling (penulis) yang memprediksi bahwa tim inilah yang bakal menang dan itu biasanya terjadi. Landasan ini juga terasa lebih akurat untuk memprediksi hasil akhir daripada hitung-hitungan data statistik (riwayat pertemuan dan lainnya) yang terkadang terlihat abai terhadap fakta yang aktual di lapangan.
Namun, feeling ini juga akan sulit tertebak akurasinya ketika pertandingan belum berjalan -minimal 20 atau 45 menit telah berlangsung. Sehingga, faktor ini seringkali dijauhkan dalam proses pengamatan secara profesional, apalagi di televisi.
Beliau salah satu pengamat atau juga dapat disebut komentator bola yang senior di Indonesia. Sehingga, faktor pengalamannya tersebut membuatnya lebih luwes ketika menempatkan argumentasi-argumentasinya ke pertandingan-pertandingan, baik dari segi subjektivitas maupun objektivitas.
Lalu, apakah dengan penjabaran yang sedemikian rupa akan membuat Anda masih berpikir bahwa para pengamat bola adalah orang-orang yang sok pintar daripada mereka yang berkeringat di lapangan?
Jika jawabannya masih iya, berarti Anda harus belajar untuk menjadi pengamat agar dapat merasakan bagaimana caranya menjadi pengamat. Begitu pula jika jawaban Anda adalah "alangkah lebih indah jika mereka yang berkomentar tentang sepak bola hanya disebut sebagai penikmat bola", maka Anda belum pernah bertemu dengan banyak orang yang menyatakan diri sebagai penikmat bola namun tidak mampu menjabarkan bagaimana tim yang bermain tersebut meraih kemenangan ataupun kekalahan dengan argumentasi yang baik, meski belum tentu benar.
Jadi, masihkah pengamat bola itu sok pintar?
Malang, 2-1-2020
Deddy Husein S.