Itulah mengapa, jika Anda masih melihat dan menduga bahwa para pengamat -ada yang- sok pintar, itu karena Anda juga masih belum melihat secara jeli cara untuk menilai karakteristik para pengamat.
Menjadi pengamat itu repot, loh! Apalagi jika Anda ingin selalu terlihat excellent dalam menyampaikan gagasan terhadap objek yang diamati. Misalnya sebagai pengamat sepak bola, Anda harus mengomentari kekalahan Tottenham Hotspur dari Southampton kemarin (1/1), maka yang dilakukan untuk dapat menganalisis hasil pertandingan tidak hanya dengan melihat pertandingan itu saja.
Anda harus melihat pula rekam jejak Spurs, Southampton, kedua pelatihnya, para pemain yang diturunkan saat itu, formasi, hingga di mana tempat bermainnya. Belum lagi faktor recovery yang juga dapat membuat permainan dapat naik-turun. Artinya, banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika ingin mengungkap "hanya" sebuah pertandingan.
Itu pun tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan analisis. Karena, ada satu faktor yang biasanya mempengaruhi akurasi analisis. Yaitu, subjektivitas. Ada beberapa pengamat sepak bola yang cenderung subjektif atau membesarkan sentimennya terhadap klub-klub tertentu, pelatih-pelatih tertentu, hingga filosofi-filosofi tertentu. Namun, itu wajar.
Karena, di ranah ilmiah pun, banyak para ilmuwan/cendekiawan yang juga memiliki sisi subjektivitas ataupun sentimentil terhadap sesamanya. Sehingga, faktor ini yang biasanya menjadi titik lemah yang kemudian juga perlu dimaklumi. Meski secara pribadi, penulis merasa bahwa faktor tersebut akan membuat si pengamat lambat-laun segera tersingkirkan dari meja pengamat profesional.
Sebut saja Yusuf Kurniawan (Bung Yuke) dan Maruf El Rumi. Keduanya cukup objektif meski itu juga membuat argumentasi mereka terkadang kurang memuaskan bagi penggemar bola yang terlewat fanatik terhadap klub yang digemari.
Argumentasi mereka juga terkadang dapat berubah dari yang awalnya memuji menjadi mengkritisi. Namun yang dilakukan itu tepat, karena itulah yang seharusnya dilakukan pengamat profesional. Mereka tidak dapat terus-menerus "mengagumi" satu bentuk permainan saja.
Namun, ada pengamat-pengamat yang terkadang subjektif namun benar. Seperti Binder Singh dan Justinus Lhaksana. Keduanya cukup subjektif, namun tepat. Artinya, apa yang mereka katakan rata-rata melalui faktor nonteknis. Salah satunya melalui feeling.
Ketika feeling yang berkata, maka itu akan menjadi suatu kebenaran -dan keberuntungan, meski tidak terekam data. Di bagian ini, penulis juga (terkadang) menyetujui argumentasi-argumentasi mereka, karena penulis juga biasanya mengalami itu ketika sedang menonton siaran pertandingan.
Ada kalanya feeling (penulis) yang memprediksi bahwa tim inilah yang bakal menang dan itu biasanya terjadi. Landasan ini juga terasa lebih akurat untuk memprediksi hasil akhir daripada hitung-hitungan data statistik (riwayat pertemuan dan lainnya) yang terkadang terlihat abai terhadap fakta yang aktual di lapangan.