Tulisan ini baru dapat dihadirkan penulis, karena, penulis tidak ingin terlalu terjebak pada satu sisi saja. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penulis adalah orang keturunan dari dua suku dan ras yang berbeda. Kedua, karena penulis sudah lama tinggal di Jawa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Jawa adalah tempat utama dan harapan bagi masyarakat untuk dapat dijadikan sebagai "destinasi hidup". Tidak sedikit, orang-orang dari luar Jawa ingin tinggal di Jawa dan menetap di Jawa. Hal ini dikarenakan Jawa adalah pulau yang sama dengan keberadaan ibukotanya (Jakarta).
Karena dekat dengat pusat pemerintahan itulah, Jawa dapat difavoritkan untuk dapat dituju oleh orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia khususnya dari luar pulau.Â
Mereka tidak hanya ingin mencari peruntungan dalam hal ekonomi, namun juga dalam hal pengetahuan melalui sarana pendidikan yang cepat maju dibandingkan daerah (pulau) lain.
Selain itu, mencari jodoh orang Jawa juga akan cukup mempermudah orang-orang dari luar Jawa untuk dapat menetap di Jawa dan hidup lebih makmur.Â
Harapan semacam ini cukup logis karena, lagi-lagi Jawa adalah tempat yang tidak jauh dari pusat pemerintahan. Ini yang membuat banyak orang berkeinginan tinggal di Jawa.
Namun, keberadaan masyarakat dari luar pulau yang kemudian dapat diidentifikasi melalui perbedaan ras, suku, bahasa & budaya, dan agama (RSBA) membuat kenyamanannya juga 50-50. Ada yang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Ada pula yang perlu proses hingga juga tak menutup kemungkinan terjadi konflik
Sebenarnya, Indonesia tidak hanya sekarang menghadapi problematika seperti ini. Insiden di Maluku, Kalimantan, dan lainnya sebenarnya juga tak jauh-jauh dari masalah yang terjadi antara pendatang dengan "pribumi" dan itu tidak lepas juga karena identitas (RSBA). Mereka yang merasa menjadi penduduk asli tempat itu akan berusaha mematenkan haknya sebagai pelindung daerah dan budaya.
Baca juga: Parah, Rasis Amerika terhadap Warga Asia
Sedangkan bagi pendatang, mereka tidak hanya mencoba beradaptasi, namun juga berupaya menularkan apa yang dia bawa dari asalnya. Buktinya (salah satunya) seperti budaya dan bahasa Jawa yang dapat dikenal banyak orang, bahkan oleh masyarakat non-Jawa.
Karena, tidak sedikit orang Jawa juga melakukan transmigrasi ke luar pulau dan kemudian mampu membentuk tatanan baru di daerah-daerah tersebut. Seperti di beberapa daerah di Pulau Kalimantan, Maluku, Papua, Sumatera (Lampung) dan lain-lain yang terdapat masyarakat transmigran Jawa.
Pengaruh kehidupan orang Jawa ini juga dapat dipelajari oleh masyarakat yang bukan orang Jawa. Bisa disebabkan dari cara mereka datang ke Jawa ataupun dengan cara mereka mengikuti perkembangan kehidupan orang Jawa yang terekspos di televisi (dulu) ataupun media sosial (sekarang).
Dari faktor di atas (transmigrasi orang Jawa ke luar Jawa dan orang luar Jawa ke Jawa), maka Indonesia tidak akan pernah sepenuhnya dapat menghindari konflik yang didasari pada perbedaan, khususnya yang menyangkut RSBA. Meski tidak dipungkiri juga bahwa konflik yang dapat timbul ke permukaan itu adalah konflik kepentingan antar pihak tertentu (organisasi/komunitas).
Konflik atas dasar kepentingan terselubung inilah yang sebenarnya membuat pergesekan akan menjadi lebih pelik. Karena, mereka yang terlibat akan lebih mengutamakan ego keberhasilan dalam menjatuhkan pihak lain dibandingkan menyelamatkan harga diri.Â
Harga diri tidak harus berupaya teriakan merdeka untuk dirinya sendiri namun harga diri dapat ditunjukkan dengan keberhasilan dalam melakukan beberapa hal seperti berikut:
Pertama, sebagai orang pendatang, hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengamatan. Proses ini dapat dilakukan dengan interaksi langsung (muncul praktik komunikasi dua arah) ataupun dengan hanya ikut di kegiatan-kegiatan terbuka tanpa harus menjadi pihak yang "terlihat". Dari proses pengamatan inilah, kita yang bukan orang "pribumi" akan memperoleh bekal untuk beradaptasi.
Kedua, tidak terpaku pada komunitas ataupun orang-orang yang satu daerah asal. Contohnya adalah mengikuti orda ketika menjadi mahasiswa. Memang, cukup wajar bagi para pendatang (termasuk mahasiswa) ingin berada di tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang "sama". Namun, berada di lingkaran ini hanya akan membuat perpindahan kita ke tempat baru menjadi cukup sia-sia.
Karena, dengan berada di dekat orang-orang yang sama dengan kita akan membuat kita tetap berada di zona nyaman. Kita tidak akan memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri maupun membuat tempat yang baru menjadi sedikit sesuai dengan keinginan kita. Kita juga tidak akan terlatih untuk menghadapi perbedaan, karena kita hanya berpindah tempat saja tanpa diiringi dengan proses membuka mindset.
Padahal praktik transmigrasi (kelompok) ataupun perpindahan perorangan itu juga diperlukan untuk melatih diri dengan menerima dan memperkenalkan perbedaan.Â
Apabila kita hanya berpindah untuk kembali berada di lingkungan yang nyaris sama dengan asal kita -dengan keberadaan tetangga" dari daerah yang sama- itu menjadi suatu kesia-siaan.
Cara ketiga adalah tidak banyak bertingkah (negatif). Sebenarnya ini dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Namun, ketika kita sudah berada di zona nyaman bersama kelompok kita yang sama (sebagai pendatang) akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan ketika sendiri (terpisah dari kelompok/komunitas sedaerah).
Jika kepercayaan diri ini dijadikan sebagai sebab untuk berbuat onar, maka yang terjadi adalah perseteruan. Perseteruan yang ditunggangi perbedaan identitas (RSBA) itulah yang kemudian dapat merujuk pada tindakan rasisme. Hal ini sama seperti ketika kita nakal di sekolah/kampung bermain, lalu yang menjadi bahan olok-olok adalah orangtua kita.
Begitu pula ketika kita menjadi pendatang dan berbuat onar, juga akan diolok-olok berdasarkan asal-muasal. Hal ini juga akan diperparah dengan perbedaan ras yang dapat menimbulkan rasisme.
Cara keempat, tidak membalas pelecehan (diskriminasi) ataupun rasisme dengan tindakan yang lebih menyakiti banyak pihak (secara general). Biasanya, rasisme itu lebih banyak dialami perorangan dibandingkan per kelompok. Kalaupun per kelompok, biasanya akan menghitung jumlahnya alias banyak-banyakan orangnya yang terlibat.
Karena, tidak banyak orang yang berani nekad mengolok-olok orang lain ketika jumlah orang lain lebih banyak. Artinya, orang yang melakukan rasisme itu adalah pecundang, sehingga tidak mungkin berani melakukannya ketika dirinya tidak memiliki "back-up" kuat di belakangnya.
Maka karena itu, bagi korban rasisme, alangkah-baiknya tidak membalasnya dengan tindakan lain ataupun tindakan yang lebih parah. Tindakan rasisme memang merupakan tindakan yang kejam. Karena, tindakan tersebut menyangkut pada harkat-martabat manusia. Sehingga membalas tindakan rasisme juga tidak seratus persen salah, namun tetaplah harus diperhatikan konteks dan konsekuensinya.
Jika merujuk pada pengalaman pribadi penulis, penulis yang hampir "kekenyangan" sebagai korban rasisme sejak kecil, akan memilih jalur yang lebih elegan ketika harus menghadapi rasisme. Yaitu, menaikkan kualitas diri.
Tindakannya bisa berupa belajar lebih giat ataupun menunjukkan kapasitas ketika terjadi challenge atau ujian saat sekolah. Dari situlah, orang lain akan dapat melihat bahwa orang yang dianggap "berbeda" juga mempunyai kemampuan, apalagi jika kemampuan itu malah tidak dimiliki oleh pelaku rasisme.
Contoh paling mudah adalah kemampuan berbahasa "pribumi". Karena sudah berada di Jawa sejak kecil, maka kemampuan penulis dalam berbahasa Jawa pun tidak perlu diragukan. Termasuk ketika harus berbahasa Jawa halus (krama inggil).Â
Begitu pula dengan kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa (hanacaraka). Di sinilah letak pembalasan yang harus dilakukan korban rasisme, yaitu berani survive dengan menunjukkan kualitas diri tanpa harus menyakiti balik orang lain yang kebetulan menjadi pelaku rasisme.
Cara seperti ini tergolong lebih ampuh (untuk membalas) dibandingkan melakukan kekerasan apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa. Rasa sakit dari rasisme memang besar, bahkan bisa membekas dan menjadi trauma seumur hidup. Namun, ketika kita dapat menaikkan standar kemampuan kita, maka nilai keberadaan kita akan menjadi sama penting seperti orang lain.
Karena, ketika kita mampu melakukan apa yang bisa dilakukan oleh "pribumi" akan membuat kita "setara" dengan mereka. Bahkan, bisa jadi akan lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki identitas sebagai orang asli daerah tersebut.
Baca juga: Rasisme: Ber-Bhinneka Tunggal Ika tapi Tidak Seiring dengan Toleransi
Contoh umum yang mudah dilihat adalah ketika kita dapat menemukan orang-orang luar negeri dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang cukup baik, maka kita akan menghargai keberadaannya (terlepas dari warna kulitnya).Â
Jika kemudian itu disamakan dengan kita yang padahal sama-sama orang Indonesia, tentu seharusnya akan lebih mudah untuk diwujudkan (sikap saling menghargai).
Cara terakhir (kelima) adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memang sangat sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika itu merupakan pelecehan dan rasisme. Namun, memaafkan orang lain akan dapat kita lakukan ketika kita sudah memaafkan diri sendiri.
Contohnya adalah seperti yang dilakukan penulis. Penulis kini jauh lebih menerima keadaan fisik yang memang terlihat "berbeda" dibandingkan orang-orang asli Jawa. Apalagi jika hanya didasarkan pada tingkat cerah-gelap warna kulit. Maka, jelas cukup berbeda -minimal di wajah.
Namun, penerimaan jati diri ini butuh proses dan salah satunya adalah dari proses (cara) seperti di nomor empat. Ketika kita sudah struggling dan survive (menaikkan kualitas diri), Â maka cara selanjutnya adalah menerima diri apa adanya. Dari sinilah kita bisa memaafkan diri sendiri.
Kebanyakan orang yang masih sulit mengendalikan diri ketika dilecehkan oleh orang lain adalah ketika dirinya belum dapat menemukan kelebihannya dan menerima kekurangannya, salah satunya dilihat dari segi fisik.Â
Sesekali kita boleh membanggakan diri sendiri untuk menguatkan mentalitas. Cara ini akan cukup efektif dalam mengobati rasa sakit terhadap rasisme.
Rasisme memang harus dihajar habis dimanapun dan kapanpun. Namun, rasisme tidak akan pernah hilang. Karena, rasisme itu seperti ajaran. Dia dapat diregenerasikan. Apalagi jika itu disangkut-pautkan pada tingkat jaringan orang per orang, kelompok, ataupun masyarakat.
Biasanya, mereka yang tidak pernah ke mana-mana itu akan mudah untuk melakukan rasisme. Begitu pula dengan orang-orang yang terbiasa mencari tempat yang nyaman dan bertahan di sana dalam waktu yang lama (meski ke mana-mana), akan membentuk kepercayaan diri dan keberanian untuk menilai orang lain secara subjektif.
Hal ini juga dapat didukung dengan kepemilikan massa yang memunculkan keberanian untuk melakukan suatu tindakan besar, termasuk tindakan negatif seperti rasisme. Karena, dengan persamaan persepsi (di dalam massa itu), apa yang akan dan telah dilakukan oleh mereka adalah suatu kebenaran -menurut mereka.
Inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah kita ketika Indonesia (sebenarnya) semakin majemuk. Jika dulu masyarakat blasteran masih sedikit, sedangkan sekarang masyarakat blasteran itu sudah banyak. Tidak hanya blasteran negara, blasteran suku dan ras pun sudah ada di mana-mana.
Sehingga, ini akan menghadirkan dua pemikiran. Pemikiran pertama adalah menghasilkan toleransi yang masif dan konkrit (tidak hanya di lisan). Sedangkan pemikiran kedua adalah menghadirkan pergesekan terselubung nan abadi.
Secara teritorial mungkin Indonesia tetap akan menjadi negara yang membentang dari Sabang ke Merauke selamanya. Namun, secara tatanan kehidupan di masyarakat bisa saja di masing-masing daerah akan semakin memperkuat identitasnya (melalui Perda).Â
Jika hal ini benar-benar terjadi, maka kita harus bersiap diri untuk belajar lebih baik lagi melalui cara kita mendidik anak-anak kita. Apakah mereka akan ditanamkan toleransi yang termanifestasi atau hanya seperti slogan saja.
Indonesia memang terus-menerus digoncang oleh isu negatif dari adanya perbedaan. Namun, kali ini isu itu cukup besar dan cukup mengganggu. Karena melibatkan pihak-pihak yang dicurigai merupakan bagian dari organisasi/komunitas tertentu.Â
Artinya, insiden-insiden tersebut bukan murni gesekan antara masyarakat biasa, namun juga ada kemungkinan terdapat pemikiran-pemikiran "unik" yang dapat menimbulkan persengketaan tersebut.
Sebenarnya, permasalahan rasisme yang viral itu ada positifnya. Karena, dengan viralnya rasisme itu, Indonesia harus benar-benar berbenah jika tidak ingin menanggung malu.Â
Lebih ironis lagi ketika mengetahui fakta bahwa kasus seperti ini sebenarnya sudah cukup mengakar, jika berani dibuka secara terang-terangan oleh mereka yang sudah terkena rasisme sejak lama.
Namun, rasisme ini cenderung seperti konflik laten ketika itu dialami oleh perorangan. Berbeda dengan per kelompok. Maka yang terjadi adalah seperti yang viral kemarin. Dari situlah, Indonesia (bukan hanya pemerintah saja) harus mulai berhati-hati.
Jika tidak ada Papua, apakah Indonesia bisa memiliki kekayaan alam seperti Puncak Jayawijaya dan SDA (pertambangan) yang dapat dikeruk melalui Freeport? Begitu pula dengan keberadaan Jawa. Indonesia memang sangat bergantung pada Pulau Jawa yang menjadi pusat dan titik strategis untuk menimba ilmu dan ekonomi.Â
Baca juga: Menuai Kembali Terjadinya Rasisme
Namun, jika masyarakatnya (masih ada oknum) tidak bisa seratus persen menerima perbedaan itu juga sia-sia. Ke mana muaranya kepandaian (merujuk pada infrastruktur pendidikan yang lebih maju) yang dimiliki orang-orang Jawa tersebut?
Rasisme ini seperti penyakit kanker yang dapat timbul-tenggelam sesuka hati. Maka dari itu, kita harus menghadapinya melalui kemauan diri sendiri. Kita tidak bisa menekankan toleransi secara slogan, melainkan harus melalui tindakan. Jika tidak bisa dengan penggerakan nyata secara massal, maka dapat dimulai dari tindakan individual.
Kelima cara di atas sebenarnya berdasarkan praktik individual penulis. Sebagai "penyintas" korban rasisme, tentu penulis harus pernah melakukannya supaya selain dapat menyembuhkan diri sendiri, juga dapat mencegah diri untuk tidak melakukan pembalasan. Apalagi pembalasan seperti yang viral kemarin.
Maka dari itu, melalui tulisan panjang ini, penulis mengharapkan agar Indonesia segera sadar atas kemajemukannya. Jangan tutup mata tentang itu. Kita boleh tidak peduli dengan kehidupan pribadi tetangga sekitar kita (jika tidak diumbar oleh yang bersangkutan sendiri), namun jangan pernah menutup mata tentang pemahaman toleransi.
Memang "tidak ada asap, tidak ada api". Namun, alangkah-baiknya di antara kita tumbuh upaya untuk menjaga diri sendiri (seperti cara ketiga). Agar apa yang kita lakukan tidak saling merugikan orang lain.Â
Kalaupun kemudian ada rasa sakit hati dan keinginan untuk menghina orang lain, hinalah berdasarkan ketidakmampuannya tanpa harus mengaitkan ketidakmampuannya berdasarkan identitasnya (termasuk karakternya).
Semua orang pasti punya kekurangan (ketidakmampuan). Maka, wajar jika pada akhirnya kita menemukan adanya kecacatan dari orang lain.
Namun, sebelum menilai itu dengan penghinaan, nilai dulu diri sendiri; apakah sudah benar-benar lebih baik atau belum. Jika belum, tahan diri untuk berucap ataupun bertindak yang dapat menyakiti orang lain.Â
Itulah yang harus kita lakukan, bukan hanya menunggu tindakan dari pemerintah saja -untuk menghentikan rasisme. Karena Indonesia milik kita, bukan milik pemerintah saja. Merdeka!
Malang, 22-23 Agustus 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H