Judul yang cukup provokatif. Namun, inilah yang memang dapat kita lihat di Real Madrid dan Luka Modric saat ini. Bukan suatu hal yang diduga jika Real Madrid segera kandas di Liga Champions 2018/19. Padahal kompetisi baru di fase 16 besar dan El Real sedang berada di posisi unggul agregat 2-1. Apalagi Madrid di leg kedua ini bertindak sebagai tuan rumah. Namun, realita seringkali 'menipu' ekspektasi.Â
Di laga ini (6/3), Real Madrid nyatanya sudah tertinggal dua gol dari Ajax di babak pertama, dan kemudian terhantam gol ketiga yang cukup kontroversial di babak kedua.Â
Walau mengundang perhatian wasit untuk berdiskusi dengan rekannya yang bekerja di depan VAR, gol tersebut, sangat mencerminkan bagaimana usaha para pemain Ajax. Mereka membuktikan bahwa 90 menit mereka di Santiago Bernabeu bukan untuk sekadar liburan.
Ya, Real Madrid kalah telak di laga kedua babak 16 besar dengan skor 1-4. Dua gol dari Ajax tercipta di masing-masing babak, sedangkan Real Madrid hanya mencetak sebutir gol di babak kedua melalui tendangan first-time Marco Asensio. Awalnya, gol Asensio akan memudahkan usaha Madrid untuk mengejar ketertinggalan.Â
Namun, kesialan Madrid tetap bersemayam di gawang Thibaut Courtouis. Gol keempat Ajax melalui eksekusi free-kick Schone sukses membenamkan mentalitas seluruh pemain sang juara bertahan tiga musim terakhir tersebut.
Madrid tak berdaya di rumahnya.
Apa penyebabnya?
Banyak faktor yang mendasari kekalahan memalukan Real Madrid tersebut.
Sergio Ramos absen, Courtouis main, dan tak berkutiknya 'si manusia terbaik tahun 2018' Luka Modric.
Absennya Ramos menunjukkan betapa Real Madrid masih terlalu arogan terhadap lawan. Skor 2-1 dianggap sudah cukup sebagai modal yang meyakinkan untuk menapaki fase 8 besar. Sehingga absennya Ramos di laga ini akan membuat dirinya dapat bermain dengan 'aman' di fase selanjutnya.Â
Inilah yang kemudian membuat ekspektasi telah dikhianati oleh realita. Realitanya adalah 90 menit itu adalah waktu yang panjang untuk dapat mencetak 1-2 gol bagi satu tim saja, dan itu adalah misi besar bagi tim lawan; Ajax Amsterdam.
Seperti yang disebutkan di paragraf pertama, bahwa Ajax datang ke Madrid bukan untuk liburan apalagi memasang bendera putih. Mereka ke Spanyol untuk bermain bola dengan normal; mencari gol.Â
Inilah yang sayangnya tidak diantisipasi oleh Madrid ataupun Santiago Solari. Solari terlalu fokus bermain dengan taktiknya tanpa memprediksi permainan apa yang akan dilakukan sebuah tim yang sedang tidak diunggulkan.
Madrid memulai laga ini dengan memikirkan skor 2-1 di laga pertama, sedangkan Ajax memikirkan skor awal di laga ini adalah 0-0. Inilah yang kemudian memperlihatkan bagaimana Ajax berani menyerang dan bertarung di lini tengah.Â
Pertarungan mereka bukan untuk bertahan, namun untuk segera dapat membangun serangan. Inilah yang kemudian membuat permainan Madrid tidak berjalan dengan baik di babak pertama. Ditambah pula, ketika mereka bermain tanpa leader sekaligus bek tengah utamanya, seperti Ramos. Maka, Madrid terlihat hanya mengandalkan keterampilan Raphael Varane untuk benar-benar mengantisipasi pergerakan lawan, dan ini tidak diwujudkan dengan baik bersama Nacho sebagai tandemnya di belakang.
Faktor kedua adalah Thibaut Courtouis. Pemain ini juga memperparah situasi pertahanan Madrid karena tidak berani mengambil resiko untuk memimpin koordinasi pertahanan. Tanpa Ramos, Marcelo, praktis hanya tersisa Varane yang dapat diandalkan untuk memimpin pertahanan tim. Namun ketika Varane tidak berhasil bermain baik, otomatis harus ada keberanian yang diambil seorang penjaga gawang untuk memimpin pertahanan.Â
Inilah yang kemudian membuat penjaga gawang Belgia ini terlihat seperti bermain hanya sebagai kiper yang menghalau bola yang akan melewati garis gawangnya, tidak dibarengi dengan memantau pergerakan lawan, dan mengarahkan para rekannya.
Ketika komunikasi di lini pertahanan buruk dan seorang penjaga gawang juga tidak mampu mengordinir pertahanan, maka, hasilnya adalah Ajax mengeksploitasi pertahanan Madrid dengan bola-bola diagonal. Banyak sekali bola yang dapat menembus pertahanan Madrid dengan cara mengalirkan bola ke segala penjuru oleh para pemain Ajax.Â
Oper kanan-kiri-tengah-terobosan-lambung dan lainnya telah dilakukan oleh Dusan Tadic dkk dengan leluasa, dan ini sudah dipraktikkan sejak babak pertama. Anehnya, Madrid lagi-lagi tidak mengantisipasi hal ini di babak kedua. Mereka hanya fokus dengan misi mencetak gol---untuk mengejar ketertinggalan.
Faktor ketiga adalah permainan Madrid dalam menyerang tidak terorganisir dengan baik. Lini tengah tidak memberikan support yang bagus bagi lini depan.Â
Membuat Karim Benzema yang di laga ini menjadi kapten tim, justru harus pontang-panting ke sana ke mari mencari bola, membawa bola ke kotak penalti, sampai harus mengeksekusi sendiri walau akhirnya melenceng dari gawang.Â
Namun, inilah yang harus dilakukan Benzema. Sedangkan pemain lainnya tidak memiliki keberanian lebih untuk mencari bola dan melihat celah dengan baik. Beberapa keputusan dalam mengoper bola, seringkali terlihat terburu-buru dan ragu.
Fatalnya, di laga ini kita tidak melihat bagaimana kemampuan Luka Modric sebagai pemain tengah sekaligus otak serangan Madrid. Dia tidak mampu membagi bola dengan baik dan juga cenderung mencari peluang sendiri ketika merasa sudah berada di posisi tepat untuk mengeksekusi.Â
Suatu hal yang sangat berbeda ketika kita pernah melihat permainan Modric di musim-musim sebelumnya. Apalagi saat di Tottenham Hotspur. Dia bukan finisher utama.Â
Dia adalah penggerak bola dari tengah ke depan, dan mencari target untuk dapat mengeksekusi bola ke gawang lawan. Di laga ini, Modric tidak melakukan itu dengan baik. Satu-satunya yang terbaik dari perannya adalah membantu Benzema untuk merebut bola dari pemain bertahan Ajax dan sayangnya pengiriman bolanya tidak menemui kaki Benzema yang juga nahasnya harus terpeleset.
Entah apa yang terjadi pada Modric saat ini. namun, sejak pemain Kroasia ini memperoleh Ballon d'Or dan juga tidak lagi satu tim dengan Cristiano Ronaldo. Terlihat sekali adanya perbedaan gaya mainnya. Dia lebih sering terlihat berani merangsek masuk ke kotak penalti lawan, termasuk mencoba mengeksekusi sendiri bola yang dia dapatkan.
Praduga tentang ego yang mulai tinggi dan juga kesangsiannya terhadap rekan-rekannya di depan bisa menjadi bumbu penyedap terhadap gaya mainnya saat ini.Â
Apalagi, ketiadaan pelatih yang berkharisma juga membuat Modric memiliki kemungkinan untuk mencari kebebasan dalam bermain. Inilah yang kemudian akan membingungkan bagi rekan-rekannya ketika di lini tengah Madrid tidak ada pemain kreatif lainnya selain dirinya.Â
Praktis, ketika Madrid tidak ada Isco, tidak ada Vasquez, maka permainan Madrid akan menyasar pada Karim Benzema yang harus turun dan juga Bale yang acapkali juga kurang bagus dalam memilih keputusan saat menguasai bola.
Lalu, Solari mau mengandalkan siapa lagi membangun serangan dengan baik?
Casemiro?
Toni Kroos?
Carvajal?
Jawabannya tetap harus pada Modric.
Namun, jika Modric kehilangan cara bermainnya seperti dulu, yang sangat fokus di lini tengah saja. Maka, permainan Madrid tidak akan berkembang---seperti di laga melawan Ajax ini. Permasalahannya adalah Madrid kehilangan pemain depan yang tajam.Â
Sehingga, hal ini (mungkin) menambah beban Modric untuk lebih berkontribusi lagi kepada tim dengan cara mencetak gol. Namun, jika menghadapi tim dengan permainan compact seperti Ajax di laga ini, apa yang bisa dilakukan Madrid untuk dapat mengimbangi permainan tersebut?
Jika menilik pada prestasi Modric di timnas Kroasia---mengantarkan negaranya mencapai partai puncak  Piala Dunia 2018, kita bisa 'memaklumi' gelar Ballon d'Or ada di tangannya.
 Namun, kita patut menilai kesuksesan tersebut dengan dua hal. Pertama, di timnas Kroasia, dia adalah leader. Otomatis, tanggungjawab terbesar bagi tim ada di pundaknya.Â
Maka, segala keputusan di atas lapangan akan dominan ada di kakinya, termasuk di lini tengah. Kehadiran Ivan Rakitic bahkan masih bisa dikalahkan oleh Modric. Karena, Rakitic seolah-olah terlihat sebagai ajudannya di lini tengah. Melihat situasi seperti itu, tak mengherankan jika Modric bisa menunjukkan kemampuannya secara maksimal. Namun, bagaimana dengan kondisinya di Madrid?
Musim lalu, Madrid masih memiliki CR7 dan para pemain Madrid masih garang dalam bermain. Karena, VAR belum merambah ke kompetisi domestik maupun Eropa.Â
Sehingga, segala drama di atas lapangan sangat dikuasai oleh Madrid dengan seluruh aktor-aktornya. Ramos, Casemiro, Carvajal, dan Ronaldo pun akan mencoba mengambil peran jika mengharuskan dirinya jatuh terguling-guling dan memperoleh penalti. Artinya, situasi Modric pada saat itu, sangat penuh dukungan.Â
Sehingga, dia akan berkonsentrasi menari-nari di lini tengah. Artinya, dia memiliki zona 'kuasa' dan itulah yang membuat Modric dapat mengeluarkan kemampuannya secara maksimal. Inilah faktor keduanya yang melandasi kesuksesannya merengkuh Ballon d'Or; mengalahkan 'alien' dan 'robot'.
Namun, bagaimana dengan saat ini?
Beban yang besar untuk menanggung tim yang bahkan sebenarnya secara prestasi lebih besar Real Madrid dibandingkan Kroasia apalagi Tottenham Hotspur. Maka, ini yang kemudian membuat penampilan Modric di musim ini acapkali tidak stabil, dan imbasnya adalah permainan Madrid pun menjadi buruk.
Cara terbaik untuk mengeluarkan kembali kemampuan Modric adalah Solari harus berani membuat taktik yang kompleks. Tidak hanya fokus ke satu tujuan saja; menang. Mencari kemenangan itu memang sangat wajib bagi tim sebesar Real Madrid.Â
Namun, upaya tersebut harus dipertimbangkan dengan segala hal, termasuk menilai bagaimana cara bertahan yang baik. Ibaratnya kita menggunakan filosofi bermain Jose Mourinho yang pragmatis.Â
Artinya, kunci kemenangan itu bisa didapatkan tidak hanya dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya, atau menyerang terus-menerus. Namun, juga bagaimana mengatur tempo dan mencoba menguji kekuatan penyerangan lawan dengan sesekali menunggu serangan lawan. Inilah yang sepertinya tidak ada di pola permainan Madrid saat ini, dan ini yang kemudian membuat Modric seperti 'memikul' Santiago Bernabeu di atas piala FIFA Ballon d'Or-nya.
Tersingkirnya Real Madrid (kalah agregat 5-3 dengan Ajax), juga menjadi bukti bahwa sepakbola sulit diprediksi. Sepakbola adalah permainan taktik dan itu baru dapat ditentukan hasilnya di atas lapangan. Kekalahan dan tersingkirnya Karim Benzema dkk di fase 16 besar tak hanya menjadi pembelajaran bagi Real Madrid, namun juga semua tim yang sedang menjadi unggulan di laganya masing-masing. Kelengahan dan menurunnya performa pemain kunci, dapat menjadi sandungan bagi tim tersebut.
 Apalagi, jika tim tersebut terlalu fokus dengan misinya tanpa dibarengi dengan kewaspadaan dan antisipasi terhadap permainan lawan. Hasilnya?
Isakan tangis suporter-suporter perempuan di Santiago Bernabeu yang jelas sekali menunjukkan bahwa mereka tidak menyangka akan kalah dan terbantai seperti itu.
Semoga lekas bangkit, El Real! Dan,
Semangat Modric!
Malang, 6 Maret 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H